Catatan Seputar Penghargaan Prasidatama 2014: Pantas Tak Pantas, Ini Amanah!
Saya sempat bimbang. Jika hoax, rasanya tak mungkin. Sebab nomor Mbak Tri Wahyuni memang
telah lama tersimpan di telepon seluler saya. Tetapi, mengapa hanya melewati
SMS? Dan, atas dasar apa saya dipilih? Dan apa sebenarnya Penghargaan
Prasidatama itu? Kok baru mendengar istilah tersebut.
Saya pun membuka-buka Ponsel saya lagi. Saya langsung
paham ketika sebuah nomor telepon berkode Semarang berkali-kali mencoba
menelepon saya. Setelah saya cocokkan, nomor telepon itu persis dengan nomor
telepon yang tertera di website Balai Bahasa Jawa Tengah. Oh, berarti bukan hoax. Tetapi, saya masih tetap ragu.
Akhirnya saya memutuskan untuk menelepon Mbak Tri Wahyuni. “Ya, itu benar,
Mbak. Silakan datang besok Senin ya, scan undangan akan kami kirim via email.”
Saya masih termangu-mangu. Prasidatama? Saya coba pun
berselancar di Google dengan kata kunci Prasidatama. Muncul beberapa hasil,
kebanyakan nama orang, hehe. Yang lain, info-info tidak relevan.
Bersama Duta Bahasa Jawa Tengah |
Hari Senin, 3 November, pertanyaan saya terjawab.
Ternyata Prasidatama memang penghargaan yang baru tahun ini diberikan. Kepala
Balai Bahasa Jawa Tengah, Pardi Suratno mengatakan, kata Prasidatama berasal
dari kata bahasa Jawa kuno yang artinya lebih baik atau semakin baik. Kata
beliau pula, Tim telah melakukan seleksi ketat terhadap semua nominasi yang
dinilai layak menerima anugerah. Diharapkan, penerima penghargaan dapat terus
berkarya semakin baik dan karya mereka mampu memberi pencerahan, pemikiran sehingga
memiliki manfaat bagi pembangunan Jawa Tengah secara komprehensip. “Berbekal
semangat untuk memberi penghargaan kepada putra terbaik Jawa Tengah, semoga hal
ini dapat menginspirasi kita semua untuk berbuat lebih baik,” kata beliau saat
memberikan pidato pengantar pemberiaan Prasidatama 2014 itu.
Saat disebutkan nama-nama peraih Prasidatama 2014, saya
kaget! Bayangkan betapa nama saya ‘nyelip’ di antara
nama-nama besar ini.
1. Kategori
Tokoh Bahasa Jawa: Drs. H. Mardiyanto (mantan Gubernur Jateng), Bambang Sadono
(anggota DPD RI), dan Hadi Supeno (Wabup Banjarnegara).
2. Tokoh
Bahasa Indonesia: Prof. Liek Wilardjo (Guru Besar UKSW Salatiga), Prof. Gunarto
(Guru Besar Unissula), dan Amir Machmud NS (Pemred Suara Merdeka)
3. Kategori
Tokoh Sastra Jawa: Turiyo Ragil Putro, Agustinus Mulyono Widyotomo (Ariesta
Widya), dan Widyo ”Babahe” Leksono.
4. Kategori
Tokoh Sastra Indonesia: Ahmad Tohari, Dorothea Rosa Herliany, dan Afifah Afra
5. Kategori
Pegiat Bahasa dan Sastra: Prof. Soetomo WE (Ketua Yayasan Studi Bahasa Jawa
Kanthil), Thomas Budi Santoso (Direktur PT Djarum), dan Heri Candra Santosa
(Pegiat Komunitas Lereng Medini, Boja).
Nah, bagaimana saya tidak ‘pingsan’ ketika MC acara tersebut
membaca nama-nama itu? Masih dengan rasa tak percaya saya maju ke panggung,
untuk menerima penghargaan yang diserahkan oleh Gubernur Ganjar Pranowo.
Gubernur Ganjar Pranowo memberikan sambutan |
Baiklah, saya memang telah bergiat di dunia kepenulisan
sejak SD. Mulai SMA, cerpen dan puisi saya dimuat di media nasional semacam
Anita Cemerlang, lalu saat kuliah hingga kini karya-karya saya juga dimuat di
Annida, Ummi, Sabili, Republika, Solopos, Joglosemar dan sebagainya. Sekitar 50
judul buku saya telah diterbitkan oleh Elex Media (Kompas Gramedia Grup),
Mizan, Gema Insani, Indiva Media Kreasi, Era Intermedia, dan sebagainya. Saya
juga aktif di komunitas kepenulisan Forum Lingkar Pena sejak 1999, dan sekarang
diamanahi sebagai Sekjen.
