Awas, Lebai vs Abai dalam Beramal!
Tempo hari, saya dikirimi pesan pribadi oleh seorang
sahabat dekat yang sudah sangat lama tak berjumpa. Sahabat saya tersebut merasa
galau dengan sebuah posting di media sosial, yang terkesan “memojokkan”
perilaku para pengejar pahala di bulan Ramadhan seperti aktivitas baca Al-Quran
sebanyak-banyaknya, gencar mengejar keutamaan-keutamaan puasa, sampai kegiatan mencari
Lailatul Qodar yang dalam posting tersebut dianggap sebagai “undian”. Posting tersebut
merujuk pada pendapat seorang ulama karismatik (yang sebenarnya juga saya
segani), bahwa memuliakan Ramadhan tak sama dengan berpesta. Kata sang ulama,
yang dikutip oleh pemilik status tersebut, dalam beramal, orang cenderung
berlebihan atau malah berkekurangan. Jarang yang bisa seimbang.
Tampaknya, posting itu ditujukan untuk mengkritik
perilaku sebagian kita yang terkesan berlebihan alias lebai dalam beramal. Sebuah
aktivitas yang merujuk pada sebuah gerakan disebut di sana, yaitu one day three juz. Sebagai salah satu pelaku, meskipun tidak secara
khusus di gerakan tersebut, saya agak sedikit tersentil. Tapi, namanya kritik,
asal untuk kebaikan, harus diterima dengan legowo. Bukankah kita akan semakin
baik dengan adanya nasihat dan kritik? Jadi, mari kita kalem dan tetap cool
dalam menghadapi kritik tersebut.
Tujuan utama dari puasa, tulisnya, adalah menahan diri,
menguatkan akhlak Islami, sehingga ketulusan, keikhlasan, kejujuran, semestinya
menjadi tujuan utama. Puasa semestinya membuat kita terhindar dari sikap
dengki, kikir, suka menghasut, provokatif dan sebagainya. Sementara, mengejar
pahala adalah amalan sunnah. Amalan sunnah tak boleh lebih diutamakan dari
amalan wajib. Banyak yang terkesan lebai dalam beramal, sehingga tujuan utama
malah terabaikan. Padahal, tujuan beribadah adalah mencari ridho Allah, bukan
mengantongi pahala sebanyak-banyaknya. Begitu yang saya simpulkan dari posting
tersebut. Mohon maaf jika kesimpulan saya salah.
Saya tidak hendak membantah posting tersebut. Bukan
kapasitas saya itu, mah… tetapi, terus terang saya cukup lama dibuat termenung
membaca posting tersebut. Saya menjadi berpikir, apakah semangat saya mengejar
khatam minimal tiga kali dalam Ramadhan ini, membuat saya meninggalkan tujuan
utama berpuasa? Apakah saya hanya sekadar ingin mengantongi pahala? Apakah saya
kemudian membiarkan hati saya diliputi dengki, hawa nafsu, kebencian dan
sebagainya karena lebih konsen mengejar pahala dan “undian Lailatul Qadar?”
Sama seperti sahabat saya, mendadak saya galau. Tetapi…
tentu saya tak akan membiarkan diri bergalau-galau berlama-lama.
IFRATH
VS TAFRITH, PENYIMPANGAN SEPANJANG MASA
Pertama, saya setuju bahwa dalam beramal, seseorang
memang sering terjebak pada dua kutub sikap: abai vs lebai. Dalam bahasa
kerennya: Ifrath vs Tafrith.
Ifrath artinya melampaui batas,
alias berlebih-lebihan dalam beribadah. Saking lebainya, yang tak ada ajarannya
pun diada-adakan dan dilakukan. Kebalikannya adalah tafrith, yaitu melalaikan dan meremehkan ibadah. Saking
meremehkannya, bahkan yang jelas-jelas benar pun direndahkannya.
Jika kita buka-buka buku tentang Aqidah Islamiyah, kita
mungkin terkejut, karena kesesatan seseorang dalam beragama, memang berawal
dari dua sikap tersebut.
Dalam surat Al-Fatihah disebutkan: Ihdinashirratal
mustaqim, shiratalladzina an’amta alaihim ghairil maghduubi alaihim waladhaalin.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat".
Dalam ayat tersebut, kita melihat ada dua kubu besar,
yaitu kubu yang dimurkai dan kubu yang sesat; dan kita memohon kepada Allah
agar diberikan jalan lurus, yaitu jalan orang yang diberi nikmat, bukan jalan
dari dua kubu yang menyimpang ke kanan dan ke kiri itu. Menurut para mufassir,
kubu yang dimurkai adalah kubu tafrith.
Mereka sangat meremehkan kebenaran, bahkan membunuhi para nabi-nabi yang diutus
untuk mereka.
