Haruskah Muslim dan Non Muslim Saling Membenci?
foto: republika.co.id |
Tulisan ini saya buat sembari antre panjang di poli
spesialis RSU PKU Muhamadiyah. Bukan sakit yang terlalu serius, sih (mudah-mudahan). Alkisah, seminggu ini, sepulang mudik yang cuma tiga hari (singkat banget, yak), telinga kanan saya berdenging terus. Kalau ada suara, kayak ada gaung di
telinga. Kepala pun seperti berputa-putar kayak orang mabuk. Udah saya cek, saluran telinga bersih. Jadi... kenapa ya? Tunggu hasil
pemeriksaan, ya... Hehe. Sebab, bukan topik telinga yang akan saya paparkan.
Melainkan sebuah topik yang sangat serius: haruskah muslim dan non muslim
saling membenci?
Sebelum mulai bicara panjang lebar, perkenankan saya membagi
satu penggalan kisah dalam hidup saya ini (jiaaah).
Saya ingat percakapan saya dengan tetangga saya yang
keturunan Tionghoa dan non muslim kemarin. "Bu Ahmad, saya pinjam aliran listrik
ya, buat lampu anjing saya nih yang mau beranak. Biar nggak mati kedinginan
bayi anjingnya."
Perlu diketahui, samping rumah saya adalah tanah kosong
seluas sekitar 500 meter persegi dengan beberapa bangunan semi permanen yang
disewa tetangga saya tersebut. Bangunan tersebut terbuka, sehingga angin dengan
bebas menerpa. Tanah itu digunakan sebagai lahan parkir beberapa mobil milik
tetangga saya tersebut, dan dijaga oleh seekor anjing (entah apa jenisnya, tapi
layak banget jadi anjing penjaga). Nah, si anjing ternyata sedang hamil dan
sebentar lagi melahirkan (saat itu ya, sekarang udah punya anak 9 ekor!). Saya
sempat salah sangka, karena salakan-nya begitu keras dan membikin giris, saya
kira itu anjing jantan.
Singkat kata, saya oke-in saja permintaan tetangga saya
tersebut. Why not? Apa salahnya memberi akses listrik untuk anjing yang
sedang "bertarung antara hidup dan mati." Anjing, dalam ajaran Islam
memang binatang dengan air liur bernajis. Namun status itu tidak lantas membuat
si anjing menerima perlakuan tidak pantas. Ada hadis menceritakan tentang
seorang pelacur yang diampuni Allah dan masuk surga karena memberi minum seekor
anjing yang kehausan. Kita pun dibolehkan menggunakan anjing sebagai penjaga
atau saat berburu.
Terlebih, tetangga saya itu baik banget. Saat kami membangun
rumah yang saat ini kami tempati, listrik juga berasal dari rumahnya. Dan
beliau nggak mau diganti duit... siapa bilang keturunan Tionghoa itu pelit?
Jadi... Sebenarnya saya mau cerita apa? Yup, cerita tentang
apa itu toleransi. Sepertinya, saat ini sedang berkembang sebuah labelisasi,
bahwa makhluk dengan ciri khas semacam saya ini: berjilbab, pakai kaos kaki,
gak mau salaman sama cowok selain mahram, gak mau boncengan sama non mahram
dll, atau kalau cowok ya berjenggot, dianggap sebagai radikal intoleran.
Gak cukup itu saja labelisasinya. Kami juga dituduh kaum
bumi datar, sumbu pendek, antivaksin, dan lainnya dan sebagainya. So, perlukah
saya menulis begini?
Saya muslim
Saya berjilbab
Suami berjenggot
Saya toleran
Saya pegang teguh akidah
Saya gak memusuhi non Muslim
Saya gak anti keturunan Tionghoa
Saya percaya bumi bulat
Saya cukup sabar (nggak gampang meledak alias sumbu pendek)
Saya nggak antivaksin
Dll... dsb...
Lanjutin sendiri kalau bersedia, hehe. Mirip
proklamasi aja ya?
Kembali soal toleransi. Berhadapan dengan non muslim, selama
ini saya berusaha untuk bersikap sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dalam
berinteraksi dengan non muslim. Rasul HANYA dan HANYA memerangi non muslim
dengan syarat dan ketentuan berlaku. Misal karena non muslim itu lebih dahulu
memerangi kaum muslimin. Kalau soal itu, saya kira nggak harus pandang agama
ya? Siapa yang terlihat dalam perang dunia? Kubu sekutu yang Kristen melawan
kubu jerman-italia yang juga seagama, dan Jepang yang Shinto. Berapa korban
jiwa yang jatuh? Gak terhitung!
