PPN Buku dan Kasus Lebih Bayar (Kredit Pajak) Pada PPh Penulis
Dear pembaca, tak disangka-sangka, surat
terbuka saya tentang permohonan penghapusan PPN buku dan PPh Pasal 23 tentangroyalti buku yang berlaku untuk penulis, ternyata menuai banyak respon.
Alhamdulillah, responnya banyak yang positif. Bahkan Saudari Fida Aifiya
berkenan membuatkan petisi online, memohon agar menteri keuangan membebaskanPPN Buku dan menghapus PPh penulis.
Namun, yang berbeda pendapat dengan saya juga cukup banyak, tetapi sejauh ini, mereka memberikan feedback secara santun, yang membuat wawasan saya justru bertambah luas, dan mulai menemukan duduk perkara sebenarnya. Inilah sebenarnya hakikat sebuah diskursus, bukan menang-menangan opini, tetapi saling memberikan perspektif yang berbeda, sehingga tercapai pemikiran yang moderat dan adil.
Namun, yang berbeda pendapat dengan saya juga cukup banyak, tetapi sejauh ini, mereka memberikan feedback secara santun, yang membuat wawasan saya justru bertambah luas, dan mulai menemukan duduk perkara sebenarnya. Inilah sebenarnya hakikat sebuah diskursus, bukan menang-menangan opini, tetapi saling memberikan perspektif yang berbeda, sehingga tercapai pemikiran yang moderat dan adil.
Masukan yang paling dominan adalah tentang penghapusan PPN buku. Dalam surat terbuka saya kepada Menteri Keuangan, secara eksplisit saya memang memohon agar PPN buku non pelajaran, kitab suci dan buku agama dihapus, karena pada prinsipnya mayoritas buku yang diterbitkan di negeri ini, mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat baik untuk pembentukan karakter bangsa ini. Keseriusan bangsa ini membenahi pendidikan telah dibuktikan dengan anggaran 20% APBN yang dialokasikan untuk pendidikan. Jadi, karena buku menyumbang peran penting dalam pendidikan, tentunya regulasi perbukuan sewajarnya menjadi prioritas.
Terlebih, iklim perbukuan saat ini (atau sejak dulu?) memang
suram. Budaya baca yang belum terbentuk, ditambah daya beli masyarakat yang
semakin rendah, membuat buku benar-benar seperti barang mewah saja. Dalam
kondisi seperti saat ini, kebijakan fiskal berupa penghapusan PPN buku, akan
membuat industri perbukuan menjadi lebih bergairah. Jika industri perbukuan
berjalan bagus, maka penjualan buku akan bagus, dan pemasukan pajak buku dari
jenis pajak yang lain, seperti pajak final 1% dari total penghasilan bruto setiap bulannya, serta PPh karyawan dan PPh
deviden dari para investor penerbit juga akan semakin tinggi. Yup, jangan salah!
Penghapusan PPN buku bukan berarti dari sektor buku tidak ada pajak yang
disetorkan sama sekali.
Jika dalam surat terbuka tersebut saya mengungkit kebijakan
fiskal pemerintah yang tertuang dalam (PMK) Nomor 158/PMK.010/2015 tentang penghapusan
PPN jasa kesenian dan hiburan (termasuk diskotek dan klab malam), serta penghapusan
PPNBM untuk 33 jenis barang mewah (PMK Nomor 106/PMK.010/2015) yang terjadi
hampir berbarengan, sebenarnya hal itu
lebih kepada pengambilan momen belaka. Artinya, saya memandang pemerintah
sedang melakukan ‘beres-beres’ dalam regulasi perpajakan.
Beberapa teman yang bekerja di perpajakan dengan santun
memberi masukan kepada saya, bahwa PPN untuk jasa kesenian dan hiburan dihapus
karena sudah dibebankan ke pajak daerah. Jadi, di Indonesia, tidak berlaku
pajak dobel. Maka, regulasi terbaru perpajakan memutuskan bahwa PPN untuk jasa
hiburan dihapus. Tentu saya menerima dengan baik penjelasan tersebut.
Penjelasan yang logis dan bisa dimengerti. Setelah saya searching, memang betul, masing-masing daerah menetapkan pajak
hiburan, meski dengan tarif yang berbeda-beda. Kabupaten Bandung, misalnya,
menetapkan tarif pajak diskotek 12,5% sementara kesenian tradisional 0%.
Yogyakarta menetapkan tarif pajak daerah 25% untuk diskotek. Dan sebagainya.