Sementara, kubu yang satunya, adalah kubu ifrath, yang sangat berlebih-lebihan
dalam beramal, beramal sesuatu yang tidak diperintahkan, dan bahkan sangat
mengidolakan orang-orang suci dan menuhankan nabi mereka. Kedua kubu itu sangat
menyimpang, bisa dikatakan sebagai gembongnya segala penyimpangan, mewakili
arah penyimpangan masing-masing.
Di dalam tubuh Islam sendiri, penyimpangan juga selalu
dalam dua jenis itu. Ada golongan yang sangat menekankan ibadah pada “khauf (ketakutan)”, sehingga dosa kecil
pun dihukumi dosa besar. Dosa besar dihukumi kafir. Setiap hari mereka
menangis, ketakutan, dahinya berkerut, wajahnya muram, karena yang terpikir
hanya adzab kubur dan siksa neraka.
Ada yang sebaliknya, menekankan ibadah kepada “roja’ (harapan)”, sehingga mereka
bersikap santai-santai saja. Allah maha pengampun, jadi asal kita berislam,
Allah pasti akan mengampuni dosa-dosa kita dan memasukkan ke surga, apapun
kesalahan yang kita lakukan.
Kedua kubu itu, tentu jelas menyimpang. Dan, Islam
sangat menegaskan kita untuk tetap dalam keseimbangan. Dalam sebuah hadits dari
Ibnu Mas’ud r.a., Rasulullah Saw menggaris satu garis dengan tangannya kemudian
berkata , “’Ini adalah jalan yang lurus’.
Kemudian menggaris beberapa garis di kanan dan kirinya, kemudian berkata: ‘ini
jalan-jalan (lain), tidak ada satu jalan pun daripadanya kecuali ada syaithan
yang mengajak kepadanya’. Kemudian membacakan ayat: ‘Ini jalanku yang lurus
maka ikutilah dia dan janganlah mengikuti jalan-jalan (lain)…’ (QS. Al An’am : 153 ).” [HR. Ahmad, Ad
Darimi, Al Hakim].
TAWAZUN
DAN ISTIMROR
Inti dari jalan yang lurus adalah keseimbangan (tawazun). Islam sendiri, adalah agama
yang seimbang, moderat (wasathon).
Lihatlah! Akhlak Islami yang ditekankan dalam Islam, semua adalah keseimbangan
dari dua hal yang bertolak belakang. Dermawan misalnya, ada di tengah-tengah
sikap pelit dan boros. Berani, berada di
antara pengecut dan nekad. Bahkan, sistem ekonomi Islam pun, ternyata adalah jalan
tengah antara sistem kapitalis yang individualis dengan sistem sosialis yang
cenderung menafikan kepemilikan pribadi.
Bagaimana dalam beramal? Sayyid Muhammad Nuh, dalam
buku “Terapi Mental Aktivis Harakah” terbitan Pustaka Mantiq menyebutkan, bahwa
salah satu penyebab futur (terputus
setelah bersambung alias sikap melempem
para aktivis setelah sebelumnya pernah sangat bersemangat), adalah sikap yang
berlebih-lebihan dalam beramal. Ya, Allah sendiri lebih mencintai amalan yang istimror (rutin), meski sedikit,
ketimbang yang sangat banyak, tetapi hanya sesaat. Dan, sebagaimana Allah
menciptakan sesuatu setahap demi setahap , sebagaimana firman-Nya:
“Sungguh,
akan kamu jalani tingkat demi tingkat (dalam kehidupanmu)”
(QS. Al-Insyiqaq: 19).
“Lakukanlah
amal sesuai kesanggupan. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga
engkau menjadi bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling Allah sukai ialah yang
terus-menerus dikerjakan walaupun sedikit.” (HR Abu Dawud
1161)
Jadi, beramal pun mirip kita naik tangga, setahap demi
setahap. Belum mampu satu juz sehari, setengah juz sehari pun baik, asal rutin.
Nanti jika kita terbiasa, kita naikkan sedikit demi sedikit. Begitu terus,
sehingga amalan kita akan cenderung ajeg, rutin dan meningkat setahap demi
setahap.
Abdullah bin Amr bin Ash pernah ditegur Rasulullah SAW,
karena semangatnya memudar untuk shalat malam, padahal, sebelum itu dia pernah
sangat bersemangat. Karena itu, daripada kemudian terputus, Rasulullah
menganjurkan lebih baik rutin, meski sedikit.
AMAL
SHALIH, SARANA MENUJU AKHLAK MULIA
Namun, tentu saja ketakutan kita terjebak dalam “lebaisme”
tidak lantas kita kemudian mengesampingkan keutamaan-keutamaan beramal selama Ramadhan.
