Lezatnya Wisata Bahari di Situs Geopark Internasional Pantai Siung-Wediombo
Dari Solo menuju Wonogiri dan kemudian memasuki daerah Tepus, Gunung Kidul, perjalanan begitu lancar, tanpa sedetik pun macet. Jalan teraspal mulus, sehingga kami bisa menikmati perjalanan nyaris tanpa gangguan akibat goncangan mobil.
Sampai di pesisir, suara debur ombak yang lamat-lamat terdengar begitu magis, terlebih ketika dipadu dengan langit bertabur bintang dan bukit-bukit gamping yang membentuk bentang alam karst yang khas. Saat memasuki pos penjagaan di area Pantai Siung, saya menduga pos itu kosong, maklum sudah jam sebelas malam. Apalagi, saat itu juga bukan malam minggu. Malam sabtu tepatnya, dan esok pun bukan hari libur. Ternyata dugaan saya salah. Melihat kedatangan kami, dari arah pos yang masih benderang oleh lampu listrik tenaga surya itu, seorang lelaki muda keluar dan menyapa kami dengan hangat. “Selamat malam, Pak! Berapa orang?”
“Malam,” jawab suami saya. “Dua dewasa tiga anak, Mas.”
Lelaki muda itu menyebut sejumlah angka, dan suami saya dengan cepat membayar retribusi memasuki objek wisata. “Pantai ramai, nggak Mas?” Tanya suami saya, sambil mengecek tiket retribusi. Membandingkan nilai yang tercantum di tiket dengan sejumlah uang yang kami bayarkan. Kami memang memiliki kebiasaan semacam itu saat memasuki tempat-tempat pariwisata. Seringkali, kami harus membayar lebih mahal dari yang tercantum di tiket. Tetapi, saat itu, si petugas ternyata bersikap jujur, membuat kami menaruh respek seketika.
“Ramai, Pak. Ada beberapa kelompok mahasiswa yang camping di pantai.”
Saya tersenyum lega. Tadinya, saya khawatir jika tenda kami nantinya akan jadi satu-satunya onggokan tempat bernaung di hamparan pasir putih yang gelap. Meski suami mencoba meyakinkan saya bahwa Pantai Siung merupakan salah satu primadona para campers, saya tetap was-was. Kami memiliki kebiasaan yang tak lazim, yakni menyukai liburan di luar hari libur resmi. Biasanya kami memilih mengambil cuti, dan meluncur ke lokasi-lokasi wisata yang tengah sepi. Kesepian justru membuat kami menyatu dengan alam. Jumat-Sabtu adalah favorit kami, karena anak-anak kami bersekolah hanya hari senin hingga Jumat. Sabtu kadang masuk untuk kegiatan ekstra kurikuler, tetapi sering libur juga.
Tanpa kami minta, dengan manis dan meyakinkan, penjaga pos itu malah membuncahkan angan-angan kami dengan penjelasan tentang seluk-beluk Pantai Siung dan sekitarnya. Respek kami bertambah padanya. Beginilah semestinya seorang petugas, tak sekadar menjalankan apa yang menjadi kewajiban rutinnya, tetapi juga memiliki wawasan luas dan bisa berfungsi sebagai public relation yang andal.
“Jika bapak berminat melakukan snorkeling, besok pagi coba ke Pantai Nglambor, Pak. Pantainya sangat bersih, alami, airnya tenang dan dangkal. Selain snorkeling, bisa juga buat berenang. Lokasinya dekat dari sini, Pak. Nanti bapak lurus saja, sebelum masuk Pantai Siung ada pertigaan, Bapak belok kanan saja. Tapi, mobil nggak bisa sampai sana. Harus jalan kaki atau naik ojek.”
Mendengar kata snorkeling, saya langsung tertarik. Saya masih teringat dengan kemewahan menikmati alam bawah laut dengan terumbu karang dan ikan-ikan kecil hingga sedang aneka warna yang berenang-renang sehingga seolah-olah berada di akuarium raksasa saat snorkeling di Pantai Sadranan, sekitar 20 KM dari Pantai Siung ke arah barat. Namun, kegiatan seru itu tidak menjadi agenda kami. Maklum, kami membawa anak-anak. Jadi, kami pun terus melaju, menuruni jalan yang curam, menuju Pantai Siung.
Maka, sampailah kami di sebuah pantai yang… gelap. Gulungan ombak terlihat samar-samar, sedangkan titik lampu mercusuar terlihat di lepas pantai. Warung-warung kebanyakan tutup, hanya menyisakan satu dua yang menghadirkan cahaya dari lampu tenaga surya. Sementara, di hamparan pantai, beberapa tenda berdiri. Puluhan anak muda melingkari api unggun, menggenjreng gitar, bernyanyi riang.
Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu… hatiku damai, jiwaku tenang di sampingmu…
“Kok gelap sekali?” Tanya saya, agak merinding.
