Menikmati Kebencian

Suatu hari, di sebuah kampung, ada dua gank yang selalu berkelahi. Kampung jadi panas, setiap hari warganya merasa tegang. Tetapi, alih-alih mencoba menyatukan dua gank tersebut, mereka justru terbelah menjadi dua kubu. Lama-lama, percekcokan tidak hanya pada si anggota gank belaka, tetapi juga pendukung-pendukungnya. Hal tersebut terjadi berlarut-larut.

Sampai kemudian muncul seorang lelaki paro baya yang bijak dan dewasa. Sebut saja namanya Pak Ahmad. Lelaki itu adalah guru mengaji yang sederhana. Melihat pertikaian yang terjadi, Pak Ahmad merasa sangat prihatin, dan berinisiatif mendamaikan mereka. Dia panggil dua pimpinan gank tersebut, diajak makan di saungnya yang sederhana namun nyaman. Ternyata, pimpinan gank itu terketuk dengan perdamaian yang diprakarsai ustadz bersahaja itu. Mereka sepakat untuk menghentikan permusuhan.

Tetapi, apa yang terjadi? Para pendukung marah besar. Bukan apa-apa, mereka ternyata ogah berdamai sebab telah begitu menikmati pertikaian, ketegangan, dan keleluasaan saling caci maki, serta pelampiasan amarah. Mereka menikmati kebencian.

“Nggak seru lagi ah, kalau nggak ada perseteruan.”
“Buat apa damai? Perang terus aja!”

Mungkin kita bertanya-tanya, ada ya, orang yang menikmati kebencian dan ogah damai? Tentu ada. Zaman ketika saya remaja dahulu, ada dua kelompok sepakbola yang merupakan musuh bebuyutan. Jika mereka bertanding, lapangan selalu penuh. Aha, ternyata tujuan para penonton, termasuk saya, bukan sekadar untuk melihat para pemain menggocek bola, tetapi juga melihat bagaimana nuansa perseteruan yang sengit. Jika terjadi baku hantam di antara pemain, rasanya hebat sekali.

Ternyata, hingga saat ini, kita juga sering melihat pertikaian antarsuporter sepakbola yang gila-gilaan. Bahkan, sepertinya ada pihak-pihak yang mengipas-ngipasi agar terus ada rivalitas panas yang membuat kedua kubu jadi musuh abadi.

Ya, sadar atau tidak sadar, kita menikmati kebencian. Menikmati keributan. Karena, keributan itu, lezat! Saya pernah menjadi barisan orang yang kecewa saat polisi merazia petasan sampai ke desa-desa. Lebaran jadi terasa sepi, tidak ada jedar-jeder, blam-blem, dor-dor yang bikin kaget, sekaligus adrenalin yang menyembur. Bising, ribut, hiruk-pikuk ... namun nikmat.

AGRESIVITAS

Para pakar berbeda pendapat mengenai apa yang menyebabkan munculnya sifat pembenci pada seseorang. Menurut perspektif biologis, manusia sebenarnya tak ada bedanya dengan hewan. Beberapa pakar meneliti tingkah laku para simpanse, ternyata agresivitas yang muncul pada mereka bisa terjadi karena alasan teritorial (wilayah yang diusik), lalu alasan kedua adalah karena masalah pasangan (berebut betina)[1]. Ada dua instink mendasar pada hewan, yaitu eros (kehidupan) yang kemudian menciptakan perasaan positif seperti cinta, kasih sayang, kedamaian; dan tanatos (kematian) yang menciptakan perasaan negatif seperti kemarahan, kebencian, dan agresivitas.

Dari teori ini, menunjukkan bahwa perilaku benci dan agresi, ternyata merupakan bakat alami setiap manusia, yang pada prinsipnya memang sama dengan binatang. Hanya saja, pada proses perkembangannya, manusia memiliki akal budi yang membuat “kebinatangannya” tertutup. Jadi, orang yang senang menikmati kebencian dan malah hobi melakukana agresi, bisa jadi memiliki IQ, EQ dan SQ yang rendah.

Adapun menurut Bandura, agresivitas itu bukan bawaan, tetapi hasil pembelajaran. Ingatkah Anda dengan eksperimen “Bobo Doll”? Sekelompok anak dibiasakan dengan tingkah laku orang dewasa yang senang menyerang, menendang dan memperlakukan boneka Bobo dengan agresif, dan ternyata anak-anak itu cenderung bersikap agresif. Sedangkan sekelompok anak lainnya dibiasakan dengan tingkah laku orang dewasa yang memperlakukan si Bobo dengan baik: mengelus, membelai, bercakap ramah—ternyata anak-anak itu kemudian tumbuh menjadi manusia yang ramah, penuh kelembutan dan kasih sayang.

Agresivitas juga bisa dipicu dari rasa frustasi—terhambatnya upaya seseorang dalam mencapai tujuannya. Juga bisa merupakan karakter personal seseorang yang tidak sabaran, terburu-buru, tidak kooperatif, pencuriga, bahkan juga narsistik. Menurut Sarwono dan Meinarno (2009: 154), orang yang narsis—terlalu mencintai dirinya sendiri, memiliki tingkat agresitivitas yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan dirinya merasa terancam mana kala ada orang lain yang mempertanyakan dirinya: misal meragukan kapasitasnya, mengkritik, memberi masukan dan sebagainya.

Selain itu, kebudayaan, situasional (misal kondisi cuaca panas, kemarau panjang), ketidakcukupan sumber daya, tontotan kekerasan pada media masa, termasuk terbiasa melihat komentar-komentar buruk, hate speech, dan berbagai bentuk kekerasan verbal. Hati-hati jika Anda adalah buzzer yang dibayar oleh sebuah tim pemenangan kandidat politik tertentu. Kadang SOP mengharuskan Anda melakukan caci-maki, omongan buruk dan sebagainya guna menjatuhkan mental lawan politik. Jika itu terus Anda lakukan, lama-lama karakter agresivitas juga akan muncul pada diri Anda.

Bahkan, jika Anda seorang yang agamis, jangan sampai Anda terperdaya ketika mencoba "menghancurkan" lawan Anda. Apakah itu panggilan agama, atau memang sebuah pelampiasan karakter agresif Anda? Kisah Ali bin Abi Thalib bisa menjadi bahan perenungan kita bersama. Di perang Khandaq, hampir saja Ali hendak membunuh Amr bin Abd Wad, musuhnya. Namun dia mengurungkan membunuhnya, sehingga sahabat yang lain bertanya.

Jawab Ali, “Aku diludahinya, sehingga aku menjadi benci dan marah. Aku ingin menunggu sampai kemarahanku ini reda dan lenyap. Sebab aku ingin membunuh musuh semata-mata hanya karena Allah ta’ala”.

Ali sangat tahu isi hatinya, dan dia jujur. Dia tidak mau dinilai sebagai pahlawan agama karena menebas leher musuh demi agama, padahal sejatinya, itu hanya pelampiasan rasa amarahnya belaka. 

Wallahu a'lam bish-showwab.



[1] Sarwono, S.W. dan Meinarno, EA. 2009. Psikologi Sosial. Salemba Humanika. Jakarta.