Widget HTML #1

Mari Hapus Air Mata Ibu Pertiwi...

Usia saya sudah hampir 40 tahun, tak terasa puteri sulung saya sudah ABG. Kadang, saat dia sedang asyik mengerjakan sesuatu, saya memperhatikan dari belakang. Puteri saya ini, punya wajah lumayan manis. Hm, bedalah, sama saya yang predikatnya cuma "pas-pasan", hehe. Nah, karena penampilan dia lumayan menarik, saya sering merasa khawatir. Sebuah perasaan yang saya kira dirasakan oleh semua ibu terhadap puterinya yang menginjak usia remaja. Bagaimana kalau kelak anak-anak kita, yang kita dekap, kita peluk, kita rawat hingga dewasa, ternyata menjadi korban kejahatan lelaki?

Anda seorang ibu? Samakah perasaan Anda dengan apa yang saya rasa? Lantas, bagaimana dengan Ibu Pertiwi. Meski ibu yang satu ini tidak sama dengan kita, penyebutan kata "ibu" menyifatkan dia sebagai sosok perempuan seperti kita. Ya, kita sering mendengar istilah "Ibu Pertiwi" yang merujuk pada sebuah negara yang membentang dari Sabang sampai Merauke ini. Sejak kecil, saya telah diajari menyanyikan lagu Ibu Pertiwi. Anda hapal syair dan lagunya? Yuk, menyanyi bersama...

Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati
Air matamu berlinang, mas intanmu terkenang

Hutan gunung sawah lautan, simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah, merintih dan berdoa

Kulihat ibu pertiwi, kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu, menggembirakan ibu

Ibu kami tetap cinta, putramu yang setia
Menjaga harta pusaka, untuk nusa dan bangsa

Lagu ini begitu sendu, mampu membuat hati saya ikut larut dalam kesedihan yang dirasakan sang Ibu Pertiwi. Sekadar mengkhawatirkan sesuatu yang (insyaAllah) tak terjadi pada anak saya saja, saya kadang merasa hati ini berdesir nyeri. Apalagi jika yang terjadi seperti yang dialami Sang Ibu Pertiwi. 

Sebagai seorang ibu, Sang Pertiwi tentu tengah menangis darah. Meratapi tanah air, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan, harta, pusaka, yang kian hari kian menipis dijarah "entah oleh siapa". Menangisi berbagai ketamakan, kerakusan, kebrutalan sosok-sosok yang merongrong bagian dari dirinya, yang kian hari kian telanjang dipertontonkan, tanpa rasa malu.

Ya, sulit mendefinisikan siapa sebenarnya yang telah menjarah kekayaan kita? Ada banyak nama yang bisa dituding, tetapi, begitu sulit untuk membuktikannya, saking lincah dan pintarnya para penjarah berkelit di balik baju zirah hukum yang supertebal. Penjarahan kekayaan itu, mirip kentut (maaf). Baunya tercium di mana-mana, tetapi tak ada seorang pun yang mau mengaku bahwa dia yang kentut.

Yang jelas, ibarat seorang gadis, Indonesia adalah gadis yang cantik, manis, penuh pesona, seksi dan juga kaya raya. Setiap jejaka yang melihat, sudah pasti akan jatuh cinta. Tetapi, betapa malangnya sang Indonesia, karena jejaka yang jatuh cinta, ternyata bukan tipe-tipe pecinta yang menganggap cinta sebagai sebuah "standing in love" alias cinta dewasa yang dibalur semangat memberi dan mengasihi secara aktif, sebagaimana konsep cinta menurut Erich Fromm.

Jejaka yang jatuh cinta kepada Indonesia mencintai negeri ini dengan cinta transaksional, penuh hasrat menguasai, mengangkangi, memanfaatkan, mempecundangi; bukan memupuk, memelihara, menjaga, merawatnya. Pecinta yang jatuh cinta kepada Indonesia, ndilalah adalah tipe D-Lovers bukan B-Lovers, jika mengambil konsep cinta menurut Maslow. D-Lovers adalah cinta berbasis deficiency, alias kekurangan; ketika Anda dicintai sosok sejenis D-Lovers, yakin deh, Anda akan dihisap sampai kurus kering, kemudian, setelah semua hilang, Anda akan  dicampakkan. Segala jenis patologi alias penyakit cinta, muncul dari pecinta macam D-Lovers. Sementara, bagi tipe B-Lovers (love for Being), yang disebut dengan cinta adalah mencintai sesuatu dengan penuh ketulusan, pengabdian, senantiasa menjadikan yang dicintai kian hari kian baik.