“Memang di sini gelap, Mi,” jawab anak sulung kami, Anis. Dia dan adiknya, Rama, memang pernah diajak camping di Pantai Siung beberapa waktu yang lalu. Rupanya dia begitu ketagihan dan terus menerus mendesak orang tuanya agar mengulang keseruan camping waktu itu.
Satu kelebihan Pantai Siung adalah tempat parkir yang berdekatan dengan pantai. Jarak mobil dengan lokasi kami mendirikan tenda hanya sekitar lima meter. Ini sangat memudahkan saat kami harus bolak-balik mengambil peralatan.
Dibantu Anis dan Rama, suami saya mendirikan tenda. Angin berhembus sangat kencang, membuat tubuh Ifan, anak ketiga saya kedinginan. “Mi… dingiiiin!” katanya sambil memeluk saya. Tak tega, saya pun membuka jaket yang saya kenakan, dan melapiskan ke tubuh Ifan yang sudah memakai jaket lain.
Dengan pencahayaan dari lampu emergency, suasana menjadi cukup terang. Kami menolak dengan halus tawaran beberapa pedagang kayu bakar. Berapi unggun di malam pekat memang asyik, tapi kami sedang tidak berminat menjadi sangit. Untungnya, kayu bakar itu kemudian diborong anak-anak muda yang camping di sebelah tenda kami.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Bukannya tidur, kami malah asyik membikin mie rebus dengan kompor spiritus buatan suami saya. Anak-anak tampak menikmati kegiatan itu dengan gembira. Lima buah mie rebus, lima telur dan seikat sawi pun ludes kami santap. Suami saya menggelar tikar di atas pasir putih, lalu berbaring di atasnya. Saya dan Ifan memilih masuk tenda, namun dari pintu yang sengaja dibiarkan terbuka, kami menikmati debur suara dan gulungan ombak yang kali ini berwarna abu-abu pekat.
Saat terbaring di atas tikar yang melapisi pasir, rasa damai dan bahagia menguar dari setiap sel tubuh saya. Ah, betapa untuk menikmati indahnya hidup, seringkali kita tidak perlu harus bermewah-mewah di tempat megah. Cukup mencoba menyatu dengan semesta.
“Nak, sekarang kita sedang bermalam di hotel berbintang, lho…,” kata suamiku. “Bukan bintang tiga, empat atau lima. Lebih dari itu. Kita tidur di hotel bertrilyun bintang. Tuh, di langit!”
Anak-anak terbahak, dan saya tersenyum. Maka, saya pun mencoba menikmati suasana nyaman hotel bertrilyun bintang dengan memejamkan mata. Sejenak kemudian, saya terlelap.
Fajar yang Hilang dan Merpati yang Menagih Janji
Kemeriahan suasana pagi... |
Meski sedikit kecewa, kami tetap terhibur dengan suasana pagi yang cerah. Laut terlihat begitu biru, seperti halnya langit yang memayungi. Buih ombak mencium lembut pasir putih yang terhampar begitu bersih. Anis, Rama dan Ifan berkecimpung di pantai, memotret berbagai flora maupun fauna pantai yang khas. Sementara, saya memilih duduk di atas pasir, berselonjor, sambil menatap karang-karang yang terpajang begitu mempesona. Sebuah karang besar yang membentuk siung raksasa, lebih terlihat menonjol keindahannya dibanding karang-karang lain yang sebenarnya juga telah indah. Karang inilah yang menjadi asal muasal dinamainya pantai ini.
Pantai Siung adalah satu dari jajaran pantai berpasir putih di lingkungan karst Gunung Sewu yang terbentang dari Gunung Kidul, Wonogiri, hingga Pacitan. Ada 33 situs yang terbentang di area yang meliputi tiga kabupaten dan 2 provinsi itu. Semuanya menjanjikan sebuah keindahan yang luar biasa.
Situs-situs di Gunung Sewu ini ini membentuk bentang alam karst, yaitu ekosistem alam yang memiliki karakter yang spesifik secara morfologi, geologi, maupun hidrogeologi. Bentang alam ini tersusun dari batuan karbonat dan memiliki sistem hidrologi dengan dominasi sungai-sungai bawah tanah yang merupakan hasil pelarutan batuan. Inilah yang membuat pada bentang alam karst terdapat gua-gua yang menawan, serta pantai-pantai dengan pasir putih, air jernih dan bukit-bukit karang yang gagah. Situs-situs tersebut juga merupakan objek riset yang sangat kaya untuk berbagai bidang ilmu, utamanya tentu geologi, ekologi, biologi laut, speleologi, termasuk arkheologi, budaya dan bahkan juga ekonomi. Dari 33 situs itu, hampir separuhnya telah saya kunjungi. Antara lain Pantai Baron, Sepanjang, Drini, Krakal-Slili-Sadranan, Siung, Wedhi Ombo dan Indrayanti di Gunung Kidul, serta Klayar, Teleng, dan Srau di Pacitan.
