Widget HTML #1

Habis Hoax, Terbitlah Terang: Tugas Kartini Masa Kini

Bagi masyarakat Indonesia, Kartini bukan sekadar nama. Juga bukan sekadar kisah dramatis sosok perempuan ningrat, puteri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat yang merana karena tak mampu meraih cita-citanya menjadi perempuan terpelajar. Raden Ajeng Kartini adalah simbol dari peran serta kaum perempuan di dalam memainkan peran publik. Kartini adalah wujud dari partisipasi kaum perempuan untuk lebih terberdayakan potensinya, menuju kemajuan bangsa dan negara.

Di penghujung abad 19, menjelang abad 20, seorang Raden Ajeng Kartini ditugaskan oleh Tuhan untuk mendobrak tradisi yang membelenggu kebebasan kaum perempuan masa itu. Kartini Lahir pada 21 April 1879. Saat itu, kaum perempuan “haram” hukumnya menikmati kehidupan sebagai kaum terpelajar. 

Bersekolah hanya boleh untuk lelaki, sementara kaum perempuan, kodratnya adalah sekadar berkutat di ruang domestik: dapur, sumur, kasur. Perempuan adalah sekadar konco wingking, makhluk kelas dua, yang merupakan sub ordinat dari kaum lelaki.

Kartini terlahir pada zaman semacam itu. Dan idealisme luar biasa yang ada pada jiwa Kartini, memilih untuk berontak. Kartini mencoba melawan kungkungan tradisi yang sangat tidak adil terhadap kaum perempuan.

Hasilnya sungguh luar biasa. Menurut data dari BPS, sebagaimana dilansir dari Biro Pusat Statistik, pada tahun 2015, sebanyak 10,72% perempuan Indonesia mengenyam bangku kuliah. Sedangkan yang mampu meluluskan SMA/SMK/MA mencapai 21,77%. Angka tersebut memang masih rendah dibandingkan dengan negara-negara maju lainnya. Bahkan, jika mau jujur, masih banyak sekali problematika pendidikan di negeri ini, termasuk pendidikan kaum perempuan.

Namun, dibandingkan dengan masa sekitar satu abad yang lalu, tentu profil ini merupakan pencapaian yang sangat drastis.

Melawan Hoax
Namun, bukan berarti perjuangan Kartini telah terhenti. Secara kuantitas, mungkin perempuan terdidik, mandiri dan bahkan meraih posisi tinggi, sudah bukan hal langka di zaman kiwari ini. Para perempuan di negeri ini banyak yang menjadi akademisi, direktur, menteri, bahkan juga presiden. Banyak pula yang bertitel master, doktor hingga profesor. Akan tetapi dari segi kualitas, masih banyak yang harus diperjuangkan. Salah satunya adalah bagaimana kaum perempuan menyikapi hoax.

Kata hoax pertama kali dicetuskan oleh seorang filolog bernama Robert Nares, yang merupakan semacam padanan dari April Mop. Hoax menurut Nares adalah kabar bohong yang diciptakan sekadar for fun.

Saat ini, definisi hoax berkembang menjadi informasi yang sesat dan berbahaya, karena bisa menyesatkan persepsi manusia dengan menjadikan hal yang palsu sebagai sesuatu yang benar. Bahkan, menurut Chen et all (2014), hoax bisa mempengaruhi banyak orang dengan cara menodai image (citra) dan kredibilitas.

Seiring dengan maraknya teknologi informasi, hoax menjadi santapan sehari-hari, sehingga persepsi masyarakat justru dibentuk dari informasi sesat. Fakta dan fiksi bercampur baur, sehingga membingungkan masyarakat. Proses decision making—alias pengambilan keputusan penting, seperti pemilihan wakil rakyat dan pejabat publik, diwarnai dengan banyaknya informasi yang tidak jelas, bahkan palsu. Tentu hal ini sangat mengerikan.

Maka, PR besar kaum perempuan saat ini, bukan lagi sekadar habis gelap terbitlah terang—meskipun usaha pencerahan kaum perempuan sungguh bukan pekerjaan yang dikatakan telah selesai, tetapi bertambah dengan “habis hoax terbitlah terang.” Pegiat perempuan harus lebih giat lagi mengedukasi masyarakata dengan gerakan antihoax. Salah satunya adalah literasi.

Kemampuan Literasi 
Definisi klasik dari literasi adalah kemampuan membaca dan menulis. Tetapi, pada masa kini, definisi tersebut berkembang menjadi lebih luas lagi. Literasi saat ini dipumpunkan pada frase keterampilan informasi, mulai dari mengumpulkan informasi, mengolah informasi dam mengomunikasikan informasi (Subadiyah, 2015).

Literasi diyakini merupakan obat mujarab melawan hoax. Para Kartini masa kini bisa menginisiasi gerakan anti hoax dengan beberapa langkah. Pertama, mentradisikan membaca di keluarganya. Buku  menjadi sumber informasi utama yang menjadi pegangan dalam bertingkah laku, tentu masih dalam kerangka edukasi yang didampingi guru. Pemahaman yang mendalam terhadap sebuah permasalahan, dan pengetahuan memadai tentang banyak hal, akan menjadi benteng kokoh menghadapi serangan hoax. Setelah membaca, kemampuan literasi bisa dikembangkan dengan menulis. Sebab, dengan menulis, pengetahuan yang telah dimiliki akan semakin dalam membekas di memori.

Kedua, mengajak masyarakat sekitar untuk mencintai aksara dan khususnya buku. Tradisi ilmiah tak cukup dikuatkan di level keluarga, tetapi juga di ruang lingkup yang lebih besar.

Ketiga, kaum perempuan perlu membentuk barisan yang tegas menekan upaya-upaya pengkerdilan intelektual demi kepentingan tertentu. Barisan pegiat perempuan ini bisa bekerja sama dengan pihak terkait, seperti pemerintah, untuk menghasilkan kebijakan atau police yang bertujuan pada penguatan tradisi literasi masyarakat.

Lebih dari itu, semua pihak harus bahu membahu melancarkan perang melawan hoax. Maka, motto Kartini masa kini berubah menjadi: habis hoax terbitlah terang.

Posting Komentar untuk "Habis Hoax, Terbitlah Terang: Tugas Kartini Masa Kini"