Widget HTML #1

Catatan Hati Seorang (Mantan) Guru TPA #2

Sebelumnya, baca dulu Catatan Hati Seorang (Mantan) Guru TPA #1 ya, biar nyambung :-)

Menjadi guru TPA bagi kami benar-benar panggilan jiwa. Terkadang kami juga heran dengan diri sendiri. Di saat remaja-remaja lain sibuk dengan urusan khas anak-anak muda, kami malah sibuk rapat di masjid. Kami, meski dengan keterbatasan yang dimiliki saat itu, memiliki idealisme yang luar biasa. 

Awal TPA berdiri, anak-anak yang ikut mengaji hanya segelintir. Lalu kami coba kelola TPA itu dengan baik. Kebetulan saat itu saya dan Anang aktif di OSIS dan Pramuka. Jadi, kami terbiasa berorganisasi sejak kecil, serta memiliki banyak perbendaharaan games, outbond serta metode-metode belajar yang asyik.

Jika sebelum itu anak-anak biasa belajar mengaji di masjid dengan metode turutan yang sulit, dengan guru yang “galak” serta metode pengajaran yang monoton, dengan adanya TPA, anak-anak merasa enjoy. 

Beginilah gambaran pengajaran di TPA kami saat itu. Begitu jam TPA mulai, kami akan mengumpulkan anak-anak di halaman masjid, menyanyikan lagu-lagu bersemangat semacam Mars TPA, nge-games, dan yel-yel. Setelah itu, anak-anak akan dikumpulkan berdasarkan jilid IQRO-nya. 

Mereka ngaji IQRO satu persatu, bergiliran. Yang tidak kebagian ngaji, diberi tugas seperti menggambar, mewarnai dan sebagainya. Setelah IQRO selesai, mereka akan diberi tambahan beberapa pelajaran, seperti Sirah Nabi, Fikih Ibadah, Akhlak, Aqidah dan sebagainya. Kami juga mengajarkan aneka kesenian seperti musik Islami, baca puisi, drama dan sebagainya. Setiap event 17-an, TPA kami ikut menyumbang acara di pentas seni Panggung 17-an. Jangan salah, kami juga ada evaluasi semacam test hasil belajar lho. Setelah itu, kami memberikan raport untuk mereka.

Mungkin, melihat keseriusan kami mengelola TPA, lama-lama masyarakat percaya dan menyuruh anak-anak mereka untuk ngaji di masjid. Tahun kedua TPA berdiri, hampir semua anak yang beragama Islam (99% warga desa kami beragama Islam) ikut menjadi santri di TPA Al-Muttaqien.
Oleh almarhum Bapak saya, yang saat itu adalah Kepala SD, saya akhirnya diajari untuk membuat proposal kegiatan yang bagus. Lama-lama donatur pun percaya kepada kami, dan dana operasional mengalir lumayan. Wali santri pun dengan ikhlas mau membayar semacam SPP setiap bulan, walaupun jumlahnya tak besar.

* * *

TPA, adalah organisasi religius pertama yang saya tekuni. Saya aktif berorganisasi bahkan sejak SD. Akan tetapi, organisasi yang saya ikuti relatif umum, seperti PMR, Pramuka, OSIS dan Jurnalistik. Baru setelah saya bertemu dengan Pak Kuntowo ini, saya mulai terketuk untuk aktif di organisasi yang lebih Islami. Bahkan, karena TPA inilah akhirnya saya memutuskan untuk berjilbab.

Jujur, awal-awal saya mengajar di TPA, sebenarnya saya belum berjilbab secara penuh. Saya hanya mengenakan jilbab saat ke masjid atau ke acara-acara TPA, sementara, saat bersekolah, saya masih mengenakan rok yang panjangnya hanya sedikit di bawah lutut, kemeja lengan pendek, dan rambut tanpa tertutup kain kerudung. Nah, ada kejadian lucu, yakni saat saya turun dari Angkudes, dan saya melihat motor Pak Kuntowo terparkir di depan masjid. Kebetulan masjid berada tak jauh dari tempat pemberhentian angkudes. Saya panik bukan kepalang, dan akhirnya ngumpet di balik sebuah kios sampai Pak Kuntowo pergi dari masjid.

Saya sempat berpikir, sampai kapan saya kucing-kucingan seperti itu? Pilihannya ada dua. Saya mengaku terus terang dengan menampakkan diri di depan Pak Kuntowo dengan keadaan tak berjilbab, atau saya berjilbab penuh seutuhnya. Alhamdulillah, saya memilih yang kedua. Pada saat kenaikan dari kelas dua ke kelas tiga, saya resmi berjilbab secara penuh.

Ya, TPA adalah salah satu jalan saya menuju hidayah. Setelah berjilbab penuh, saya memutuskan untuk banyak belajar ilmu agama. Terlebih setelah saya masuk kuliah di Fakultas MIPA Universitas Diponegoro yang sering disebut-sebut sebagai pesantrennya Undip. Suasana religius sangat terasa. Kajian-kajian di mushola cukup ramai, demikian juga di masjid-masjid sekitar kampus. Ada juga Ma’had Assalam yang membuka jenjang pendidikan tinggi dengan program studi Dirosah Islam. Saya sempat mengenyam kuliah di sana di sela-sela kuliah resmi di Undip. 

Saat berada di Semarang, saya pun ikut mengajar pula di TPA dekat indekost di daerah Ngesrep Timur, Banyumanik, Semarang. Terinspirasi dengan keberhasilan kakak-kakak mahasiswa UGM yang menginisiasi TPA di desa saya dahulu, ketika KKN di desa Pakis, Grobogan, saya juga mencoba mengaktifkan TPA di sana. Tetapi, pelaksanaannya tak semudah harapan. Salah satu penyebabnya, di tim KKN desa tersebut, sayalah satu-satunya yang Beragama Islam. Karena sendirian, tentu beban menjadi berat. Beruntung, saya menemukan kader-kader anak desa asli yang bisa dibina. Merekalah yang alhamdulillah akhirnya meneruskan membangun TPA di desa mereka setelah saya pergi.

Sementara, di desa, TPA Al-Muttaqien tetap berjalan dengan tertib. Terlebih, para pengelola sudah mulai matang seiring dengan usia yang kian dewasa. Akan tetapi, memang sempat terjadi kendala serius, ketika satu per satu pengelola meninggalkan desa tercinta untuk bersekolah di jenjang pendidikan yang lebih tinggi. TPA tersebut sempat terpuruk ketika sudah tak ada lagi pengelola yang cukup bersemangat dan berkompeten. Jumlah santrinya merosot drastis. Dari sekitar seratus santri menjadi belasan, bahkan terkadang hanya beberapa gelintir yang hadir. Anak-anak di desa lebih banyak memiliki nongkrong di depan televisi atau nge-game, sementara remaja-remajanya lebih hobi nongkrong atau balapan motor. Ironisnya, hal ini terjadi saat masjid sudah direnovasi menjadi sangat megah, dan TPA diberi gedung tersendiri di samping masjid. Yah, bangunan fisik memang bukan jaminan kualitas sebuah lembaga.

Alhamdulillah, baru-baru ini TPA Al-Muttaqien kembali dirapikan. Salah seorang famili yang semula tinggal di Jakarta, pulang kampung dan menetap di sana. Dialah yang menjadi salah satu penggerak di TPA Al-Muttaqien. Semoga TPA tersebut kembali berjaya, sebagaimana TPA-TPA lainnya. Amiin.

Posting Komentar untuk "Catatan Hati Seorang (Mantan) Guru TPA #2"