Widget HTML #1

IKAPI di Tengah Geliat Dunia Literasi Indonesia

Saya bukan pemain baru di dunia perbukuan, walau tak bisa juga dibilang senior. Meski 14 tahun bergelut di perbukuan, mulai dari sebagai penulis, editor, karyawan, hingga menjadi pengelola dari sebuah penerbit, merupakan waktu yang tak singkat, saya masih merasa menjadi 'kroco' yang harus terus menimba ilmu tentang perbukuan, baik dari para senior saya, maupun dari pengalaman yang saya alami sehari-hari. Akan tetapi, meskipun statusnya masih 'anak bawang', perkenankan saya memberikan sedikit saran untuk IKAPI.

Sebagai pegiat perbukuan, nama IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), tentu juga sudah sangat familiar di telinga. Organisasi yang didirikan pada 17 Mei 1950, dengan inisiator para tokoh perbukuan seperti Sutan Takdir Alisjahbana, M. Jusuf Ahmad, dan Nyonya A. Notosoetardjo ini, termasuk organisasi yang dekat dengan keseharian saya. Apalagi, setelah saya memutuskan untuk berkonsentrasi penuh di bidang perbukuan, baik sebagai penulis, sebagai bagian dari sebuah penerbit, dan juga anggota dari Forum Lingkar Pena, sebuah organisasi tempat bernaung sekitar 5000 penulis.

Berdasarkan informasi yang saya dapat dari website resmi IKAPI, Keanggotaan Ikapi yang tercatat hingga 2013 adalah 1.126 penerbit dari seluruh Indonesia. Konsentrasi penerbit terbesar masih di Pulau Jawa dan sisanya tersebar di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, termasuk juga Bali, NTT, NTB, dan Papua.

Tujuh tahun silam, saya diberikan tugas mengurusi pendaftaran penerbit yang saya kelola, Indiva Media Kreasi, agar bisa masuk sebagai angagota IKAPI, dan alhamdulillah, saat ini kami terdaftar sebagai anggota IKAPI dengan nomor anggota 124/JTE/09. Karena Indiva berada di wilayah Jawa Tengah, secara otomatis, kami tergabung di IKAPI Jateng. Sebelum itu, saya juga menjadi karyawan di penerbit Era Intermedia, Solo, yang juga anggota IKAPI. Bahkan, pemilik dan direktur Era Intermedia, Bapak Abdul Kharis Al Mahsyar, pernah menjabat sebagai ketua IKAPI Jawa Tengah.

Sebagai organisasi yang menaungi lebih dari 1000 penerbit, IKAPI sudah mencoba eksis dengan mengadakan berbagai macam event, seperti pameran buku dan beberapa ajang kompetisi di dunia perbukuan. Terakhir ini, saya mendengar informasi tentang gawe besar IKAPI, bekerjasama dengan elemen-elemen terkait lainnya, terkait dengan ditunjuknya Indonesia sebagai Guest of Honour di ajang Frankfurt Book Fair 2015.

Indiva sendiri, termasuk penerbit yang cukup aktif mengikuti berbagai event yang diselenggarakan oleh IKAPI, mulai dari yang level lokal, hingga nasional. Indiva juga pernah beberapa kali menyabet penghargaan yang digelar IKAPI, misal buku fiksi anak terbaik (di ajang IBF 2011, IKAPI Jakarta),  buku fiksi dewasa terbaik (IBF 2014, IKAPI Jakarta), cover terbaik (IKAPI JABAR) dan sebagainya.

Cetak Biru dan Lemahnya Implementasi 

Usia IKAPI saat ini sudah 64 tahun. Sebuah usia yang matang. Akan tetapi, di usia setua itu, Panca Daya Ikapi, yang merupakan cetak biru cita-cita yang ditetapkan IKAPI sepertinya masih perlu diberikan daya dorong yang kuat agar bisa terejawantah. Perlu pembaca ketahui, rumusan Panca Daya Ikapi, adalah sebagai berikut: (1) usaha memperluas kesempatan membaca dan memperbesar golongan pembaca dengan jalan mendirikan perpustakaan desa; (2) usaha mengembangkan penerbitan buku pendidikan dan pengajaran dengan menarik biaya alat pengajaran; (3) usaha menyebarkan hasil cipta sastrawan indonesia dengan jalan mengekspor hak cipta dan mengekspor buku; (4) usaha melindungi hak cipta serta membantu penerbitan buku universitas dan buku-buku kategori kesusastraan; (5) usaha mengembangkan industri grafika bagi keperluan pencetakan buku.

Sayangnya, akhir-akhir ini, dunia perbukuan Indonesia justru mengalami kelesuan. Tingginya biaya produksi, sementara stimulasi program peningkatan budaya membaca sangat minim, membuat harga buku akhirnya menjadi mahal, dan di sisi lain keinginan orang untuk membaca tak ditingkatkan. Akhirnya, buku menjadi produk yang kian eksklusif dan sepi pembeli. Walhasil, penerbit pun satu per satu tutup karena bangkrut.