Jejaka yang menjarah Indonesia, bisa jadi kumpulan para cukong, yang disokong para pejabat korup. Sejak feodalisme ditumbangkan, muncul kekuatan baru yang terdiri dari para pemodal yang akhirnya justru mengambil alih kekuasaan dengan merebut aset-aset penting, termasuk yang menguasai hajat hidup orang banyak. Adam Smith, dalam bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, mengatakan bahwa seluruh kegiatan ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, harus diserahkan kepada mekanisme pasar, alias ditentukan dari konsep supply dan demand. Jika permintaan tinggi dan ketersediaan barang (penawaran dari produsen) rendah, maka harga akan tinggi. Jika sebaliknya, harga akan rendah. Dalam konsep Adam Smith, idealnya negara tidak boleh mengintervensi pasar. 

Mekanisme pasar, menurut Adam Smith, akan memunculkan "invisible hand" yang mengatur sendiri dinamika ekonomi. Jika ada kompetisi antarprodusen, maka akan muncul produk yang berkualitas, harga yang bersaing, tenaga kerja yang semakin berkualitas, dan sebagainya. Tampaknya bagus, apalagi dibandingkan dengan latar belakang munculnya teori Adam Smith tersebut,  yakni saat kaum feodal (raja dan keluarga) dengan kekuasaannya yang tidak terbatas, menguasai sumber daya dan digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa takut disebut korupsi. Di saat raja hidup dengan pajak dan upeti, dan menganggap semua yang ada di negaranya adalah miliknya dan keluarga.

Sayangnya, kapitalisme kemudian bergerak sedemikian liar, menjadi sebuah konsep pasar bebas yang kemudian berubah menjadi kapitalisme global. Invisible hand itu kemudian bergerak semakin liar dan mengobrak-abrik tatanan dimensi lain. Politik, sosial budaya, bahkan juga agama. Kalau ada pertanyaan kritis: "Siapa sebenarnya penggerak dinamika kehidupan saat ini?" Kita harus menjawab jujur: para cukong. Alias kapitalis. Sebab, semua narasi besar, sepertinya tiarap, yang tersisa hanya UANG-isme.

Betapa kuatnya kapitalisme, pernah dirasakan oleh bangsa Indonesia pra kemerdekaan. Tahukah Anda, VOC yang berhasil mempencundangi negara kita, ternyata sebuah perusahaan dagang. Vereenigde Oost-indische Compagnie, artinya Perserikatan Perusahaan Hindia Timur. Hebat benar ya, ada pedagang dengan senjata lengkap dan kemampuan bertempur seperti tentara! Apakah mungkin saat ini ada VOC-VOC baru yang memiliki kekuatan dan struktur sehebat itu? Kalau di Amerika Latin, kartel-kartel narkoba konon juga lincah memainkan senjata dan berkali-kali bentrok dengan aparat.

Jadi, saat itu, sejatinya kita tidak dijajak negara Belanda, tetapi dijajah oleh sebuah perusahaan. Baru setelah VOC bangkrut, Kerajaan Belanda membubarkan VOC pada 31 Desember 1799 dan mengambil alih penjajahan VOC di Indonesia. Itu pun tak bertahan lama, karena, Kerajaan Belanda kemudian kembali membuka keran swasta untuk ikut "menguras kekayaan Indonesia", hanya perannya tak lagi sebesar VOC.

Kuatnya cengkeraman para pemilik modal kemudian mendapatkan koreksi tajam dari Karl Marx, yang menganggap bahwa kapitalis ternyata telah menjadikan kaum proletar sebagai sapi perahan dari segolongan orang yang disebut sebagai kaum borjuis. Kapitalisme ternyata hanya memindahkan kekuasaan dari para raja kepada para kaum borjuis. Rakyat kecil, kaum proletar, tetap menjadi pihak marginal yang terus menerus diperas dengan semakin deraskan aliran provit ke rekening para kaum borjuis. Ajaran Marxisme inilah yang kemudian menjadi pilar penting munculnya aliran komunisme. Pada prinsipnya, komunisme adalah gerakan antikapitalisme  yang sangat menentang akumulasi modal pada individu.

Saat merancang pendirian negara ini, kedua jenis isme itu, sama-sama deras menerpa para aktivis kemerdekaan, sama-sama memanggil-manggil dengan kencang untuk dipinang sebagai sistem negara. Namun, para pendiri negeri ini kemudian memilih sistem yang bukan merupakan keduanya, namun sebuah jalan tengah. Lebih detil, Drs Mohammad Hatta yang juga seorang ekonom cemerlang lulusan Economische Hogeschool, Rotterdam (sekarang Universitas Erasmus Rotterdam), kemudian memunculkan konsep ekonomi kerakyatan yang lebih dikenal dengan koperasi. 

Hatta mengatakan bahwa soko guru perekonomian Indonesia adalah koperasi, di mana beliau mendefinisikan koperasi sebagai "usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong-menolong. Semangat tolong menolong tersebut didorong oleh keinginan memberi jasa kepada kawan berdasarkan prinsip seorang buat semua dan semua buat seorang". Koperasi adalah sekumpulan orang-orang yang bekerjasama, dan kemudian mendapatkan penghasilan dari sisa hasil usaha alias provit dari apa yang mereka lakukan bersama-sama. Koperasi memungkinkan rakyat kecil bekerja bareng-bareng, gotong-royong untuk memperoleh kemakmuran bersama.

