Widget HTML #1

Catatan Haji #7: Indahnya Hari-Hari di Mekkah (1)

Makkah Royal Clock Tower di Abraj Al-Bait (Koleksi Pribadi)
Alhamdulillah, setelah ditelan kesibukan selama berhari-hari, saya kembali termotivasi untuk melanjutkan catatan haji yang sudah terbengkalai lebih dari 3 bulan. Saking terbengkalainya, sampai-sampai, saya khawatir jika banyak hal terlupa dari 40 hari melakukan ziarah ke tanah suci. Maklum, makin tua, daya ingat sudah tak se-cling ketika masih unyu-unyu. Mendokumentasikan sebuah peristiwa, sangat membantu membuka ingatan kita di masa lalu. Bukankah begitu? Jadi, mari kita simak saja, yuk!

Sebagaimana saya sebutkan di serial catatan haji sebelumnya, saya dan rombongan kloter SOC 39 termasuk dalam gelombang pertama, jadi lebih dahulu datang ke Madinah sebelum Mekkah. Sekitar 9 hari kami tinggal di Madinah untuk melakukan shalat arbain di Masjid Nabawi. Bagaimana keseruan shalat fardhu 40 waktu selama 8 hari di Masjid Nabawi, bisa Sobat simak di catatan haji sebelum ini.

Hari senin sore, 8 Agustus 2018, dengan menaiki beberapa bus, jamaah Kloter SOC 39 yang berisikan jamaah dari KBIH Aisyiah, Mandiri dan Amal Syuhada pun meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 6 jam. Kami datang ke kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu dalam keadaan berihram. Miqot kami ambil di Bir Ali alias Masjid Dzul Hulaifah, lalu dilanjutkan umroh di Masjidil Haram.

Pasca umroh, kami akan menempuh waktu sekitar 31 hari di kota Mekkah (termasuk di dalamnya proses ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina). Terbayang, bukan, betapa "puasnya" selama sebulan lebih menjadi "penduduk sementara" kota suci ini. Sebuah pengalaman yang tak akan terlupakan sampai kapan pun. Bahkan, ketika kembali ke tanah air, tatkala saya memutar channel TV Al-Quranul Kariim Masjidil Haram, selalu saja tanpa bosan-bosan saya memandangi ribuan, puluhan ribu, atau mungkin lebih, jamaah yang bertowaf mengitari Ka'bah dengan air mata terus mengalir.

Di Masjidil Haram
Kegiatan kami selama 31 hari terbagi menjadi 3 bagian, yaitu fase pra Haji, fase Haji (Arafah-Muzdalifah-Mina/Armuzna atau lebih top dengan nama fase Armina) dan fase pasca Haji.

Fase pra haji dimulai dari tanggal 9 Agustus hingga 19 Agustus 2018. Fase Armuzna yang merupakan inti dari ibadah Haji, jatuh pada tanggal 9-10-11-12-13 Zulhijah 1439 H, berdasarkan rukyah hilal  yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi.

Tanggal Qomariyah ini bertepatan dengan 20, 21, 22, 23, 24 Agustus 2018. Penetapan wukuf di Arofah tahun 1439 ternyata berbeda antara Arab Saudi dengan Indonesia. Sempat ada perdebatan di berbagai grup WA yang saya ikuti saat itu. Tapi, khawatir mengganggu kekusyukan, saya memilih untuk menjauhi gadget saat itu.

Oya, karena kami memutuskan untuk ikut tarwiyah (menginap semalam di Mina pada tanggal 8 dzulhijjah), maka kami sudah meninggalkan Mekkah pada tanggal 18 sore hari alias pergantian tanggal 7 menuju 8 Dzulhijjah. Fase ini akan saya bahas di catatan berikutnya, ya, semoga Anda tidak bosan membaca catatan saya ini.

Adapun fase pasca haji berlangsung sejak 24 Agustus (kami ikut nafar awal) hingga kepulangan, pada 8 September. 