Padahal, kebutuhan bangsa ini akan buku sebenarnya sangat tinggi. Total dalam setahun, jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia belum bisa mencapai 18.000 judul; sementara Jepang bisa mencapai 40.000 judul/tahun; India 60.000 judul/tahun; dan China 140.000 judul/tahun.[1] Padahal, rata-rata buku di Indonesia hanya dicetak sekitar 3.000-5000 eks/judul. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta, maka satu eksemplar buku dari satu judul, harus dibaca oleh ratusan ribu orang. Sungguh menyedihkan!

Berbagai Saran Untuk IKAPI

Saya mengapresiasi berbagai program yang telah dilakukan IKAPI selama ini. Akan tetapi, berdasarkan pengamatan saya, tampaknya baru sekadar kegiatan yang sifatnya sporadis dan seremonial. Entah saya yang ‘kudet’, atau memang begitu adanya. Padahal, dengan kekuatan yang dimiliki, IKAPI bisa menjadi  sebuah organisasi yang berperan penting dalam memajukan dunia perbukuan di negeri ini. Sebagaimana kita tahu, Indonesia adalah bangsa yang seolah-olah tak mengenal periode literer. Setelah budaya lisan selama berabad-abad mendominasi negeri ini, mendadak bangsa ini meloncat pada tradisi persebaran informasi lewat audio-visual (dan kini ditambah socmed) yang sebenarnya juga merupakan bentuk lain dari budaya lisan. Berbagai kajian telah dilakukan, yang intinya menyimpulkan bahwa budaya literer sangat berkaitan dengan proses pencerdasan suatu masyarakat. Karena itu, IKAPI bisa bersinergi secara aktif dengan organisasi-organisasi yang juga bergiat di dunia literasi semacam FLP (Forum Lingkar Pena), PBA (Penulis Buku Anak), dan berbagai komunitas kepenulisan lainnya, untuk membumikan tradisi tulis di negeri ini.

IKAPI juga seyogyanya pro aktif mendekati anggota-anggotanya untuk bisa lebih meningkatkan kapasitasnya. Apalagi, di saat kemajuan teknologi mengancam keberlangsungan media cetak yang diprediksi akan berganti dengan media digital, ternyata saya melihat masih banyak penerbit yang ‘adem-ayem’ saja dan kurang mengantisipasi dengan mempersiapkan diri agar mulus melakukan alih teknologi.
Selain itu, advokasi juga perlu digencarkan. IKAPI bisa memoderasi ‘persengketaan’ antara penerbit dengan penulis, atau penerbit dengan distributor. Saat ini, entah karena persaingan di toko buku yang sangat kuat, masa tayang buku di berbagai toko buku ternyata sangat singkat, yakni antara 2-3 bulan saja. Jika dalam periode tersebut buku tak terjual, maka buku akan diretur. Buku pun akhirnya menumpuk di gudang penerbit. Repotnya, banyak penerbit agak kurang mengantisipasi—misalnya dengan menciptakan secondary market. Walhasil, buku yang masih baru pun akhirnya diobral dengan harga yang menyedihkan. Para penulis, yang merasa telah susah payah menulis buku, hanya bisa gigit jari melihat karyanya dibandrol dengan diskon 70%. Kondisi semacam ini, jika saya amati telah berlangsung sekitar 2-3 tahun, dan jika tak ada pihak yang berupaya menjadi mediator, bisa dipastikan minat para penulis untuk menghasilkan karya yang bermutu akan terkikis sedikit demi sedikit.

Selain itu, untuk semakin memeriahkan dunia perbukuan, IKAPI bisa juga menggelar ajang penghargaan yang bergengsi dan mainstream. Dulu pernah ada Anugerah Adikarya IKAPI, akan tetapi saat ini saya kurang tahu, apakah ajang tersebut masih ada atau tidak. Sebagai anggota IKAPI, Indiva terakhir mendapat kabar tahun 2009. Setelah itu, tak ada informasi. Saya menaruh hormat kepada IKAPI DKI Jakarta, khususnya divisi Islam, yang setia menggelar Islamic Book Fair Award, dengan pelaksanaan yang kian tahun kian baik. Semoga ajang semacam itu diselenggarakan kembali dengan skala yang lebih besar dan prestisius, dan jika perlu levelnya internasional.

Tentu banyak hal yang bisa dimainkan oleh IKAPI. Sebagai orang perbukuan, saya memiliki harapan besar terhadap IKAPI. Semoga lewat tulisan sederhana ini, harapan itu bisa terlayangkan pada pihak-pihak yang berkepentingan.

Referensi
[1] http://edukasi.kompas.com/read/2012/06/25/08121853/Jumlah.Terbitan.Buku.di.Indonesia.Rendah

Posting Komentar untuk "IKAPI di Tengah Geliat Dunia Literasi Indonesia"