Menyelami Derita “Manusia Perahu” Etnis Rohingya
sumber: bbc.com |
Bocah-bocah kecil dalam perahu itu tentu tak bisa memahami,
bagaimana mungkin mereka dianggap tak punya negara dan karenanya harus pergi
sejauh-jauhnya. Jika tak mau pergi, rumahnya akan dibakar, harta benda
dirampok, dan jika perlu: BANTAI!
Sang bocah tak mengerti, mengapa mereka harus meninggalkan tanah airnya? Mengapa mereka harus terkatung-katung di lautan, menjalani hidup dalam perahu, tanpa pendidikan, tanpa kehidupan yang layak, diusir di sana-sini.
Jika si bocah tersebut bisa membaca (sayangnya mayoritas dari mereka buta huruf), maka bocah itu akan mendapati, bahwa di buku sejarah, di sana disebutkan bahwa etnis mereka telah eksis di
tanah itu sejak abad 7 Masehi. Etnis Rohingya di Myanmar mendiami tempat di
Provinsi Rakhine. Mereka berasal dari berbagai etnis, Arab, Moor, Turki, Asia
Tengah dan sebagainya, yang kemudian menempati daerah yang dahulu disebut
sebagai Arakan. Mereka menikah dan berketurunan, dan membentuk etnis baru yang
disebut dengan Rohingya.
Pada abad 15 tepatnya tahun 1430 hingga tahun 1784, pernah
berdiri Kerajaan Arakan yang merdeka, yang didominasi etnis Rohingya dan
beragama Islam. Namun pada tahun 1784, kerajaan Arakan diserang kerajaan Burma,
dan kemudian dilanjutkan penjajahan Inggris.
Tak ada yang bisa memahami alur berpikir penguasa zalim yang
mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982 yang secara resmi
mencoret etnis Rohingya dari daftar etnis yang diakui di Burma/Myanmar.
Bukankah saat Myanmar merdeka, mereka mengakui keberadaan Rohingya? Perdana
Menteri U Nu dan segenap jajaran pemerintahan di bawahnya, melindungi
keberadaan etnis ini, dan bahkan mengangkat salah seorang etnis Rohingya,
Sultan Mahmud, sebagai menteri kesehatan.
Bahkan, menurut Aktivis PIARA (Pusat
Informasi dan Advokasi Arakan Rohingya), Heru Susetyo, bahasa Rohingya pernah
menjadi salah satu bahasa pengantar di Burmese Broadcasting Service di era
pemerintahan U Nu sebelum tahun 1962 (Benedict Rogers, 2012).
Diskriminasi terhadap etnis Rohingya terjadi setelah
Jenderal U Ne Win melakukan kudeta dan berhasil menduduki posisi tertinggi
negara itu tahun 1962. Pemerintah yang berkuasa bersikeras tak mengakui etnis
Rohingya, karena etnis tersebut tidak ada sebelum kemerdekaan Burma. Mereka
menuduh orang-orang Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh, dan karena itu
mereka harus kembali ke negeri asalnya[1].
Mereka tidak mengakui bahwa etnis
Rohingya yang ada, telah tinggal sejak zaman Kerajaan Arakan.
Maka, teror demi teror pun dilakukan secara resmi oleh
negara melalui militer. Pembantaian dilakukan oleh Jendral U Ne Win, dan
dilanjutkan oleh rezim-rezim berikutnya. Bahkan, Presiden Myanmar Thein Sein dengan
tegas mengatakan, “Rohingya are not our people and we have no duty to protect
them.’[2]
Upaya pengusiran Etnis Rohingya dimulai pada tahun 1962,
berlanjut pada 1978, 1982, 1988, 1991, 2012, dan baru-baru ini, November 2016, juga
terjadi penyerangan dan pembantaian warga Rohingya. Tragisnya, salah satu
pemimpin pembantaian terhadap etnis Rohingya adalah seorang biksu, yaitu Biksu
Ashin Wirathu. Majalah Time, pernah menggelari biksu ini sebagai “The Face
of Buddhist Teror”. Namun, Umat Budha sendiri ternyata juga ikut mengecap
aksi teror Biksu Wirathu. Dalai Lama sendiri, sebagai pemimpin tertinggu umat
Budha, meminta secara khusus kepada Aung San Suu Kyi untuk ikut terlibat dalam
penyelesaian Tragedi Rohingya.[3]
Rumah-rumah dibakar, tempat ibadah dirobohkan, Al-Quran
dimusnahkan, harta dirampok, perempuan diperkosa, yang melawan dibantai. Siapa
tahan dengan perilaku teror yang luar biasa itu. Akhirnya, secara bergelombang,
Etnis Rohingya pun eksodus menggunakan perahu. Namun, ternyata tak ada negara
yang secara jelas menerima mereka sebagai warga negara, termasuk Bangladesh,
yang diklaim pemerinta junta militer Myanmar sebagai asal keberadaan mereka.
Pengungsi Rohingya di Bangladesh hidup dalam kondisi sangat buruk, dan juga
ikut diteror warga setempat. Sekitar 200.000 pengungsi Rohingya hidup di
Bangladesh sebagai imigran ilegal, karena Bangladesh menolak menerima mereka.[4]
Sungguh mengenaskan nasib jutaan etnis Rohingya! Bisakah
Anda membayangkan? Di negerinya mereka tidak diakui, diusir dan disiksa. Lalu
di tanah pengungsian, mereka juga ditolak. Akhirnya, puluhan ribu etnis
Rohingya terkatung-katung di lautan sebagai manusia perahu. Mereka hidup dalam
kondisi lapar, berdesak-desakan, tanpa harapan, sanitasi buruk, penyakit
merajalela, dan mereka tak tahu, kapan penderitaan akan berakhir.
Memang tak semua negara menolak para pengungsi Rohingya.
Indonesia, Alhamdulillah, termasuk negara yang secara terbuka menerima mereka.
Sambutan masyarakat Indonesia pun termasuk ramah.
Namun, akar permasalahan dari
problematika yang menimpa sekitar 3,5 juta etnis Rohingya di seluruh dunia ini
adalah pengakuan dari negeri asal mereka sendiri, Myanmar. Bagaimana mungkin
mereka dengan semena-mena diusir dari sebuah negara yang telah mereka diami
berabad-abad? Klaim junta militer bisa dijawab dengan penelitian mendalam dari
para sejarahwan yang netral, bahwa etnis Rohingya sejatinya adalah para
penduduk Arakan yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Myanmar. Dan mereka
berhak tinggal di tanah tersebut tanpa adanya tindakan teror.
Myanmar harus mendapatkan desakan kuat dari masyarakat
internasional. Negara-negara yang peduli dengan kemanusiaan, harus memberi
tindakan tegas kepada Myanmar, jika perlu dikucilkan dari pergaulan dunia.
[1] Thein
Sein, Al Jazeera 29 Juli 2012
[2] https://herususetyo.com/2012/08/24/541/
[3] http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/16/06/14/o8qn1q361-dalai-lama-desak-suu-kyi-redakan-konflik-rohingya
[4] http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2010/02/100218_rohingyabangladesh
3 komentar untuk "Menyelami Derita “Manusia Perahu” Etnis Rohingya"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!