Anda mungkin bertanya-tanya, selain fase inti, yaitu Armuzna, apa saja sih, yang dilakukan jamaah haji di Mekkah? Memang sekilas, terlihat waktu kami begitu luang. Maka, bagi yang niatnya kurang kuat, waktu sebanyak itu banyak yang hanya digunakan untuk jalan-jalan, atau cuma sekadar duduk-duduk di hotel. Tentu sangat disayangkan, karena untuk bisa beribadah Haji, apalagi reguler, sungguh bukan perkara yang mudah. Biaya mahal, waktu tunggu yang lama, juga persiapan fisik harus benar-benar prima. Jamaah juga harus meninggalkan keluarga dalam waktu relatif lama.

Di fase pra haji dan pasca haji, kami menetap di Hotel Raudah Al-Aseel, dan dimotivasi pembimbing kami untuk sebanyak-banyaknya melakukan ibadah, khususnya shalat dan thawaf di Masjidil Haram. 

Terkait dengan keutamaan shalat di Masjidil Haram, Rasulullah bersabda, “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Harom. Shalat di Masjidil Harom lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad 3/343 dan Ibnu Majah no. 1406).

Memang ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa hadist itu berlaku hanya untuk Masjidil Haram saja, namun ulama lain mengatakan, bahwa pahala 100 ribu kali itu berlaku untuk semua masjid di Tanah Haram Mekkah. Namun, karena saya dan suami merasa masih cukup muda dan kuat (dengan izin Allah), rasanya kok sangat sayang, kalau jauh-jauh ke Mekkah, tetapi shalatnya tidak di Masjidil Haram. Apalagi hanya sekadar di mushola hotel.

Maka, sebisa mungkin kami mencoba untuk datang ke Masjidil Haram tiap hari. Biasanya, jam 3 malam kami sudah beranjak dari hotel menuju Al-Haram, shalat malam dilanjut Shubuh hingga syuruk dan dhuha. Lalu pulang. Dhuhur dan Asyar kami kerjakan di masjid depan hotel, baru Maghrib dan Isya kembali ke Masjidil Haram.

Jarak hotel ke Masjid cukup jauh, sekitar 3 km, karena hotel kami ada di ring-2. Tetapi, ada bus shalawat no-9 yang tersedia setiap saat. Setiap 5-10 menit, bus akan melintas, menjemput para penumpang di daerah Raudhah, Mekkah. Meski begitu, pernah juga kami kesulitan mendapat bus, sehingga harus berjalan kaki menuju Masjidil Haram. 

Meski kelihatannya cukup jauh, ternyata saat itu kami tak terlalu kepayahan, ini benar-benar keajaiban. Kami berjalan kaki sekitar 30-40 menit untuk sampai ke Al-Haram, bagi saya ini rekor, karena untuk menempuh jarak 1 km saja, biasanya saya butuh waktu sekitar 15 menit.

Meski di ring-2, saya merasa sangat beruntung, karena transportasi cukup lancar. Kalaupun terpaksa jalan, juga tidak terlalu jauh. Teman saya, Tuti Adhayati, penulis dari Bogor, bahkan harus pindah bus 2 kali. Bahkan jamaah dari luar negeri, ada yang pondokannya sangat jauh, mencapai belasan km dari Al-Haram. Farida misalnya. Teman baru dari Johannesburg, Afrika Selatan, yang bertemu dengan saya saat di Masjid Nabawi, mengirim WA kepada saya bahwa dia sangat sedih karena pondokannya sangat jauh dari Masjidil Haram, dan transportasi pun tak selancar jamaah Indonesia.

Justru ring-2 ini, menurut para jamaah yang paling enak. Sebab, di ring-1, yakni jarak 0 hingga 2 km dari Al-Haram, malah tidak disediakan bus, sehingga setiap hari harus jalan kaki.

Bersama suami, berteduh di bawah Fly Over Raudhah, dekat hotel Raudhah Al-Aseel
Jalan kaki menuju Al-Haram dari arah Raudhah, akan melewati terowongan superpanjang. Terowongan itu jelas membuat perjalanan menjadi lebih teduh, karena terhindar dari sengatan matahari yang suhunya bisa mencapai 50 derajat Celcius. Memang horor, berjalan kaki di siang bolong, karena itu kami menghindari bepergian di waktu siang, kecuali pada saat-saat tertentu, misal Shalat Jumat, yang kami upayakan dilakukan di Masjidil Haram. Itulah mengapa, sebisa mungkin kami dianjurkan untuk memakai masker, khususnya di waktu siang hari.

