Dua Prinsip Mendidik Anak Secara Islami, Sudahkah Kita Melakukannya?
Tempo hari, sebuah berita menyedihkan masuk ke HP saya. Berita tentang seorang anak remaja yang membunuh bayinya sendiri. Dia malu, karena akibat pergaulan bebasnya, dia ternyata hamil dan melahirkan. Kadang, karena gelap mata, perbuatan dosa akan berefek domino, karena mengakibatkan munculnya dosa-dosa yang lain.
Yah, kehidupan seringkali begitu keras. Bahkan, bayi malang yang belum sempat menikmati indahnya dunia, tercerabut kehidupannya, dicabut oleh orang yang semestinya menyayanginya dengan setulus hati.
Anak adalah karunia yang harus disyukuri. Begitu banyak pasangan-pasangan yang merindukan kelahiran sang buah hati, jadi, mengapa kita justru menyia-nyiakan dia, yang telah hadir untuk kita.
Bentuk kesyukurannya dimulai dengan lantunan pujian ke hadirat-Nya, penyambutan yang mesra dan penuh antusiasme, dan dilanjutkan dengan pengasuhan serta tarbiyatul aulad yang berbasis nilai-nilai Rabbaniyyah.
Menurut beberapa pakar parenting islami, tarbiyah yang rabbaniyyah meliputi dua aspek, yaitu pertama mempertahankan fitrah anak dan kedua memahami serta mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin.
Mempertahankan Fitrah Anak
Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Setiap anak dilahirkan dlm keadaan fitrah...” (HR. Al-Bukhari & Muslim). Berdasarkan hadist tersebut, sejatinya setiap anak telah lahir dalam kondisi suci, bersih, dan lurus. Tugas orang tua adalah mempertahankan fitrah anak itu agar tetap lurus. Tentu tak mudah, sebab, saat berinteraksi dengan masyarakat, anak akan mengalami berbagai macam proses pembelajaran, yang tak saja bermakna positif, namun juga negatif—seperti belajar hal-hal yang buruk.
Apalagi, peran masyarakat dalam mendidik seorang anak untuk tetap dalam kebaikan, kian hari kian menipis. Masyarakat, terutama di kota-kota besar, lebih banyak cuek, egois dan kurang peduli terhadap dinamika yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Walhasil, pengaruh-pengaruh negatiflah yang justru paling banyak membentuk karakter anak-anak kita. Maka, mempertahankan anak agar tetap dalam keadaan fitroh, menjadi sebuah pekerjaan yang sangat sulit. Kita perlu bekerjasama dengan instansi-instansi pendidikan yang memiliki visi dan misi sama dengan kita, serta berusaha keras mencari lingkungan yang kondusif.
Memahami Potensi Anak dan Mengarahkannya
Setelah berupaya mempertahankan kondisi fitroh, aspek kedua adalah mengeksplorasi, menemukan dan mengembangkan potensi anak. Sejatinya, tak ada anak bodoh di dunia ini. Seperti kata Albert Einstein, semua anak sesungguhnya terlahir jenius. Namun, kegagalan orang tua dalam menemukan potensi anak, membuat si anak tidak berkembang sebagai “dirinya sendiri”, dan malah diarahkan untuk menjadi “orang lain.”
Misal, anak yang hobinya olahraga, namun orang tua tidak menangkap olahraga sebagai kelebihan si anak, dan justru memaksa anak untuk belajar Matematika—sesuatu yang bukan potensi si anak. Maka, si anak akan kesulitan mengikuti pelajaran Matematika tersebut dan akan menjadi anak yang relatif kurang cepat mengikuti materi dibandingkan anak lainnya.
Dunia kepengasuhan anak adalah dunia yang membutuhkan totalitas orang tua. Sayangnya, alih-alih menyadari perannya dan melakukannya dengan serius, bahkan banyak orang tua yang merasa cukup dengan menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah dan selanjutnya cuek serta abai. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, atau sibuk dalam ekspansi bisnisnya.
Marilah kita mencoba menguatkan diri, sehingga mampu memiliki wawasan yang cukup komprehensif, apa sesungguhnya yang harus dilakukan para orang tua agar si anak yang “dititipkan” Allah SWT kepadanya mampu tumbuh sebagai insan-insan pilihan.
Memang betul, anakmu bukanlah anakmu, kata seorang penyair, dia milik zamannya. Tetapi, orang tua bisa mengarahkan anak untuk bisa mendidik si anak sesuai dengan zamannya. Mendidik anak, ibarat melepaskan busur. Orang tua adalah busur, dan si anak adalah anak-anak panah. Anak harus dilemparkan sesuai dengan sasaran yang cermat, dan tenaga yang kuat, sehingga anak akan terbang melesat sesuai sasaran.
Mari didik anak-anak kita sehingga dia berhasil menjadi anak-anak panah yang meluncur deras dan menembus titik fokus yang kita harapkan. Tak ada hal yang kita harapkan selain keridhaan Allah SWT, dan juga buah investasi kita berupa pahala yang terus mengalir dari doa-doa anak shalih.
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim).
Wallahu a’lam bish-shawwab.
Posting Komentar untuk "Dua Prinsip Mendidik Anak Secara Islami, Sudahkah Kita Melakukannya?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!