Bahkan ... aktivitas profesi yang saya tekuni juga
seputar kepenulisan, terlebih setelah sejak 2007 bersama rekan-rekan mendirikan
penerbit PT Indiva Media Kreasi, yang mana saya didapuk jadi salah satu pimpinan. Sejak 1999, ratusan kali saya
mengisi pelatihan-pelatihan kepenulisan, dari sekolah ke sekolah, dari kampus
ke kampus, dari masjid ke masjid.
Nafas saya adalah kata, urat nadi saya mengalirkan
bahasa, keringat yang mengucur beraromakan puisi (berarti puisinya kecut, hehe).
Sastra adalah makanan sehari-hari (meski saya masih terlalu mentah untuk
dibilang sebagai sastrawan—saya hanya seorang pecinta sastra yang suatu hari
ingin melahirkan karya legendaris yang penuh pencerahan).
Akan tetapi, saya masih merasa terlalu muda! Usia saya “baru”
35 tahun. Dibanding para penerima Prasidatama 2014 tersebut di atas, yang
mayoritas para sesepuh, saya benar-benar layak dijajarkan sebagai anak bawang. Bayangkan,
saya membaca karya Pak Ahmad Tohari sejak SMP. Terbata-bata membaca cerkak
(cerita cekak) bahasa Jawa tulisan Ariesta Widya di majalah Penyebar Semangat
koleksi almarhum ayah saya, mendengar kiprah pengarang Ibu Dorothea Rosa
Herliany, apalagi nama Mantan Gubernur Mardianto, tentu sangat familiar di
telinga. Saya benar-benar masih sangat yunior.
Sudah terlalu muda, ditambah orang-orang suka terlalu “berbaik
sangka” dengan menyebut saya masih mahasiswa (nyatanya memang masih mahasiswa,
tapi maksud mereka tentu mahasiswa strata satu yang “unyu-unyu”). Pernah juga
ada kondektur yang “keterlaluan” dengan menerapkan tarif pelajar dan mahasiswa
kepada saya saat menumpang angkutan mereka.
Itu baru soal usia, ya... belum soal karya. Ibu
Cahyaningrum Dewojati, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, saat membedah karya saya
“De Wints” dan “De Liefde”, memberikan angin segar ke vakuola harapan di benak
saya. Kata beliau, saya punya “potensi” menulis satra serius. Tetapi, saat ini,
kata beliau, saya masih di fase transisi dari karya populer menuju serius.
Permasalahan populer vs serius ini sering membebat pikiran saya. Bagaimanapun,
saya lahir dari pembaca remaja, dan saya tak mungkin meninggalkan mereka. “Kan
bisa ‘ulang-alik’, seperti Helvy Tiana Rosa, seniormu itu! Suatu saat dia
begitu gaul dengan karya populernya, tetapi dia bisa menohok dengan karya seriusnya,”
begitu kata Ibu Cahyaningrum, yang rupanya memahami dilematika saya. Dan,
masukan beliau hingga kini membekas. Ya, “Model Helvy Tiana Rosa” inilah yang
akhirnya ingin saya tiru. Di satu sisi, saya akan terus berusaha belajar
menulis fiksi serius, tetapi saya juga akan tetap menyapa pembaca muda saya.
Maka, lagi-lagi, Prasidatama 2014 menjadi sebuah “beban
berat” bagi saya. Tetapi, pantas tak pantas, Tim Juri Prasidatama 2014 telah
memilih saya. Dan pilihan itu amanah yang harus saya jalani. Berbekal semangat
Prasidatama, yang disebut di atas tadi berasal dari kata bahasa Jawa kuno yang
artinya lebih baik atau semakin baik, saya ingin berjuang untuk menjadi lebih
baik. Dan bukan sekadar baik untuk diri, tetapi juga baik yang “membaikkan”.
Doakan, ya....
4 komentar untuk "Catatan Seputar Penghargaan Prasidatama 2014: Pantas Tak Pantas, Ini Amanah!"
Barakallah mba... Ditunggu karya seriusnya ;)
Padahal sudah dari jaman saya SMA (tahun 2005) saya menikmati karya-karya mbak Afifah... :)
Selamat mbak Afifah, teruslah berkarya... :)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!