Apakah Kamu Bahagia?
"Kamu pasti tidak bahagia!" Ujar sang Mama,
sembari menatap rumah sederhana yang ditempati putrinya bersama sang suami.
Sangat jauh berbeda dengan istana megah yang sebelumnya ditempati si putri
bersama mama dan keluarganya.
"Saya bahagia, Ma," sang putri tersenyum.
Alih-alih percaya, sang mama menyangka sang putri gengsi mengakui betapa
pilihannya menikah dengan pasangannya adalah kesalahan.
"Benar kamu bahagia? Jangan pura-pura. Kamu pasti tidak
bahagia. Kamu tidak punya apa-apa."
"Mama salah. Aku punya segalanya. Suami yang penuh
perhatian, anak yang lucu, waktu luang, canda tawa dan kasih sayang yang
berlimpah."
"Kamu bohong. Kamu pasti menderita. Kamu tidak bahagia.
Mama tahu itu. Kamu pasti tidak bahagia." Si mama berkata dengan ngotot.
Si puteri kehilangan kata-kata. Lalu memilih tak bicara.
Sobat, adegan tersebut mirip sebuah adegan film, ya?
Ya, memang saya memodifikasi percakapan Nania dengan
Mamanya, sebagaimana yang bisa Sobat saksikan di film "Cinta Laki-Laki
Biasa." Terus terang, saya sangat terkesan dengan film yang diangkat dari
novel senior saya, Mbak Asma Nadia itu. Film tersebut, seperti sebuah sindiran
telak kepada orang-orang yang selalu mengukur kebahagiaan dari kacamata materi.
Dalam realitanya, kejadian seperti itu, sangat sering kita
lihat sehari-hari, dan mungkin malah kita adalah salah satu
pelakunya.
Mari kita hela napas sejenak!
Banyak orang menjadikan apa yang terjadi pada dirinya
sebagai standard dalam menilai orang lain. Misal, bagi kita, mengeluarkan duit
banyak meski untuk kegiatan positif adalah pemborosan. Maka, ketika ada orang
yang setiap gajian menyerahkan sebagian uangnya ke lembaga sosial, kita
terperangah. Lha, kok bisa? Nanti, apa yang akan dia berikan kepada keluarga?
Lalu, secara sengaja kita mencoba menelisik kehidupan
pribadinya. Kita lihat, dia hidup sangat hemat. Anak-anaknya tidak dikasih uang
jajan, namun dibekali jajan buatan sendiri.
Tiba-tiba, muncul perasaan dengki kita. Kamu keterlaluan,
anak kok diperlakukan seperti itu. Tega amat!
Kita lupa, barangkali bagi dia dan keluarga, bahagia adalah
yang semacam itu. Tapi kita memaksa agar dia memakai standard kebahagiaan
sesuai apa yang kita pakai: melimpahi anak dengan banyak fasilitas, membuatnya
hidup dalam kemanjaan dan kehilangan kesempatan untuk menjadi kuat ditempa
kehidupan.
Mengapa kita suka memaksa orang lain untuk memakai standard
yang kita pakai? Bisa jadi, karena kita merasa lebih unggul daripada orang
lain.
Banyak di antara manusia yang merasa lebih bermartabat dan
beradab daripada orang lain. Bangsa Eropa datang ke benua Amerika, lalu melihat
suku Indian yang mereka anggap tidak beradab. Dalam rangka “mendidik” mereka
untuk beradab, mereka tembaki orang-orang Indian, mereka musnahkan
kebiasaan-kebiasaan “tidak modern”-nya, sehingga pelan-pelan, bangsa Indian
tercerabut dari akar budaya sebenarnya. Demikian juga, rimba Afrika
diacak-acak, lalu penduduknya diperkenalkan dengan “peradaban baru” yang
dianggap lebih maju.
Padahal, seringkali, kearifan lokal adalah sebuah pesona
menakjubkan, dan tidak bisa digantikan dengan apa-apa yang ditawarkan sang
pendatang. Zaman dahulu, para Digulis dibuang ke Boven Digoel, sebuah penjara
terbuka di tengah hutan rimba. Banyak di antara mereka meninggal karena nyamuk
malaria. Padahal, mereka berbaju lengkap. Sedangkan orang Papua justru tak
berpakaian. Apakah nyamuk malaria tidak doyan dengan darah orang Papua? Ya,
mungkin saja. Atau, kulit orang Papua, yang telah ditempa dalam waktu panjang
di alam terbuka, telah menjadi semikian kebal dan kuat, sehingga tak mempan
gigitan nyamuk. Orang Papua juga memilih tinggal di atas pohon yang tinggi,
sehingga nyamuk susah terbang menjangkau ke atasnya. Mereka memiliki nurture dan nature yang membuat mereka survive
meskipun tinggal di sebuah tempat yang begitu “mengerikan”.
Kembali ke persoalan standard. Bukan berarti kita tak boleh
menawarkan standard kita kepada orang lain. Tentu boleh-boleh saja kita saling
berdiskusi dan sharing, siapa tahu,
dari diskusi soal standard, kita bahkan bisa menemukan standard baru yang lebih
baik. Yang tidak boleh adalah memaksakan standard, sebab, belum tentu standard
yang kita tawarkan itu tepat dan pas untuk dia.
Bayangkan, jika suatu hari seseorang bertanya kepada Anda, “Menurut
Anda, mobil yang enak dinaiki itu apa
ya? Saya butuh mobil nih, sebab anakku sudah empat, dan sulit jika kemana-mana
harus naik motor.”
Dengan santai Anda menjawab, “Alpard, dong! Keren itu, murah
lagi, gila!”
Anda lupa bahwa orang yang Anda ajak bicara adalah staf Anda
dengan gaji yang paling banter hanya cukup untuk mencicil mobil bekas 10 tahun
silam.
Hmmm... cobalah untuk memahami pemikiran orang lain, Tuan,
Puan. Dengan cara seperti itu, kita bisa menyelami pikirannya, dan tidak asbun
dengan perkataan yang mungkin menyakitinya.
Menawarkan standard, membuka ruang diskusi untuk saling
menyesuaikan standard, bisa jadi akan membuat hidup kita lebih bermakna, karena
kita justru akan mendapatkan temuan baru yang mencengangkan.
Jadi, si Mama, dalam kisah di atas, bisa lebih bijak dengan
mencoba merasapi dan memahami jawaban puterinya. Dia bisa mencoba meyakinkan
diri dengan mengeksplorasi pemikiran sang puteri.
Ada apa di balik kesederhanaan yang dinikmati betul oleh
puterinya?
Mungkin, dia akan menemukan insight yang selama ini tak dia
temui. Mungkin dia merasakan nikmat yang baru. Mungkin dia akan bersepakat
dengan puterinya. Bahwa, tak selalu kebahagiaan itu sekadar kelimpahan materi.
Seorang dosen pernah memberi nasihat kepada saya, “Kosongkan
gelasmu sebelum engkau menerima kucuran air dari gelas orang lain.” Maksudnya,
kosongkan pikiran saat kita berdiskusi dengan orang lain, simpanlah dulu isinya
di ruang memori kita yang lain. Nanti, kita akan mendapatkan bahwa jiwa dan
pikiran kita akan menjadi semakin kaya.
Tak percaya? Buktikan saja!
Posting Komentar untuk "Apakah Kamu Bahagia?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!