Kamu dihajar orang, pasti kamu akan membalas, tanpa pandang
apa agamanya. Kalau kamu bilang aku nggak akan melawan, aku biarkan tubuhku
dipukul hancur--betapa mulianya kamu. Tetapi jika kamu juga membiarkan anak
istrimu, saudaramu, rakyatmu dihajar lawan tanpa kamu melakukan apa-apa untuk
menolongnya, kamu sama dengan pecundang!
Sedangkan jika tidak diserang, Rasulullah akan berlaku lembut
kepada non muslim. Bukankah Rasulullah sangat mencintai pamannya Abu Thalib
yang tak mau bersyahadat? Bahkan kematian sang paman sungguh membuatnya sangat
berduka.
Rasul juga pernah meminta tolong kepada Muth'im bin 'Ady,
seorang pembesar Quraisy yang bukan Muslim, untuk melindunginya saat beliau
diancam tidak boleh masuk Mekah setelah diketahui mencoba mencari dukungan (dan
gagal) kepada pembesar kota Thaif?
Ketika memasuki Madinah, Rasul juga tidak menghantam orang
non Muslim. Beliau justru membuat perjanjian dengan Yahudi, Nashrani dan Majusy
yang berada di Madinah untuk hidup bersama secara damai. Itulah yang disebut
sebagai piagam Madinah.
Dan tentu kita tidak lupa kisah spektakuler Rasulullah yang
menyuapi kakek tua pengemis Yahudi buta yang selalu menghina dan
mencaci-makinya, tak sadar bahwa orang yang dia caci maki adalah orang yang
setiap hari memberikannya bubur dengan penuh kasih sayang.
Hidup ini pilihan ya, termasuk dalam soal agama. Laa
ikroha fiddin kata Al Quran. Tak ada paksaan dalam agama. Jadi, kenapa
kebakaran jenggot jika nyatanya ada di antara teman kita yang memilih agama
lain?
Dulu, saat KKN, saya kaget benar, karena di satu kelompok,
saya satu-satunya yang muslim. Hei, saya nggak kuliah di Amrik atau Europe ya.
Saya "cuma" anak Undip, yang berlokasi di Semarang. Undip juga
diambil dari nama Diponegoro, seorang ulama pejuang dengan pakaian khas jubah
dan sorban yang sangat Islami. Tapi, dari 4 orang di tim saya, cuma saya yang
muslim. Pada saat itu, saya ikut KKN periode kedua yang lazimnya memang minus
peserta. So, wajar kalau satu kelompok cuma berisi 4 atau 5 orang.
Saya sekelompok dengan Agustina alias Iyut, Hendrix dan
Ferry. Iyut dan Ferry beragama Kristen, bahkan aktivis Rohani Kristen, Hendrix
yang juga keturunan Tionghoa, Katholik. Sedangkan saat itu, saya adalah ketua
Annisa Rohis F.MIPA Undip. Apakah kami berantem? No... Kami duduk
semeja, diskusi hingga malam suntuk, nangis dan ketawa bersama saat menghadapi
problematika yang menimpa tim di desa terpencil yang kami tempati selama
sebulan lebih. Kami kompak dan saling mendukung. Kami saling menghargai. Biidznillah,
karena saya paling tua (angkatan 97), sedangkan tiga teman saya itu 98, mereka
relatif manut ke saya, hehe. Jadi gini, saya kan memilih penelitian dulu, garap
skripsi baru KKN. Karena itu KKN saya bareng adik kelas.
Jadi, sebenarnya tidak ada masalah berinteraksi dan
bekerjasama dengan non muslim untuk urusan-urusan muamalah. Kalau soal akidah,
saya kuat insyaallah. Tapi soal interaksi sehari-hari, saya sangat terbuka
dengan mereka, dan karena itu mungkin, mereka juga terbuka dan menghargai saya.
Well, kaum muslimin dan non muslim sebenarnya bisa hidup
bersama secara damai.
Tetapi, mengapa permasalahan SARA saat ini menjadi begitu
membuncah? Saya curiga, ada pihak-pihak yang ingin menjala di air keruh.
Toleransi di negeri ini telah teruji sekian lamanya, bukan kisaran puluhan
tahun, tapi berabad-abad. 6 abad! Terhitung dari saat berdirinya Kesultanan
Demak. Sangat menarik, saat Sunan Kudus melakukan proses Islamisasi, beliau
sangat menghormati agama lain, saat itu adalah Hindu. Maka, beliau melarang
untuk menyembelih sapi, dan kerbau dijadikan sebagai gantinya. Tradisi
tersebut, sampai saat ini masih berlaku di Kudus. Gak percaya, mainlah ke
Kudus!
