Mana Karcisnya, Pak?
Gambar: liputan6.com |
Judul artikel ini saya kutip dari sebuah pertanyaan yang
dilontarkan oleh seorang penumpang bus. Alkisah,
dalam sebuah perjalanan menggunakan bus ke sebuah tempat, ada sebuah kejadian
yang menghentak hati saya. Saat itu, seorang penumpang bertanya kepada
kondektur yang menarik uang jasa transportasi. Karena tidak diberi karcis, si
embak cantik berkacamata modis bertanya, “Mana karcisnya, mbak?”
Pertanyaannya tampak sepele, dan ditanggapi tanpa
berbelit-belit oleh sang kondektur dengan segera merobek secarik kertas tanda
terima, atau yang sering kita sebut sebagai karcis. Mungkin sebenarnya dia hanya
pas lupa tidak memberikan karcis, atau, memang dia sedang khilaf ingin bermain
api dengan tidak memberi karcis. Khilaf yang segera terkoreksi oleh sikap si
embak penumpang tadi.
“Mantap mbak,” ujarku sambil mengacungkan jempol kepada si
embak tersebut. Tulus. “Saya tadi malah lupa nggak menanyakan karcis saya.” Saya memang
naik lebih dahulu dibanding penumpang tersebut.
Tampaknya, tak ada suatu hal yang luar biasa. Namun,
sepanjang jalan, saya berpikir serius tentang kejadian tersebut. Saya terus
saja merutuki diri sendiri yang tidak bertanya sekritis gadis tersebut. Kenapa
saya tidak kritis? Saya malas memperpanjang urusan. Toh, sudah banyak kejadian
semacam itu. Sudah menjadi budaya, kondektur tak memberi karcis merupakan pemandangan
sehari-hari. Saya malas dianggap nyinyir. Saya....
Dulu, sebenarnya saya juga kritis. Setiap naik angkutan umum
berkarcis, biasanya saya juga menagih karcis. Saat pakai kendaraan pribadi dan
ada tiket parkir, saya akan cek antara angka yang tertera dengan yang harus
saya bayar. Juga jika hendak masuk ke tempat-tempat wisata.
Tetapi karena tetap saja tak ada perubahan, lama-lama saya
menganggap hal itu sebagai masalah biasa. Kadang, saya malah sedikit jengkel
kepada suami yang terus saja melakukan hal itu, karena menganggap perjalanan
jadi lebih ribet. “Biarinlah, Mas... mungkin gaji mereka kurang!” Nah, nggak cuma
menganggap wajar, saya bahkan membela mereka yang jelas-jelas sudah bersikap
tak jujur.
Tak sadar, saya sudah mirip seperti seekor anjing yang
meneteskan air liur sebagaimana dalam riset Pavlov.
Ada seorang peneliti bernama Ivan Petrovich Pavlov. Dia
berhasil menciptakan teori pengkondisian (conditioning) asoisatif stimulus
respons. Begini risetnya. Sebelum pengondisian, seekor anjing secara otomatis
akan meneteskan air liur (salivation) saat disodorkan makanan. Sementara, saat
dibunyikan bel, anjing tersebut tidak mengalami salivasi. Lalu, Pavlov
mengondisikan saat memberi makanan, dia bunyikan bel. Setelah pengondisian
sekian lama, ternyata saat dibunyikan bel, meski tak ada makanan, si anjing
tetap mengalami salivasi.
Nyambung, nggak sih dengan kejadian itu? Sambung-sambungin
sendiri deh, hehe.
Yang jelas, setelah dikondisikan sekian lama oleh kejadian
yang sama, akhirnya saya mingkem saja melihat pelanggaran demi pelanggaran
dilakukan orang-orang di sekitar saya. Ah, hanya masalah kecil!
Karena itu, saya kagum dengan sikap si gadis tersebut. Dia
berani menyampaikan kebenaran, mencegah terjadi praktik kecurangan, meski untuk
itu dia sempat mendapatkan lirikan beberapa penumpang lainnya, juga sedikit
senyum kecut kondektur.
Zaman sekarang, orang yang tegak dalam aturan, sering
dianggap lebay, sok suci, sok idealis, dan sebagainya. Pernah saya dongkol
bukan main, ketika sudah lama antre di sebuah outlet makanan, mendadak seorang
ibu dengan sikap tak berdosa menerjang antrean. Lebih jengkel lagi, si penjual
malah melayani si ibu penerjang antrean itu dengan senang hati. Setelah saya
sampai di depan penjual, saya ngomel. “Mas, apa nggak perhatikan antrean begitu
panjang? Kok ada yang nerjang antrean, Anda diam saja?”
Tetapi, apa yang terjadi setelah itu. Saya menyesal telah
mengomeli si mas. Saya mendadak merasa cerewet dan galak. Apalagi, saya tidak
melihat orang-orang yang antreannya diterjang memberi dukungan kepada saya. Mereka
diam-diam saja, bermuka datar, nggak merasa marah antrean diterjang. Kan saya
jadi malu! Wkkk...
Jadi, intinya, saya sudah terjebak dalam sebuah teori ‘big lie’ ala Joseph Goebbels, atau yang
dikenal dengan nama argentum ad nausem.
Seribu kali keburukan dipropagandakan sebagai kebaikan, maka akan jadi
kebaikan. Bisa juga sebaliknya. Sejuta kali kebaikan disebut-sebut sebagai
keburukan, maka akan jadi keburukan.
Orang-orang macam si Mbak berkaca mata itu harus
diperbanyak. Agar sosok-sosok seperti saya terbangun dan tersadar. Keburukan
tetap keburukan. Bayangkan jika si kondektur tadi terus menilap uang karcis.
Misal sehari dia menggelapkan 25 karcis dari 100 karcis yang seharusnya dia
keluarkan. Jika satu karcis seharga Rp 10.000,- berarti tiap hari perusahaan
busnya kehilangan pemasukan Rp 250.000,-. Jika ada 10 bus, berarti Rp 2.500.000
kali setahun sudah hampir semilyar sendiri ruginya.
Bagaimana jika hal tersebut terjadi di lembaga pemerintahan?
Dan menghinggapi banyak orang? Tikus-tikus dan celurut berdasi tiap hari
menilap uang yang bukan haknya.
Kita sering geram jika mendengar para pejabat korupsi sekian
milyar, sekian trilyun. Tetapi, dalam ranah terkecil yang kita hadapi, kita
sering abai terhadap potensi-potensi ketidakjujuran yang terjadi di depan mata.
Posting Komentar untuk "Mana Karcisnya, Pak?"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!