Catatan Haji #9: Syahdunya Wukuf di Arafah

Suasana perkemahan di Arafah (koleksi pribadi)
20 Agustus 2018 (9 Zulhijjah 1439H)

Pagi-pagi, saat matahari terbit, kami sudah siap. Saya sengaja bangun sangat awal, dan mandi sekitar jam 2 malam, karena jika terlambat sedikit, antrean bisa panjang.

Karena kami sudah melakukan ihlal "labbaika hajjan" sejak dua hari yang lalu, kami sudah dalam posisi ihram. Para pria mengenakan baju ihram, berupa 2 lembar kain tak berjahit, sementara kami, kaum perempuan mengenakan pakaian biasa yang menutup aurat secara syar'i. Rata-rata kami mengenakan pakaian serba putih. Bus mengangkut kami dari Mina menuju Arafah. 

Ada satu keuntungan bagi kami yang mengikuti tarwiyah terlebih dahulu. Tas-tas kami yang berisi berbagai perbekalan selama prosesi Haji, kami tinggal di tenda di Mina. Jadi, kami hanya membawa satu tas kecil berisi kebutuhan untuk wukuf di Arafah dan juga matras kecil untuk mabit di Muzdalifah. Cukup praktis dan memudahkan.

Sampai di Arofah, kami memasuki tenda untuk jamaah Indonesia Maktab 16. Alhamdulillah, untuk jamaah dari KBIH Aisyiah, telah disediakan satu tenda yang cukup besar, dengan bagian bawah sudah diplester dengan semen dan beralas karpet yang cukup nyaman. Jika dibandingkan, hampir semua tenda masih beralas pasir gurun dengan debu-debu yang tentunya bisa berhamburan mengenai tubuh jamaah.

Ada 2 buah kipas angin besar, yang terhubung dengan wadah air, sehingga dari kipas tersebut butir-butir air tersebar, menyejukkan tenda. Akan tetapi, saat udara begitu panas saat wukuf, kipas tersebut nyaris tak mampu mengusir hawa panas yang menguar.

Arafah adalah sebuah padang yang sangat luas, berlokasi sekitar 20 km di timur kota Makkah. Luas padang ini ada beberapa versi, ada yang menyebut sekitar 18 km persegi, ada yang 20 km persegi. Namun, kisarannya adalah sekitar 3,5 km kali 5,5 km. Lokasi Arafah berbentuk seperti busur raksasa. Di Padang Arafah, ada Jabal Rahmah, tempat bertemua Nabi Adam dan Siti Hawa. Saat wukuf, Jabal Rahmah akan dipenuhi oleh jamaah haji, sehingga terlihat memutih.

Jabal Rahmah (koleksi pribadi)

Sayang, tenda tempat kami berada, cukup jauh lokasinya dari Jabal Rahmah. Dan memang, jamaah haji asal Indonesia lebih dianjurkan untuk tinggal di tenda, alih-alih mendaki Jabal Rahmah. Mungkin karena fisik orang Indonesia tidak sekuat jamaah asal Afrika atau India. Bayangkan, saat terik mentari membakar, suhu di Arafah bisa mencapai 50 derajat Celcius. Di dalam tenda saja suasana sudah sangat panas, apalagi jika naik ke Jabal Rahmah. 

Meski disebut sebagai “jabal” yang artinya gunung, ketinggian Jabal Rahmah hanya sekitar 70 meter. Di Arab, bukit-bukit lazim disebut sebagai jabal. Jabal Nuur, Jabal Uhud, dan jabal-jabal lain, untuk ukuran Indonesia, lebih layak disebut sebagai bukit.

Namun, meski tinggi Jabal Rahmah tak sampai 100 meter, tetap saja membutuhkan fisik kuat untuk bisa mendaki gunung tersebut di bawah terik matahari yang membakar tubuh.

Saya dan suami di Padang Arafah, sebelum wukuf

Untungnya, sebelum prosesi Haji berlangsung, beberapa hari sebelumnya, kami sudah mengunjungi  Jabal Rahmah. Saat itu kami bersama rombongan melakukan wisata mengunjungi beberapa tempat yang akan dijadikan sebagai lokasi prosesi haji seperti Arafah, Muzdalifa dan Mina.

Selain Jabal Rahmah, objek lain yang memikat perhatian jamaah haji adalah Masjid Namira. Saat wukuf, masjid itu dipenuhi dengan jamaah. Hanya saja, harus hati-hati, sebab sebagian wilayah Masjid Namirah, ternyata tidak terletak di Padang Arafah, namun sudah masuk Lembah Uranah. Wukuf bisa tidak sah jika melewati kawasan di luar batas Padang Arafah. Padahal, wukuf adalah salah satu rukun haji yang tak boleh ditinggalkan.

Persiapan Wukuf

Tenda kami di Maktab 16

Persiapan menjelang wukuf, kami isi dengan membaca Al-Quran, berdzikir, membuka-buka nama-nama yang akan didoakan (banyak yang menitip doa, dan saya persilahkan mereka menulis di buku khusus), dan aktivitas lainnya. Saya sempat antre panjang di kamar mandi yang jumlahnya sangat terbatas. Antre kamar mandi merupakan salah satu ujian kesabaran, terlebih saat itu kami sedang dalam keadaan ihram, sehingga harus menjaga betul perkataan yang keluar dari mulut kami.

