Widget HTML #1

Ayo, Belajar Aksara Jawa!

Sebagai orang Jawa asli, saat masih bersekolah sejak SD dahulu, saya mendapatkan pelajaran bahasa Jawa. Salah satu materinya adalah membaca dan menulis dalam aksara Jawa. Hm, dulu sih, sempat mahir juga. Apalagi, almarhum ayah saya yang seniman Jawa dan pernah menjadi penilik kebudayan di kantor Depdikbud kecamatan, juga sangat ahli membaca dan menulis dalam aksara Jawa. Tetapi, seiring bersama waktu, terus terang nih ya, saya lupa juga hehe. Maklum, jarang dipakai. Sampai suatu hari, anak saya menyodorkan buku bahasa Jawanya, dan minta diajari aksara Jawa, dan ternyata saya tidak bisa mengajari. Aduuh, sayang sekali... aksara Jawa merupakan salah satu kekayaan bangsa ini. Kalau punah kan, sayang sekali. Saat ini, sudah ada 14 bahasa daerah yang punah di Indonesia. Dan diperkirakan, hingga akhir abad ini, akan ada 3000 bahasa yang punah! Tragis, kan?

Akhirnya, saya pun belajar lagi, membuka-buka referensi. Karena memang sudah pernah mempelajari sebelumnya, tentu prosesnya tak sesulit ketika memulai dari nol. Tetapi, terus-terang, gagap juga sih.

Asal-Usul Aksara Jawa
Darimana aksara Jawa berasal? Dulu, ayah saya pernah mendongeng tentang kisah Ajisaka yang memiliki dua orang pengawal, yaitu Dora dan Sembada. Mereka tinggal di sebuah pulau bernama Majethi. Suatu hari, Ajisaka mendengar kabar, bahwa di negeri Medhangkamulan, ada seorang raja yang suka makan daging manusia, yaitu Prabu Dewatacengkar. Dibantu oleh Dora dan Sembada, Ajisaka berhasil mengalahkan Dewatacengkar dan menjadi raja di Medhangkamulan.

Nah, suatu saat, Dora dan Sembada diutus oleh Ajisaka untuk mengambil senjatanya yang tertinggal di Majethi. Tak dinyana, keduanya terlibat salah paham yang tak berkesudahan, akhirnya baku bertempur sengit dan meninggal. Ajisaka yang tahu kedua pengawal kesayangannya meninggal, sangat sedih. Maka, tercetuslah sebuah syair seperti ini:

Ha Na Ca Ra Ka (ada utusan)
Da TA Sa Wa La (saling berselisih pendapat)
Pa Dha Ja Ya Nya (sama-sama kuat/jaya)
Ma Ga Ba Tha Nga (sama-sama menjadi mayat)

Nah, 20 suku kata itulah yang akhirnya menjadi aksara Jawa. Tulisannya begini:


Untuk melengkapi, ada pelengkap huruf (sandangan)  seperti ini.

Bagaimana cara menggunakannya? Berikut ini praktik menulis Jawa secara sederhana:

Itu cara pemakaian yang sederhana ya?  Pada praktiknya, lumayan rumit juga belajar aksara Jawa. Kalau mau lincah dan prigel baca-tulis aksara Jawa, ayo main ke Solo! Banyak kok, pakar aksara Jawa yang dengan senang hati berbagi ilmu. Buat apa sih, belajar aksara Jawa? Eh, jangan salah! Banyak sekali kitab-kitab, berupa serat, babat, kakawin dan sebagainya, yang masih asli ditulis dalam aksara Jawa, lho! Bagi penyuka sejarah, teks-teks kuno ini pasti menantang untuk dipahami dan diselami.

Aksara Jawa ini, sering juga disebut sebagai hanacaraka, merujuk pada lima huruf pertama. Namun, kemudian banyak disingkat menjadi carakan saja. Menurut para pakar, berasal dari aksara kawi, dan merupakan turunan dari aksara Brahmi dari India. Aksara Jawa dipakai pada zaman kerajaan Hindu-Budha seperti Kediri, Singhasari, Majapahit dan sebagainya. 

Pada saat Islam berkembang di Jawa, yakni zaman Demak hingga Pajang, aksara Jawa sempat diganti dengan huruf Arab Pegon (kapan-kapan saya jelaskan, ya…). Namun, pada saat Mataram, aksara Jawa kembali dipakai. Hingga saat ini, dua keraton besar di Jawa, yakni Yogyakarta dan Surakarta, masih berusaha meng-uri-uri pemakaian aksara Jawa. Jadi, kalau teman-teman berkunjung di dua kota ini, masih cukup banyak dijumpai tulisan-tulisan dalam aksara Jawa, misal di Balaikota, gerbang-gerbang menuju kampung dan sebagainya.

Mari selamatkan warisan peninggalan nenek moyang kita!


Posting Komentar untuk "Ayo, Belajar Aksara Jawa!"