Parodi Pujo dan Motor Gede
Gambar diambil dari sini |
Meski sudah tidak bekerja di pabrik sepatu itu, Siti masih terhubung dengan para buruh di pabrik itu. Sebabnya gampang dimengerti. Khususnya di waktu pagi, warung “Nasi Liwet Mbak Siti” selalu rame oleh para buruh pabrik sepatu itu yang mencari sarapan murah sekaligus diskon meriah. Ya, khusus untuk para buruh—yang Siti tahu betul kesehatan dompetnya—Siti hanya menarif 3000 rupiah untuk setiap porsi nasi liwet yang dimakan, berapapun banyak nasi dan sayur yang disantapnya. Kalau mau nambah lauk, nah, baru Siti dengan terpaksa menerapkan harga sewajarnya.
“Maaf ya, harga ayam sekarang udah segini,
telur sudah segini,” ujar Siti, dengan wajah bersalah. Para buruh maklum. Sudah
diberikan bonus nasi dan sayur saja mereka sudah senang. Siti memang baik.
“Yah… , kami tahulah, Sit,” ujar Wanti,
serius. “Keadaan makin susah. Kalau pas 17-an, kita disuruh mengheningkan
cipta. Tapi buruh seperti kita, baru tanggal lima sudah harus mengheningkan
cipta. Mendoakan para pahlawan yang satu persatu meninggalkan dompet kita.
Berdoa agar mereka kembali mengisi dompet kita.”
“Kita ini sebenarnya sudah merdeka atau
belum, ya?” Sumini, yang sudah kekenyangan, selonjor sebentar. Tangannya
mencopot kerupuk, memasukkan ke mulut. “Katanya, merdeka membuat kita makmur,
tapi buktinya… nasib kita makin susah.”
“Kita mending, Min… masih bisa bekerja, meski
dengan upah di bawah UMR. Lha, pabrik-pabrik tekstil di Semarang malah sudah
mulai mem-PHK sebagian buruhnya. Katanya karena dolar naik, bahan baku yang
impor jadi melejit. Karena TDL juga naik, operasional pabrik membengkak. Mereka
gak kuat lagi mengupah buruh,” keluh Sumini.
“Eh, katanya gara-gara ekonomi morat-marit,
kemarin beberapa menteri di-resapel, ya?” Siti nimbrung, sembari membungkus
beberapa nasi liwet pesanan pelanggan. “Bosnya para menteri diganti semua,
kecuali bos menteri yang cantik itu….”
“Bos menteri? Menteri koordinator maksud
sampeyan, Sit? Iya semua diganti. Kecuali bu menko yang senyumnya manis dan
ningrat itu.”
“Woow, hebat berarti mbak menteri itu punya
prestasi hebat. Sejak dulu, aku kagum banget sama mbak yang itu… apa mungkin
suatu saat dia jadi presiden, ya? Dia itu cantiiiik, tahu ndak? Mungkin karena
cantik, dia tetap dipertahankan jadi menteri, ” timpal Pujo, adik semata wayang
Siti yang tiba-tiba datang sambil mendorong sepedanya.
“Fiuuuh, lha apa hubungannya cantik sama
kinerja? Tuh, Gandari, cantik. Tapi kerjanya nggak beres! Main HP melulu, tapi bos nggak menegur. Apa mungkin para bos itu enggan ya, kalau harus negur perempuan-perempuan cantik.” ujar Wanti. “Eh,
kamu mau kemana, pagi-pagi udah bawa sepeda?”
“Mau tahu aja sampeyan, Mbakyu!” Pujo mengedipkan mata sebelah. “Aku mau mencegat motor gede. Siapa tahu nanti ada
wartawan yang memfoto, terus aku jadi terkenal. Aku ingin seperti abang yang
itu… keren sekali, berani nyetop konvoi motor gede yang dikawal polisi. Menurut
aku, abang itu pahlawan masa kini.”
“Kok bisa sih, dia disebut pahlawan masa
kini?” Siti menatap adiknya yang kini telah berkembang menjadi remaja gagah
dengan tinggi tubuh menjulang dia atasnya.
“Kan di jalan itu ada aturan yang harus
ditaati, misal kalau lampu merah ya berhenti. Selama ini, motor-motor gede
selalu sok berkuasa dan nerjang lampu merah, kayak mobil presiden saja. Nah, si
abang itu sudah berani menegakkan aturan dengan menyetop motor-motor gede itu.
Kereeen, kan?”
“Lhah, sekarang, kamu mau ikutan si abang
itu?”
“Iyalah!” Pujo menepuk dadanya, gagah. “Mumpung
lagi suasana hari kemerdekaan. Aku mau jadi pahlawan masa kini.”
“Terus, konvoi motor gede mana yang mau kamu
cegat?” tanya Sumini.
“Di dekat sini, di perempatan sana, ada motor
gede yang sering sekali melanggar aturan dengan nerjang lampu merah. Iya sih,
kebetulan lampu merah itu sepi. Tapi namanya lampu merah ya harus berhenti. Ini
sudah jam tujuh kurang. Biasanya, jam tujuh tepat, motor gede itu akan lewat.
Aku siap-siap berangkat ya….” Pujo nangkring di atas sepedanya.
“Emang motor gede itu selalu lewat di situ
jam sembilan?”
“Iya, aku sudah mengamati sejak lama. Udah ya…
dadah! Eh, Mbak Wanti, Mbak Sumini, ayo kalian kesana melihat aksiku. Difoto
ya, habis itu disebar di Fesbuk.”
Penasaran dengan aksi Pujo, Wanti dan Sumini
buru-buru berkemas, menyiapkan HP-nya masing-masing yang meskipun jadul, tapi
tersedia fasilitas kamera. Mereka buru-buru menguntit Pujo. Siti yang juga
penasaran, menitipkan warungnya sebentar kepada ibunya, dan tergopoh-gopoh
mengikuti mereka.
Lalu, aksi itu pun tergelar. Sebuah “motor
gede” melaju, benar-benar menerjang lampu merah. Pujo dengan cepat berlari ke
tengah jalan, lalu mencegat motor itu. Namun, bukannya sibuk mendokumentasikan
kejadian itu, Siti, Wanti dan Sumini malah cekikikan.
“Ya ampuuun, Pujo… Pujo. Itu sih bukan motor
gede,” geli Siti.
“Itu motor gerobak roda tiga punya Kang Seto
yang tiap hari mengangkut galon-galon air untuk diantar ke pelanggan.”
Tawa mereka pecah.
INFORMASI BUKU-BUKU TERBARU SAYA (TERBIT TAHUN 2015)
1. Nun, Pada Sebuah Cermin. Novel, Terbitan Republika.
2. Akik dan Penghimpun Senja. Novel, Terbitan Indiva Media Kreasi.
3. Sayap-Sayap Mawaddah, Non Fiksi Pernikahan, Terbitan Indiva Media Kreas
Pemesanan Online klik SINI atau SMS/WA: 0878.3538.8493
2 komentar untuk "Parodi Pujo dan Motor Gede"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!