Merendah Atau Pamer Ketawadhuan?
Suatu hari, seorang kawan, berkisah tentang sebuah masalah
yang bikin saya ternganga.
“Ada seorang kerabat, entah mengapa ketika saya berjumpa dengannya, bukannya sejuk saya dapatkan, namun justru perasaan risih.”
“Ada seorang kerabat, entah mengapa ketika saya berjumpa dengannya, bukannya sejuk saya dapatkan, namun justru perasaan risih.”
Menurutnya, sang kerabat itu selalu saja merendahkan diri,
yang justru membuat Farida merasa tidak nyaman.
“Rumah megah dia bilang gubuk, mobil mewah dia bilang gerobak. Ih, lama-lama saya malah jadi risih. Mengapa nggak dibilang apa adanya saja, sih? Nggak perlu dengan sombong-sombong, tapi kan nggak perlu juga merendah-rendah yang justru membuat kita-kita jadi malu.”
“Rumah megah dia bilang gubuk, mobil mewah dia bilang gerobak. Ih, lama-lama saya malah jadi risih. Mengapa nggak dibilang apa adanya saja, sih? Nggak perlu dengan sombong-sombong, tapi kan nggak perlu juga merendah-rendah yang justru membuat kita-kita jadi malu.”
Ucapan Farida membuat ternganga, sebab kita memang sangat
biasa melakukan hal semacam itu. Mencoba merendahkan diri, namun ternyata
justru membuat lawan bicara kita menjadi tak nyaman.
Apa sebabnya? Aa Gym memiliki satu istilah yang cukup tepat: pamer ketawadhuan. Kita ingin tampil tawadhu, namun dalam hati, sebenarnya ketawadhuan yang kita tampilkan adalah dalam rangka ingin menuai pujian semisal ini, “Wah, si A ini benar-benar rendah hati, ngakunya cuma tukang sayur bayam, ternyata dia pemilik puluhan hektar perkebunan holtikultura.”
Apa sebabnya? Aa Gym memiliki satu istilah yang cukup tepat: pamer ketawadhuan. Kita ingin tampil tawadhu, namun dalam hati, sebenarnya ketawadhuan yang kita tampilkan adalah dalam rangka ingin menuai pujian semisal ini, “Wah, si A ini benar-benar rendah hati, ngakunya cuma tukang sayur bayam, ternyata dia pemilik puluhan hektar perkebunan holtikultura.”
Namanya sesuatu yang kamuflase, terkadang memang justru
terasa tidak alamiah. Daripada mengaku
sebagai tukang sayur, mengapa kita tidak mencoba mengangkat izzah dengan
kejujuran yang spontan dan apa adanya saja? “Alhamdulillah, sepuluh tahun jatuh
bangun mencoba bisnis holtikultura, pelan-pelan usaha keras membuahkan hasil.”
Sesuatu yang tidak tulus, terkadang justru menjadi bumerang,
seperti perasaan risih dari lawan bicara ketika kita berbicara. Mari kita coba
mengingat salah satu hadist riwayat Ahmad, “Istafti
qalbak.” Rasulullah menyuruh kita meminta fatwa pada hati kita sendiri.
Karena hati tak pernah berbohong.
Dengan ber-istafti
qalbak, kita akan tahu, sebenarnya kita benar-benar rendah hati, atau sekadar pamer ketawadhuan?
Jika fatwa hati berkata: saya sedang pamer, mari beristighfar, dan netralkan
dengan menyampaikan sesuai fakta, tanpa perlu menyombongkan diri.
Jadi, jika ada yang bertanya, “Apa kesibukanmu sekarang ini?”
Kita bisa menjawab, “Alhamdulillah, saya
merasa cukup baik dengan kondisi saat ini, tetapi saya masih harus lebih banyak
belajar.”
Perkataan itu menurut saya lebih aman ketimbang, “Ah, saya
mah apa, cuma remah-remah rengginang.”
Anda sepakat?
2 komentar untuk "Merendah Atau Pamer Ketawadhuan?"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!