Untuk bisa masuk kamar mandi, antrean bisa mengular hingga 10 orang atau belasan, bahkan lebih. Banyak yang malas antre, sehingga memilih untuk mengurangi minum, tentu ini sangat berbahaya, karena bisa menyebabkan dehidrasi. Kebersihan kamar mandi juga sering membuat prihatin. Pembalut, pampers dewasa dan sebagainya, sering dijumpai menumpuk di sudut kamar mandi. Bagi para Mr dan Mrs Perfect yang memiliki standard kebersihan sangat tinggi, harus bersiap-siap untuk menjaga hati.

Meski sudah dalam keadaan berihram, masih banyak juga jamaah haji yang terpancing untuk cekcok, saling beradu argumentasi, dan sebagainya. Saat saya antre wudhu misalnya, ada beberapa ibu berbantah-bantahan tentang masalah fiqih sampai begitu ngotot. 

Sabar, sabar dan sabar. Di Tanah Suci, apalagi di Arafah, semua manusia yang sedang berhaji tumplek blek di sana. Mereka memiliki pemahaman fiqih yang berbeda-beda. Pembimbing haji kami berkali-kali menekankan hal itu kepada kami.

Suasana Wukuf

Suasana dalam tenda (koleksi pribadi)

Setelah shalat dhuhur dan asyar yang dilakukan secara jamak-qoshor, khutbah wukuf dimulai. Khutbah disampaikan oleh Ustadz Tri Bimo Suwarno, Lc., yang juga ketua Kloter kami SOC 39. Saat mulai khutbah, air mata sudah mulai berleleran membasahi pipi. Lantas, saat doa-doa dilantunkan, hampir semua dari kami menangis. Menangis dan menangis.

Baik pria maupun wanita, semua larut dalam tangis. Menangisi dosa-dosa kami, juga menangis karena haru, bisa melewati satu hari yang sangat agung. Ini adalah hari di mana Allah SWT membanggakan para hamba-Nya di depan malaikat.

“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2: 224).

Doa di hari Arafah adalah doa yang paling utama. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik doa adalah doa hari Arafah, dan sebaik-baik ucapan yang aku dan para nabi sebelumku ucapkan adalah La ilaha illallah wahdahu la syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syaiin qadir.”  (HR. at-Tirmidzi no. 3585, dihukumi shahih oleh al-Albani).

Dan yang paling mendasar, esensi dari Haji sebenarnya adalah Wukuf di Arafah. Sebab menurut Rasulullah, “Al-hajju ‘arafah.” Haji itu adalah Arafah.

Pohon Sukarno

Pohon Soekarno (koleksi pribadi)

Satu jam setelah khutbah wukuf dan berdoa, kami rehat sejenak untuk makan siang. Setelah itu, doa dilanjutkan sendiri-sendiri. Suami saya mengajak saya keluar dari tenda, menyeberangi jalan raya dan menuju tempat terbuka di bawah pohon yang tumbuh rindang. Memang cukup menarik, karena lokasi wukuf di Arafah ternyata tidak segersang yang kami perkirakan. Pohon-pohon tumbuh rapi dan berjajar di sekitar tenda. Orang-orang menyebut sebagai Pohon Sukarno. 

Ceritanya begini, saat berhaji di Mekah, presiden Indonesia saat itu, Ir. Soekarno, merasakan panas yang teramat sangat saat di Arafah. Bung Karno pun mengusulkan kepada raja Arab untuk menanam pohon. Tahun 1955, Indonesia mengirim ribuan bibit pohon Mindi beserta tanah dari Indonesia untuk ditanam di Arafah. Mindi (Melia azedarach) dipilih karena paling cocok dengan kondisi tanah di Arab Saudi.

Sekarang, pohon itu berhasil menghijaukan padang Arafah. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Pohon Soekarno. 

Di tempat terbuka itu, kami menggelar matras dan kembali khusyuk melanjutkan doa. Saya lihat, di sekitar saya juga banyak orang-orang dengan alas seadanya: kardus, tikar atau kertas koran, duduk sembari menengadahkan tangan ke langit. Di tempat terbuka, debu-debu sering berhamburan terkena angin. Meski hampir semua tempat telah ditutup paving block, masih ada sisa-sisa tanah gurun yang terbuka.

Kami terus bertahan di Arafah, hingga malam hari. Setelah shalat maghrib dan isya yang dilakukan secara jamak-qoshor, satu per satu rombongan pun mulai diangkut menggunakan bus menuju Muzdalifah.

Bersambung ke #CatatanHaji10: Muzdalifah...

1 komentar untuk "Catatan Haji #9: Syahdunya Wukuf di Arafah"

Comment Author Avatar
Keren bunda...begini kalau penulis kawakan menjadi saksi sejarah. Kisahnya mengabadi di ranah aksara..Trims.Barakallah #imasava

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!