Lalu, kenapa dalam ajang-ajang politik kira-kira satu
dasawarsa terakhir ini, isu SARA sangat gencar terdengar. Ya, saya yakin, pasti
ada pihak tertentu yang sengaja mendengungkan hal ini. Tujuannya apa? Agar
Kebangkitan Islam politik dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan.
Islamophobia ditiup-tiupkan agar Islam tak diberi ruang dalam pemerintahan,
parlemen, dan ruang-ruang publik lainnya. Kaum politik Islam, yang sebenarnya
sudah eksis sejak awal pergerakan nasional bangsa kita, dan ikut andil dalam
kemerdekaan bangsa kita, distempel sebagai gerakan radikal yang ingin mengubah
Indonesia sebagai negara Islam atau malah khilafah.
Padahal, kaum muslimin sudah terikat sebuah konsesus untuk bersama dalam NKRI yang berdasarkan PANCASILA. Orang muslim dilarang melanggar janji. Pancasila bukan thaghut. tetapi justru merupakan hasil pemikiran bersama para pendiri bangsa ini, termasuk di dalamnya para pemimpin gerakan Islam di negeri ini.
Meski masih pro dan kontra, khilafah memang kerinduan sebagian kaum muslimin. Saya juga bukan orang yang anti terhadap kalangan yang memiliki keinginan khilafah tegak di muka bumi, sepanjang yang diterapkan adalah khilafah murni seperti yang dipraktekkan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Tetapi, kami sadar diri bahwa Indonesia adalah negara plural yang berisi bukan saja kaum muslimin, tetapi juga agama lain. Selama kalian berkeberatan, tentu kaum muslimin tidak bisa memaksa. Khilafah bisa tegak jika itu dipilih sebagai satu sistem dan merupakan kesepakatan bersama masyarakat Indonesia. Jika tidak? ya mau apa lagi! Revolusi? Pertumbahan darah? Bukan karakter kaum muslimin di Indonesia. Bukankah Kesultanan Demak dan masuknya Islam di Indonesia ini berlangsung secara damai, tanpa pertumpahan darah, tanpa laras bedil, tanpa genosida.
Kesepakatan bersama! Indonesia tetap akan menjadi rumah
bersama yang damai, asal ada common will di antara kita. Common will itu sudah dirajut oleh para pendiri negara ini, H. Agus Salim, Bung Karno, Syekh Hasyim Asy'ari, Ki Bagus Hadikoesoema, KH Mas Masyur, Kasman Singodimejo, Bung Hatta, dan sebagainya. Kita tinggal meneruskan. Common will itu bernama NKRI, dengan pancasila sebagai dasar negara. Bukan sistem komunis, bukan sistem kapitalis. Juga bukan khilafah.
Tak usah takut, tak usah membenci. Bukankah telah terbukti bahwa umat Islam di Indonesia adalah
umat yang cinta damai. Tak usah jauh-jauh, meminjam perkataan Obama,
candi-candi Hindu dan Budha, berdiri megah di basis umat Islam, dan ternyata
tetap terjaga dan terawat. Tak ada penghancuran, meski pemerintah kita, 80% juga terdiri dari kaum muslimin.
Jadi, sekali lagi, kaum non muslim tak usah takut pada umat Islam, karena
sebagian kami sejatinya cinta damai. Sudah 6 abad umat Islam menjadi mayoritas,
dan tak ada terlalu banyak konflik SARA yang signifikan, tak ada genosida, tak
ada pengusiran. Kita saling membutuhkan dalam interaksi muamalah. Kalian berbisnis dengan baik di negeri ini, mampu tampil sebagai kekuatan ekonomi yang kuat, tanpa kami merasa iri dan mengganggu bisnis kalian. Alih-alih iri dan berbuat anarki, kami justru harus belajar dari kalian, bagaimana memiliki etos kerja yang baik dan membentuk sistem bisnis yang efektif dan efisien.
Jadi, mengapa
harus saling membenci? Sudahlah, jangan mau dibakar-bakar lagi oleh pihak-pihak yang ingin membuat air yang jernih menjadi keruh, dan diam-diam mereka menangkapi ikan-ikannya. Ayo, bergandengan tangan!
10 komentar untuk "Haruskah Muslim dan Non Muslim Saling Membenci?"
Nah, tu dia. Labelisasi yang menyeramkan, memang sepertinya sengaja selalu ditiupkan saat ini. Miris, seolah kita ini intoleran.
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!