"Jeneng" Sebelum "Jenang", Cerlangkan Reputasi Baru Patok Gaji
Bagi seorang penulis, Medsos bukan hanya sekadar tempat silaturahim, memperkenalkan produk, atau personal branding (jiaaah), tetapi juga sarana menggali ide. Apa-apa yang viral di media sosial, bisa kita jadikan bahan tulisan. Termasuk kasus postingan si oknum mahasiswa salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini yang banyak dikomentari netizen. Pasalnya, si fresh graduate ini menyebutkan bahwa dia ditawari gaji "hanya" Rp 8 juta oleh sebuah perusahaan lokal. Menurutnya, gaji itu tak sesuai dengan almamaternya yang sudah bertaraf internasional.
Saya sebut dia hanya oknum saja. Sebab, banyak teman-teman saya yang juga alumni kampus yang sama dengannya, tidak terlalu membanggakan sebegitu menjulangnya, sampai gaji sebesar itu saja (untuk fresh graduate, lho) bisa ditolak. Padahal, di kota-kota kecil, banyak fresh graduate digaji tak sampai seperempatnya dan ternyata puas-puas saja.
Tapi, hak dia sih, mematok gaji. Bagi saya, gaji ini bagian dari deal-deal antara seorang pemberi kerja dengan pencari kerja. Prinsipnya tentu keridhaan. Sama-sama ridho, karena prinsipnya, dua-duanya saling membutuhkan. Kalau ada calon pegawai meminta gaji tinggi, tapi perusahaan tidak mampu dan memang ratenya sangat jauh di bawah standard, wajar jika perusahaan menolak.
Yang zalim adalah ketika perusahaan mampu, dan butuh posisi tertentu yang memang memerlukan keahlian yang "mahal", lalu ada karyawan bagus yang sangat dibutuhkan itu, tetapi digaji murah. Ini kebangetan banget. Sebab, keahlian itu tidak datang begitu saja. Membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, biaya, pikiran yang tentu tidak murah.
Hal yang paling ingin saya soroti dari kasus viral sebagaimana tersebut di atas adalah sebuah pemahaman bahwa: uang memang penting, tetapi bukan segalanya. Saat kita bekerja, yang ingin kita cari bukan sekadar gaji, tetapi juga kenyamanan, kesempatan mempraktikkan ilmu (yang berarti akan semakin terlatih), membangun networking, pengalaman, wawasan dan sebagainya.
Terlebih jika Anda seorang fresh graduate. Sehebat apapun kampus Anda, selalu ada gap antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat mulai meniti karir, sebaiknya jangan terlalu fokus mengejar pendapatan, tetapi perkuat dulu kemampuan diri yang nantinya akan berujung pada reputasi.
Dalam falsafah Jawa, ada ucapan yang artinya kurang lebih begini: cari jeneng dulu baru jenang. Hanya beda huruf "E" dan "A" saja, maknanya bisa sangat berbeda.
Jeneng berarti nama. Sopo jenengmu? Artinya, siapa namamu? Jenengku Yeni, namaku Yeni. Jeneng dalam hal ini tak sekadar nama, tetapi termaknai sebagai nama baik, alias reputasi, yang terbangun karena kualitas diri, skill, loyalitas, keahlian, dan sebagainya.
Adapun jenang adalah makanan, yang biasanya berbentuk seperti bubur tetapi agak kental dengan bahan dasar tepung beras. Jenang di sini dimaknai sebaga hasil dari kita bekerja berupa materi, misal gaji, komisi, pendapatan dan sebagainya.
Kalau orang sudah punya jeneng, dia akan mudah dapat jenang. Semakin moncer reputasi, akan semakin melambung itu gaji.
Jika kamu fresh graduate, apapun almamatermu, sibukkan diri membangun reputasi (jeneng) terlebih dahulu. Buktikan bahwa kamu mampu bekerja, bisa diandalkan, bisa jadi solusi dari berbagai permasalahan.
Baru setelah teruji, kamu bisa menetapkan jenang (penghasilan). Masak teruji saja belum, sudah mulai patok gaji begitu tinggi.
Jika kau sudah memiliki reputasi tinggi, berapapun kau patok gaji, kau akan tetap dihormati, bukan dicaci maki.
10 komentar untuk ""Jeneng" Sebelum "Jenang", Cerlangkan Reputasi Baru Patok Gaji"
Jadi teringat sebuah tulisan, bahwa dalam hidup ini memberi dulu baru menerima ...
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!