Jangan Mau Jadi Pribadi Agresif!


Jika Anda penggemar sepakbola, tentu Anda mengenal rivalitas abadi antara Barcelona vs Real Madrid, Real Madrid vs Atletico Madrid, Manchester United vs Manchester City, atau kalau dalam ranah nasional, Persija vs Persib.

Luar biasa lho, persaingan antarmereka, tak kalah dengan pertarungan “Cebong” vs “Kampret” di ajang Pilpres kemarin.

Rivalitas mereka tidak sekadar terejawantah di lapangan, yakni melalui duel sportif yang sarat gengsi dan emosi. Ternyata, adu gengsi juga berlanjut di luar lapangan. Fans-fans mereka saling ejek, saling ledek, sampai bentuk agresi yang melibatkan kontak fisik.

Dunia politik pun tak ada bedanya. Beberapa tahun terakhir ini, dunia nyaris terbelah oleh dua kutub yang saling tarik-menarik, dengan daya tarik yang sama kuat, sehingga massa yang tertarik pun nyaris seimbang. Mungkin, tanpa sadar kita juga masuk dalam salah satu kutub, dan ikut terjebak dalam polaritas.

Maka, jagad politik pun jadi sangat berisik. Saling bully, saling ejek, saling un-friend-blokir-RAS, bahkan juga saling lapor polisi, menjadi fenomena yang tak kasat mata. Pertarungan memperebutkan kursi presiden, gubernur, bupati atau juga anggota legislatif menjadi sangat keras dan bising. Puncaknya adalah pada Pilpres kemarin.

Perilaku tersebut di atas, merupakan bentuk dari agresi. Dalam sejarah, kita kenal Agresi Militer Belanda pertama dan kedua, yang nyaris membuat bangsa Indonesia yang saat itu masih muda belia hampir kehilangan kemerdekaan yang baru beberapa tahun diproklamasikan. Para pejuang bergerilya melawan Belanda yang dibantu sekutu, dengan bersenjatakan seadanya, termasuk bambu runcing.
Agresi menurut KBBI didefinisikan sebagai: “perasaan marah atau tindakan kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang atau benda.”

Mengapa banyak manusia menjadi agresif? Kompleks, sih ya... sebabnya bisa bermacam-macam.
Menurut Brigham, J.L.  (1991), menyebutkan, bahwa faktor yang mempengaruhi agresi, antara lain: fanatisme, deindividuasi, frustrasi, dan faktor lingkungan. 

  • Fanatisme berarti keyakinan, rasa suka, perasaan ‘ngefans’ yang sangat kuat pada seseorang terhadap sesuatu. 
  • Deindividusasi adalah leburnya kesadaran individu atau jati diri, karena telah lebur dalam perilaku kelompok. 
  • Frustasi berarti perasaan putus harapan karena keinginan tak tercapai. 

Ketiga hal tersebut, ditambah dengan kondisi lingkungan seperti bising, penuh provokasi, atau penuh nuansa teror, akan membuat seseorang cenderung berperilaku agresif.

Perilaku agresi tidak hanya berwujud serangan fisik, seperti Belanda menyerbu kota-kota di Indonesia dan mendudukinya. Menurut Berkowitz (1995), agresi bisa berupa fisik maupun verbal, langsung maupun tidak langsung, dan aktif maupun pasif. Juga bisa di dunia nyata maupun dunia maya. Karena dunia maya sifatnya virtual, biasanya orang cenderung akan kian galak melakukan agresi.

Perilaku agresif tentu sama sekali jauh dari nilai-nilai positif. Agresi dan agresif ini berkonotasi negatif. Alih-alih merajut, yang ada adalah memecah belah.

Bagaimana menghindarinya? Jangan terlalu fanatik, berusahalah menemukan jati diri—menjadi diri sendiri, berusaha mengelola frustasi dan berusahalah untuk mendapatkan lingkungan yang kondusif. Jangan lupa, senantiasa tentramkan jiwa dengan banyak berzikir dan berfikir.

Jangan mau jadi pribadi agresif!

2 komentar untuk "Jangan Mau Jadi Pribadi Agresif!"

Comment Author Avatar
Loh, tipsnya hanya ada di paragraf terakhir? XD
Comment Author Avatar
Ntar ya, diedit lagi, atau bikin posting baru

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!