Amunisi Konsumsi yang Wow!

Selama di Madinah dan Mekkah, juga fase Armuzna (kecuali 3 hari pra Armuzna, 2 hari pasca Armuzna dan sehari sebelum kepulangan), kami mendapat jatah makan dua kali sehari. Ini kejutan! Terimakasih kami ucapkan untuk panitia penyelenggara yang sudah mengalokasikan suatu hal yang baru. Sebelum ini, kabarnya tak ada jatah makan rutin, sehingga jamaah harus memasak sendiri atau membeli di sekitar penginapan. Tak heran, banyak jamaah yang membawa alat masak seperti rice cooker, panci dan juga membawa beras sendiri dari tanah air.

Makanan diberikan kepada jamaah setiap jam 10 pagi (seringnya saya makan saat dhuhur) dan jam 5 sore (saya makan habis shalat isya, sepulang dari Masjidil Haram). Menunya menurut saya lumayan, rasanya juga lezat. Porsinya cukup wow untuk ukuran saya, karena daging dan ayam sering diberikan dalam potongan besar. Hanya saja, sayur dan makanan seperti tahu tempe memang relatif kurang, bahkan bisa dibilang sangat jarang. Untung, buah-buahan juga diberikan, dan cukup melimpah. Pisang, apel, pear, jeruk... sangat berguna untuk menambah serat bagi tubuh. Snack juga diberikan, biasanya berupa roti atau pop mie. Menurut saya, layanan konsumsi itu sudah sangat memuaskan. Ya, mungkin karena lidah dan perut saya memang termasuk mudah untuk menerima segala macam menu. Karena memang tak semua orang merasa puas dengan konsumsi tersebut. Ada yang bosan dan memilih masak sendiri.

Nah, bagaimana dengan makan pagi? Saya berusaha mencukupkan diri dengan buah atau snack yang ada. Tetapi, kalau sedang lapar dan pengin makan, mudah saja. Di hotel 503 yang ukurannya hampir 2 atau 3 kali lebih besar dari Raudhah Al-Aseel, setiap pagi berjajar 'pasar kaget'. Apa saja dijual. Kurma, buah-buahan, gamis, tasbih, baju, juga aneka makanan. Banyak warga Indonesia yang menetap di Mekkah (kebanyakan dari Madura), berjualan aneka macam makanan khas Indonesia: bakso, soto, pecel, nasi kuning, nasi goreng, dan sebagainya. Sayang, karena biasanya saya dan suami pulang dari Al-Haram sudah jam 8 lebih, jarang sekali mendapatkan makanan khas Indonesia itu alias kehabisan.

Tapi, jangan khawatir. Di dekat hotel, ada sebuah kedai yang menjual ayam panggang dengan nasi yang khas (seperti nasi kebuli atau nasi biryani). Yang menjual warga setempat tetapi terlihat seperti keturunan Tionghoa. Porsi yang dijual mulai dari seperempat (harga SR 10), setengah (SR 15) hingga satu ayam utuh (SR 25). Ya, tahu sendirilah, orang Arab memang biasaya makan ayam lauk nasi, hehe. Nah, saya dan suami termasuk suka dengan masakan si Engkoh berjenggot dan bergamis itu. Apalagi, dia juga cukup lancar berbahasa Indonesia, meski sering bercampur bahasa Inggris saat berkomunikasi dengan kami (tampaknya beliau tahu, bahasa Arab kami sangat minimalis).

Selain kedai itu, di Terminal Syib Amir, depan Masjidil Haram, juga berlimpah kedai makanan yang menyajikan makanan lezat. Ada satu kedai dengan nasi biryani yang lezat, sayang harganya lebih mahal dari kedai si Engkoh itu.

Awal memasuki kota Mekkah, rasanya memang agak crowded, agak njomplang dengan suasana Madinah yang rapi, tertata indah dan damai. Namun, lama-lama saya mulai kerasan dan menikmati indahnya hari-hari di kota itu.

(Bersambung).

Posting Komentar untuk "Catatan Haji #7: Indahnya Hari-Hari di Mekkah (1)"