Indonesia Berhutang Budi Pada Ulama
Saya kurang tahu, mengapa para penulis sejarah di negeri ini
begitu “inferior” untuk memaparkan dengan jelas peran ulama dalam proses
pendirian, pertahanan kemerdekaan, hingga bagaimana mereka menyumbang segalanya
agar republik ini benar-benar tegak. Padahal, founding fathers negeri ini, di
antaranya Bung Karno, memiliki quotes yang sangat terkenal: JAS MERAH, jangan
pernah melupakan sejarah. Demikian juga, ketika Pak Harto berkuasa dahulu,
beliau sering berpidato, bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai jasa
para pahlawannya.
Kenyataannya, ada banyak ceruk yang tersembunyi, yang jika
kita sibak ternyata berisi fakta-fakta luar biasa. Maka, khasanah fakta itu
bukan lagi sebuah ceruk, tetapi lautan, bahkan samudera.
Pertama, ceruk pendidikan. Mari kita sibak. Ada dua lintasan
sejarah yang direkam sepanjang bulan Mei. Hari Pendidikan Nasional dan Hari
Kebangkitan Nasional. Keduanya memiliki korelasi yang sangat kuat. Karena
terdidik, sebuah bangsa bisa bangkit, mungkin begitu sederhananya.
Selalu ada latar belakang dari sebuah peristiwa. Namun,
mengkritisi sebuah peristiwa demi terpahatnya perspektif yang lebih luas tentu
bukan kesalahan.
Hadiknas dinisbatkan dari kelahiran Ki Hajar Dewantara,
Bapak Pendidikan Nasional, pelopor pendidikan dengan Taman Siswanya. Tanpa menanggalkan
jasa beliau, sejatinya ada figur-figur lain dengan andil tak kalah agung dalam
proses pendidikan negeri ini. Sebutlah KH Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani
atau yang lebih dikenal sebagai KH Sholeh Darat. Dari murid-muridnya, kita bisa
tahu kualitas beliau. Siapa saja murid beliau? Syaikh Hasyim Asy’ari, KH Ahmad
Dahlan, KH Bisri Syamsuri, KH Idris, juga
RA Kartini.
Murid-murid beliau berhasil membangun pesantren dengan tradisi
keilmiahan yang kuat. KH Hasyim Asy’ari, mendirikan Ponpes Tebu Ireng dan
Nahdhatul Ulama. KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah yang hingga kini telah
memiliki puluhan ribu sekolah. KH Idris mendirikan Ponpes Jamsaren Solo.
Sosok-sosok tersebut memiliki kiprah cemerlang dalam bidang pendidikan,
khususnya pendidikan berbasis keagamaan.
Nahdhatul Ulama akhirnya menjadi ormas islam terbesar di Indonesia.
Jumlah anggota ormas ini mencapai 85 juta, atau sekitar sepertiga rakyat negeri
ini. Ribuan pesantren, yang merupakan ciri
khas sistem pendidikan ormas ini bertaburan di seluruh persada negeri ini. Saya
mendapat informasi bahwa jumlah ponpes yang dimiliki ormas ini mencapai hampir
4.000 pesantren.
Muhammadiyah sendiri juga berkembang tak kalah pesat.
Sebagai ormas terbesar kedua, Muhammadiyah memiliki lebih dari 10.000 sekolah.
Perguruan tingginya, seperti UMS, UMM dan UMY bahkan termasuk perguruan tinggi
swasta yang cukup bonafid dan bisa disejajarkan dengan PTN favorit lainnya.
Kalau demikian adanya, apakah salah jika saya menyebut bahwa
peran ulama-ulama kita dalam pendidikan sebenarnya sangat dominan. Terlebih,
sebelum bangsa ini merdeka, mereka malah sudah eksis dengan pendirian
institusi-institusi pendidikan yang akhirnya melahirkan pemuda-pemuda dengan
nasionalisme sangat tinggi, yang rela meregang nyawa saat berperang melawan
penjajah.
Sekali lagi, saya tidak akan menafikan peran politik etis
yang dengan sekolah-sekolah ala baratnya berhasil memunculkan tokoh-tokoh elit
yang menduduki lingkar inti pergerakan bangsa ini. Tetapi, tanpa sumbangan para
nasionalis sejati yang lahir dari pondok-pondok pesantren dan sekolah
muhammadiyah, apakah negeri ini akan tegak hingga saat ini?
Sumber foto: www.inigresik.com
2 komentar untuk "Indonesia Berhutang Budi Pada Ulama"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!