Namun, meski penjelasan itu logis, tetap saja masih ada yang
terasa mengganjal. Pertama, setahu saya, pajak daerah atas jasa kesenian dan hiburan
sudah lama diterapkan (CMIIW). Undang-undang yang mengatur pajak daerah adalah UU no 28 tahun 2009, ditetapkan enam tahun silam. Jadi, sudah cukup lama pula tempat-tempat hiburan itu membayar pajak dobel (lagi-lagi CMIIW ya...). Lalu,
pada tahun 2015, PPN untuk tempat hiburan dihapus, konon atas amanat
undang-undang tentang otonomi daerah yang mengamanahkan pajak jasa kesenian dan
hiburan ke pemerintah daerah. Artinya, pajak dobel ini menjadi prioritas
masalah yang harus dibenahi dan solusinya adalah dengan diterbitkannya sebuah
payung hukum yang mengatur kebijakan fiskal pada tempat hiburan, yaitu
dihapuskannya PPN untuk tempat hiburan. Dalam bahasa lain, ada regulasi dari
pemerintah yang menguntungkan tempat-tempat hiburan, dan uniknya,
hiburan-hiburan itu meliputi beberapa tempat yang memiliki konotasi negatif,
seperti diskotek dan klab malam. Wajar saja jika banyak kalangan yang
mempertanyakan hal tersebut.
Lalu, bagaimana dengan perbukuan? Apakah tidak ada prioritas
pembenahan? Atau, jangan-jangan dalam perbukuan memang dianggap tak ada masalah
yang perlu dibenahi?
Seyogyanya, menurut pendapat saya, jika pemerintah membuat
regulasi untuk jasa kesenian dan hiburan,
menyusul regulasi tentang penghapusan PPnBM, regulasi perbukuan juga mestinya
ditinjau ulang? Tentu saja alasan pembenahan itu itu tidak bisa disamakan. Misal,
jika alasan penghapusan PPN hiburan karena pajak dobel, alasan penghapusan PPnBM
karena 33 barang itu sudah tidak bisa dikategorikan barang mewah, maka alasan dihapusnya
PPN buku adalah karena lesunya iklim perbukuan, karena minat baca yang rendah,
karena buku dinilai mampu memberikan kontribusi kuat untuk pencerdasan bangsa,
dan sebagainya.
Bagaimana dengan payung hukumnya? Sepanjang itu memiliki
kemanfaatan untuk negara, sesuai dengan tujuan negara ini didirikan sebagaimana
tertera di Pembukaan UUD 1945: ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, para wakil
rakyat bisa memikirkan untuk membuat payung hukumnya. Hm, jadi… surat terbuka yang saya posting kemarin itu
mestinya bukan hanya tertuju kepada menteri keuangan selaku eksekutif, tetapi
juga kepada para wakil rakyat, khususnya komisi terkait yang memiliki wewenang
membuat regulasi perbukuan.
Dan yang perlu dicatat pula, saya kira, bisnis penerbitan
buku di Indonesia tak bisa disamakan dengan bisnis-bisnis lain, apalagi dengan diskotek dan klab malam. Dalam mengelola
sebuah penerbitan buku, idealisme menempati posisi pertama. Demikian pula,
seorang penulis saat memutuskan untuk menulis sebuah buku, iming-iming royalti
biasanya hanya nomor sekian, lebih pada sebuah visi mengedukasi masyarakat
lewat ilmu yang dimiliki. Penerbit dan penulis butuh mengedukasi masyarakat
dengan kampanye gemar baca yang sangat gencar, dan untuk itu, dibutuhkan cost yang sangat tinggi. Maka, jika ada
investor yang tertarik menanamkan saham di bisnis penerbitan, menurut saya
mereka tak hanya menimbang-nimbang soal untung-rugi, tetapi lebih pada andil
sosial mereka untuk kemajuan bangsa. Apakah hal yang sama terjadi pada saat
seorang investor memutuskan untuk membuat sebuah diskotek, klab malam atau
karaoke?
Kasus Lebih Bayar Pada PPh Penulis
Permasalahan usulan saya penghapusan PPh pasal 23 tentang royalti buku pun menuai beberapa silang pendapat. Ada
satu catatan yang saya garis bawahi, yaitu dari seseorang yang mengatakan bahwa
jika PPh penulis dihapus, berarti penulis tak lebih profesi kacang goreng,
alias profesi tak terhormat. What? In my humble opinion, ini bukan soal
kehormatan atau profesi kacang goreng, tetapi tentang sebuah hak yang harus
diterima seorang penulis.
Ada satu kasus yang mengganjal di benak saya, ini berawal
dari pengalaman saya beberapa tahun yang
lalu. Saat itu, setelah saya menyetor SPT pajak ke kantor pajak, beberapa waktu
kemudian, saya ditelepon pihak pajak, diminta untuk datang dan merevisi SPT
saya. Pasalnya, SPT saya ternyata lebih bayar sampai sekian juta rupiah. Saya
bingung. “Saya mengkalkulasi semua nilai potongan pajak dari surat-surat bukti
pemotongan pajak yang saya terima, Bu,” jelas saya.