Apalagi dengan dalih amalan-amalan itu sifatnya sunnah, sementara ada yang
wajib, yaitu membentuk akhlak Islami. Tak ada dikotomi antara amalan shalih
dengan akhlak. Akhlak adalah buah dari tauhid, dan tauhid diejawantahkan
melalui ketaatan. Jadi, amalan yang baik, dilakukan dengan manhaj yang tepat, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah dan sahabat, akan menjadi sarana terbentuknya akhlak yang mulia.
Mengabaikan amalan dengan alasan mengejar keutamaan akhlak, sangat mirip dengan
pernyataan kita ingin hidup sehat, tetapi malas berolahraga.
Akhlak mulia berawal
dari kelembutan hati. Tak mungkin kesabaran, keistiqomahan, kejujuran, dan sebagainya kita peroleh jika hati kita kesat dan jauh dari amal shalih, dan sebaliknya justru banyak bergelimang maksiat.
Sementara, hati akan menjadi lembut saat kita banyak
melakukan amalan shalih, termasuk berinteraksi dengan Al-Quran. “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya,
bertambahlah iman mereka karenanya dan hanya kepada Rabb mereka, mereka
bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 2).
Madrasah Ramadhan, merupakan sarana yang tepat untuk
melakukan akselerasi amal, karena Allah memberikan lingkungan yang sangat
kondusif, yang membuat kita lebih mudah dalam beramal. Dan membaca serta
mempelajari Al-Quran, tentu menjadi sesuatu yang istimewa, terlebih Ramadhan
adalah Syahrul Quran, bulan
diturunkannya Al-Quran.
Jadi, tak salah jika kita menyediakan waktu yang cukup
untuk lebih banyak tilawah dan tadabur Quran. Tetapi, amalan-amalan itu harus
dilakukan dengan sepenuh kesadaran, penghayatan, dan pendalaman, sehingga
saripati amal tersebut meresap di sanubari, dan membangkitkan kesadaran untuk
berubah dan lebih baik lagi. Kita membaca Al-Quran bukan dalam rangka “gaya-gayaan”,
sekadar kejar setoran: hari ini aku baca sepuluh juz, aku khatam tiga hari aja
lho! Sementara, untuk kejar setoran, kita membaca Al Quran dengan kecepatan ekspres
tanpa penghayatan, dan tak melahirkan apapun kecuali rasa capek dan tenggorokan
yang serak. Jangan sampai kita termasuk dalam golongan yang dimaksudkan dalam
hadits ini!
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya di antara ummatku ada orang-orang yang membaca Alquran
tapi tidak melampaui tenggorokan mereka…” (Shahih Muslim No.1762)
SALAHKAH
MENGEJAR PAHALA?
Jadi, memang tak ada salahnya kita melipatgandakan amal
saat Ramadhan, meskipun tujuannya mengejar pahala. Salahkah mengejar pahala?
Salahkah beribadah mengharap surga? Salahkah meninggalkan kemaksiatan karena
takut dosa dan neraka? Kalau salah, mengapa motivasi mengejar pahala dan surga
bertaburan di Al-Quran dan hadist Nabi? Mengapa perintah untuk menjauhi siksa
neraka juga begitu banyak kita jumpai di dustuur
kita?
Mengejar surga, menghindar neraka, bukan perilaku yang
berlawanan dengan mencari ridho-Nya, tetapi
justru sepaket. Karena, Allah tak mungkin memberikan neraka kepada hamba yang
dirihoi-Nya namun justru sebaliknya, memberikan surga sebagai salah satu bentuk
keridhoan-Nya. Surga dan neraka adalah bentuk motivasi dalam beramal. Apakah
kita akan menyepelekan motivasi yang langsung diberikan Allah SWT dalam
firman-firman-Nya?
Ibadah, menurut para ulama, harus dilandaskan pada tiga
konsep penting: khauf (ketakutan), roja’ (harapan), sekaligus mahabbah
(cinta). Ketiganya tidak bisa dipisahkan, namun menjelma sebagai sebuah
kesatuan yang utuh.
Bagaimana dengan Lailatul Qodr? Apakah benar itu
sebuah “undian” semata? Tidak! Lailatul Qodr adalah malam yang
lebih baik dari seribu bulan, dan saya yakin, itu adalah sebuah kemuliaan luar
biasa yang hanya akan diberikan kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh dalam
beramal. Baik amalan fisik maupun amalan hati (sabar, ikhlas, lembut, dan
sebagainya). Inilah saat-saat di dunia ketika seorang hamba sangat dekat dengan
Rabb-Nya, dan sudah berada dalam titik imbang yang optimal antara khauf
(ketakutan), roja’ (harapan), sekaligus mahabbah (cinta).
Wallahu a’lam.
8 komentar untuk "Awas, Lebai vs Abai dalam Beramal!"
istiqomah dalam beribadah.
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!