33 situs di Gunung Sewu Global Geopark Indonesia... |
Baru-baru ini, tepatnya pada Sidang Biro Global Geopark Network (GGN), sebuah organisasi di bawah UNESCO, yang berlangsung pada 15-20 September 2015 di di Sanin, Kaigan, Jepang, Bentang Alam Karst Gunung Sewu dinobatkan sebagai geopark kelas dunia dengan nama Gunung Sewu Global Geopark Indonesia. Gunung Sewu adalah geopark kelas dunia kedua yang dimiliki Indonesia setelah Batur Global Geopark di Bali. Tentu kita perlu berbangga, karena di Indonesia, kita ternyata memiliki geopark yang berstandard global.
Saya sendiri adalah seorang pecinta pantai. Wisata bahari adalah hobi saya, namun berwisata di situs-situs Gunung Sewu selalu menghadirkan pesona tersendiri. Beberapa situs bahkan terekam sebagai setting dalam sebuah novel saya, “Akik dan Penghimpun Senja.”
Suasana pagi kian ketika puluhan burung merpati terbang dan mendarat mulus di hamparan pasir depan tenda kami. Semula saya hanya iseng melemparkan secuil roti tawar ke beberapa burung merpati. Melihat antusiasme mereka saat berebut roti, akhirnya saya tergoda untuk melemparkan lebih banyak potongan roti tawar yang lain. Merpati-merpati itu kian mendekat, mata bulatnya terlihat sumringah, bak konstituen yang tengah diberi janji-janji calon politisi.
Puluhan burung merpati itu berhasil menghabiskan stok roti yang kami miliki. Saya tersenyum kecut kepada puluhan merpati itu, yang meloncat-loncat menunggu lemparan roti kembali. Mereka seakan tengah menagih janji. Janji yang tak bisa saya penuhi.
Abnormalitas WediOmbo yang Memikat
Sekitar jam sepuluh, setelah mandi dan berganti pakaian, kami memutuskan untuk membongkar tenda dan melanjutkan eksplorasi bahari kami ke Pantai Wediombo, yang bertetangga dengan Pantai Siung. Setelah memarkir mobil, kami menuruni tangga yang curam dan berjalan kaki sekitar dua ratus meter menuju pantai.
Saya sempat terheran-heran saat melihat dekorasi alam pantai ini. Aneh. Ya, aneh! Meski berada di bentang alam karst yang ornamennya mestinya terdiri dari bebatuan gamping, ternyata saya mendapati bebatuan vulkanis. Bahkan di antara pasir-pasir putih, terhampar butiran-butiran batu kecil mirip dengan batu kali di lereng gunung berapi. Dalam bahasa Jawa, batu kecil disebut wedi, pantas pantai ini disebut sebagai Wediombo. Ombo sendiri artinya luas. Pantai ini memang luas sekali, dengan air jernih. Lumut-lumut menyelimuti bebatuan vulkanis yang berselang-seling dengan bebatuan karang berbaham batu gamping.
Setelah membuka-buka referensi beberapa hari kemudian, keanehan saya terjawab. Memang terdapat fenomena yang sangat menarik di karena memiliki batu-batu karang yang merupakan batu vulkanis dari jenis riolit dan andesit. Menurut perkiraan, Teluk Wediombo ini dahulu merupakan bekas kawah gunung berapi yang tenggelam di bawah permukaan air laut . Jadi, bebatuan termasuk pasir yang berada di pantai ini adalah campuran antara gamping (khas bentang alam karst), organik (sisa-sisa organisme laut) dan juga pasir vulkanis. Ini tentu fenomena yang sangat menarik untuk para peneliti.
Melihat air laut yang jernih, meski sudah mandi dan rapi, kami tergoda untuk mencebur lagi ke laut. Dan … brrr, airnya dingiiin. Padahal saat itu sudah jam sepuluh pagi. Nyaman sekali ternyata, menikmati fasilitas yang disediakan alam.
Waktu beranjak begitu cepat. Meski masih ingin menghabiskan sekali lagi nge-camp di Wediombo, kami harus berdamai dengan seabrek kegiatan yang menunggu kami di kota Solo. Kami pun berkemas, mandi, makan siang dan pulang.
Namun kami tahu, separuh hati kami masih tertinggal di sana.
Namun kami tahu, separuh hati kami masih tertinggal di sana.
6 komentar untuk "Lezatnya Wisata Bahari di Situs Geopark Internasional Pantai Siung-Wediombo"
Tapi di pantai GUnung Kidul, makin ke timur makin minim fasilitas. Di Siung dan Wediombo tak ada penginapan. Masih sangat alami.
Makasih ya, atas kunjungannya...
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!