Oh, ternyata saya keliru. Semestinya, seluruh penghasilan
saya, dari royalti buku, gaji dan sebagainya, harusnya dijumlah dulu. Nanti
dari totalnya, akan dipotong Penghasilan Tak Kena Pajak (PTKP terlebih dahulu)
yang jumlahnya saat itu sekitar dua jutaan rupiah per bulan (sekarang sekitar
tiga jutaan rupiah), atau kalau dikalkulasi dalam setahun berarti sekitar Rp 24.000.000,-
nah, sisanya, akan dihitung pajak berjenjang. Jika total penghasilan kena pajak
selama setahun kurang dari Rp 50.000.000,- pajak yang berlaku hanya 5%. Jika
lebih dari Rp 50.000.000 baru dikenakan pajak yang lebih besar.
Di sinilah titik permasalahannya. Hampir semua penerbit telah
lebih dahulu memotong 15% dari royalti yang semestinya diterima oleh seorang
penulis, berapapun besarnya, entah sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta atau
sepuluh juta, dengan dasar hukum PPh pasal 23. Ternyata, saat itu, total
penghasilan kena pajak saya (total penghasilan dikurangi PTKP) tak sampai Rp
50.000.000, sehingga saya hanya dikenai 5%, dan saya dinyatakan memiliki lebih
bayar (kredit pajak) sekian juta rupiah. Aturannya, lebih bayar tersebut harus
dikembalikan oleh pajak kepada wajib pajak. Alhamdulillah, AR pajak saya
termasuk humble, ramah dan enak
sekali diajak berkomunikasi. Beliau memberikan pelayanan dengan sangat baik.
Tetapi, setelah saya coba sharing
kepada teman-teman penulis, ternyata tak semua mendapatkan penjelasan seperti
saya. Ada yang mendapat penjelasan, tetapi agak kesulitan (atau takut) untuk
mengurus pengembalian kredit pajak tersebut. Sementara, yang tak mendapat
penjelasan sama sekali, harus mengikhlaskan lebih bayar itu. Ada juga yang
merasa malu mengurus, karena toh jumlahnya tak seberapa.
Yang menarik, banyak pula ibu-ibu rumah tangga yang memiliki
profesi penulis dan tidak memiliki pekerjaan lain, ternyata setelah
dikalkulasi, total royaltinya dalam setahun masih di bawah PTKP. Jadi, mestinya
pajak dia adalah nol persen, tetapi nyatanya, dia membayar 15%. Saya harus
jujur mengatakan kepada Anda, bahwa royalti penulis itu keciiiil. Memang ada
penulis-penulis yang bisa mendapatkan sekian milyar dari buku-bukunya, taruhlah
seperti Andrea Hirata atau Dee. Tetapi tak semua penulis seberuntung Andrea
Hirata, apalagi bisa lebih kaya dari Ratu Elizabeth seperti JK Rowling. Pada umumnya,
bisa mendapatkan beberapa juta dalam enam bulan saja termasuk lumayan.
Jadi, saya memohon regulasi lagi tentang masalah PPh ini
ditinjau kembali. Mungkin tidak harus dihapus 100%, tetapi sejak awal sudah ada
kesepakatan antara penerbit dan dinas pajak. Ada beberapa alternatif yang bisa
ditimbang plus-minusnya, misal:
1. Penerbit memotong pajak setahun
sekali, setelah mengkalkulasi pendapatan total si penulis
2. Penerbit membayar royalti tanpa
memotong pajak, biarkan penulis membayarkan sendiri pajaknya
3. Dinas pajak memberikan sosialisasi
secara masif kepada penulis (bisa lewat penerbit), tentang mekanisme pencairan
kredit pajak
4. Dinas pajak sejak awal menetapkan
mekanisme penetapan tarif yang tidak menimbulkan kerancuan. Sebab, yang terjadi
selama ini memang begitu. Penerbit memotong royalti 15% berdasarkan PPh pasal
23, sementara Dinas Pajak mengkalkulasi penghasilan penulis berdasarkan pasal
yang lain
5. Dinas pajak membebaskan pajak untuk jumlah royalti yang
tidak signifikan, misal di bawah Rp 10.000.000/tahun.
Demikian, semoga posting saya kali ini bisa membuat permasalahan
lebih jelas. Saya membuka ruang diskusi untuk siapa saja, termasuk yang
memiliki pendapat berbeda, dengan syarat: sampaikan pendapat anda dengan santun
dan disertai data/bukti. Saya bukan orang yang antikritik, dan sangat suka
dengan perspektif berbeda namun mencerahkan. Sekian. (@afifahafra79).
11 komentar untuk "PPN Buku dan Kasus Lebih Bayar (Kredit Pajak) Pada PPh Penulis"
>_<
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!