Sayangnya, lama-lama, konsep ekonomi kerakyataan ini tergerus, dan seperti tampak usang. Tentu saja, mana ada koperasi-koperasi mampu berkembang dan memenangkan persaingan dengan kapitalisme global yang kian menggurita. Negara sendiri, tampaknya juga tak terlalu serius membina koperasi. Atau, seserius apapun negara membina koperasi, sepertinya gempuran "ekor naga" pemilik modal bisa dengan mudah mengobrak-abrik tatanan ekonomi kerakyatan tersebut.

Para pemilik modal semakin perkasa, karena akhirnya mereka bergerak pula mendekati para penguasa. Bukan rahasia umum, jika setiap ada pemimpin politik yang tampil, maka ada para pengusaha mensponsori mereka--yang tentunya tidak gratis. There is no free lunch, begitu kata pepatah. Kita pernah mendengar, pada tahun 1990-an, Lippo Group, lewat James Riady, pernah terkena kasus pemberian dana ilegal senilai satu juta dolar AS bagi kepentingan kampanye pemilu Partai Demokrat pada 1992 dan 1996. Sumber dari SINI.

Hebat banget ya, warga negara Indonesia yang satu itu! Sampai-sampai ikut menyumbang dana kampanye salah satu calon presiden negara terkuat di dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Entahlah... hehe.

Mengapa para pemilik modal mendekat ke penguasa? Sebab, sekadar mengikuti jurus "invisible hand" tentu kurang JRENG. Terlalu alami, dan terlalu susah saat mereka benar-benar berkompetisi di pasar secara bebas. Mereka perlu jurus "serangan naga" dengan mencoba mempengaruhi kekuasaan agar mengintervensi pasar, tentu saja dengan kebijakan yang menguntungkan mereka. Mereka memasang badan, mengucurkan dana tak terbatas, memodali semua aktivitas yang mendukung kekokohan mereka. Sektor politik mereka gebrak. Mungkin, mereka memang ingin mengawinkan ekonomi dan politik dalam kendali mereka secara langsung. Padahal, justru itulah yang menurut para ekonom kapitalis harus dihindari. Invisible hand harus seterusnya menjadi invisible hand. Pada praktiknya, NOL BESAR. Mereka ingin kekayaan mereka berputar cepat, jika perlu ada monopoli, minimal oligarki. Hak-hak khusus itu hanya bisa mereka dapatkan jika memiliki kedekatan dengan penguasa.

Padahal, menurut salah seorang ekonom liberal, Milton Friedman, “The combination of economic and political power in the same hands is a sure recipe for tyrany”. Ketika satu tangan yang sama memegang kekuasaan di bidang ekonomi dan politik sekaligus, maka itulah TIRANI.

Jika politik dan ekonomi telah menyatu, sektor kehidupan mana yang tak bisa dipecundangi? Sebab, orang kuat bisa dibeli dengan uang, dan orang lemah bisa ditendang dengan kekuasaan. Inilah, mengapa ibu pertiwi terlihat begitu sedih, melihat kekayaan, harta pusaka, mas intan dijarah dengan penuh kerakusan.

Tahun lalu, kebakaran besar-besaran menimpa hutan-hutan kita. Jutaan rakyat terpapar asap. Kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana saat alat-alat berat mengeruk bumi, mengambil batu-bara, intan, emas, berlian, dan aneka bahan tambang. Bukit-bukit disemen jadi vila mewah. Pantai-pantai direklamasi dan diubah jadi apartemen megah.

Ibu Pertiwi sedang memanggil anak-anaknya untuk mendekat. Semoga mereka segera datang. Anak-anak shalih, berintegritas, memiliki kekuatan, sekaligus kesadaran tentang apa yang sedang terjadi dengan ibundanya. Dan, di tengah anak-anak yang berkhianat, masih ada anak-anak lain yang memiliki ketulusan, kejujuran, dan integritas itu. 

Kian hari, jumlah anak-anak itu kian banyak. Semoga gelombang kesadaran itu bukan pula kamuflase yang dipertontonkan, tetapi memang sebuah 'tsunami' yang digerakkan Sang Maha Tinggi untuk menggempur para penjarah. Bukankah hanya gerakan massa terdidik--yang sadar dengan apa yang mereka lakukan--yang mampu menumbangkan kediktaktoran di mana pun?

Jika kalian adalah bagian dari anak-anak itu, ayo berkumpul, buatlah barisan, jangan hanya kerumunan. Datanglah kepada Sang Bunda, seka air matanya, dan mari singsingkan lengan baju untuk bela sang Bunda.

Kulihat ibu pertiwi, kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu, menggembirakan ibu

Ibu kami tetap cinta, putramu yang setia
Menjaga harta pusaka, untuk nusa dan bangsa

Sumber foto: salam-online.com
Follow Twitter @afifahafra79 

Posting Komentar untuk "Mari Hapus Air Mata Ibu Pertiwi..."