Widget HTML #1

Kedaruratan Ekologis, Literasi Hijau dan Peran Forum Lingkar Pena (Catatan Milad ke-23 FLP)


Ketika Allah SWT berkehendak menjadikan manusia, dalam hal ini adalah Adam a.s. beserta keturunannya menjadi pengelola alam semesta (khalifatu fil ardh), Malaikat mengajukan sebuah pernyatan yang menunjukkan keberatan. “Mengapa Engkau hendak menjadikan (pengelola) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah?[1]

Tak sekadar merasa keberatan, Malaikat juga menawarkan diri mereka untuk menggantikan peran tersebut. “…Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".

Apakah gerangan kelebihan manusia? Mungkin begitu keheranan yang terbetik di benak Malaikat. Manusia memiliki potensi sebagai makhluk yang senang melakukan kerusakan dan senang menumpahkan darah. Apa yang akan terjadi dengan bumi, jika manusia justru diberikan tugas untuk menjaganya?

Kemudian, Allah SWT memberikan sesuatu yang tak diberikan kepada malaikat, yaitu Al-Asma’ (ilmu tentang nama-nama benda). Wa 'alama adamal asma-a kullaha. Karena pemahaman akan Al-Asma’ itulah, Malaikat kemudian hormat dan mengakui keunggulan manusia, serta bersedia bersujud kepada manusia atas perintah Allah SWT.

Apakah al-asma-a kullaha itu? Tentu bukan sekadar ilmu tentang nama-nama benda. Lebih dari itu, adalah ilmu mengelola alam semesta, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, sebab keduanya memiliki kaitan erat. Menurut A.L. Rowse (2014), ilmu sosial akan memimpin ilmu sains, sehingga sains bisa bermanfaat untuk kemashlahatan manusia.

Jadi, jelas sudah, manusia diberikan tugas rabbaniyyah untuk menjadi pengelola alam semesta, dengan bekal ilmu tentang alam semesta. Semakin terlihat sinkron, karena ayat Al-Quran yang diturunkan pertama turun adalah ayat tentang literasi: IQRO BISMIRABBIKA, bacalah dengan nama tuhanmu![2]. Ya, sebelum diperintahkan untuk melakukan serangkaian ibadah, manusia disuruh untuk iqro bismirabbika terlebih dulu. Dengan iqro, dia paham ilmu. Dengan ilmu, dia tahu apa yang harus dikerjakan dan apa yang wajib ditinggalkan.

Jika Adam a.s. sebagai manusia pertama (menurut keyakinan umat Islam dan beberapa umat agama lain di dunia) mendapatkan ilmu al-asma langsung dari tuhannya, manusia-manusia sesudahnya mendapatkan ilmu dengan cara melakukan IQRO.  Ketika kita membaca sebuah tulisan, berarti ada sebuah produk karya tulis. Lalu, agar pengetahuan berkembang, kita dianjurkan menemukan research gap dari tulisan tersebut, dan mencoba mengisi celah tersebut, sehingga ilmu akan semakin lengkap dan maju. Demikian, kegiatan literasi terus berjalan, sehingga manusia akan mencapai pada sebuah puncak peradaban. Literasi yang mengantarkannya disebut literasi berkeadaban.

Jika kita mencermati hal tersebut di atas, lalu dikomparasikan dengan kejadian saat ini, kita akan mendapatkan benang merahnya. Malaikat khawatir bahwa manusia tak mampu mengelola alam semesta dengan baik. Dan nyatanya, saat ini kita melihat bahwa kerusakan terjadi di mana-mana. Menurut Walhi, telah terjadi ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, Indonesia mengalami kondisi darurat ekologis[3]

Dalam pernyataan lain, disebutkan bahwa hutan Indonesia, setiap tahunnya ada 4 juta hektar yang mengalami kerusakan. Mirisnya, lebih dari 90% bencana yang terjadi di Indonesia ternyata merupakan bencana ekologis, di antaranya karena faktor cuaca ekstrem dan perubahan musim.

Tentu kita tidak bisa menggugat Allah SWT, mengapa tidak mengikuti saran malaikat untuk tidak menjadikan manusia sebagai pengelola alam semesta. Allah Maha Benar dan Maha Tahu atas segala sesuatu. Kerusakan alam semesta terjadi karena manusia tidak melakukan proses iqro dengan benar, sehingga tidak mampu menguasai al-asma. Selain itu, juga faktor keserakahan dan kezaliman segelintir manusia yang ingin melakukan eksploitasi alam demi semakin menumpuk pundi-pundi hartanya.

Tahun 1866, Erns Haeckel memperkenalkan kata ekologi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah cabang ilmu baru. Menurutnya, ternyata ada hubungan timbal balik antara organisme atau kelompok organisme dengan lingkungannya. Oikos adalah rumah/tempat tinggal, sedangkan logos adalah ilmu. Jadi, ekologi adalah ilmu yang mempelajari organisme di rumah tempat tinggalnya, yakni alam semesta. Hubungan timbal balik itu, akan membentuk satu keseimbangan yang disebut dengan homeostasis ekosistem. Dalam kondisi seimbang inilah, manusia dan makhluk lain akan saling berinteraksi secara harmonis, proporsional, saling menghargai, tak saling mengganggu.

Ekologi jelas sebuah bagian penting dari al-asma. Sayang, proses iqro dari ilmu ini sangatlah minim. Bahkan, ilmu ekologi hanya didapatkan sebagai bagian dari program studi seperti biologi, kehutanan, atau ilmu lingkungan. Sementara, ilmu tentang eksploitasi alam semesta begitu banyak dipelajari di bangku-bangku kuliah atau pun sekolah lainnya.

Forum Lingkar Pena, sebagai sebuah organisasi yang bertekun di bidang literasi, akan mengambil peran lebih dalam proses iqro tentang keseimbangan alam semesta, yang kami rumuskan menjadi sebuah terma “literasi hijau”. Kata hijau disematkan di belakang kata literasi, sebagai sebuah simbol dari bumi yang subur, penuh dengan tanaman hijau sebagai pabrik oksigen sekaligus paru-paru dunia. Gerakan Literasi hijau merupakan upaya proses pemberian informasi tentang bagaimana semestinya alam semesta dikelola, sehingga keseimbangan tetap bisa dipertahankan.

Penyadaran itu bisa dilakukan dengan terus memberikan informasi yang benar serta ajakan untuk terus menjaga kelestarian alam semesta, baik cerpen, artikel, esai, novel, puisi atau karya-karya lainnya, bahkan juga lewat cuitan atau status di media sosial. Saat ini, lebih dari 3000 anggota FLP telah terverifikasi di database. Jika setiap hari satu karya diterbitkan, maka akan terjadi sebuah gerakan terpola yang akan berpengaruh besar terhadap kognisi, afeksi dan psikomotorik masyarakat.
Banyaknya kerusakan yang terjadi di muka bumi, menyadarkan bahwa homeostasis ekosistem sudah tergoncang begitu parah. Jika tak segera dilakukan perbaikan, tak mustahil, bumi akan semakin rusak dan akhir kehidupan manusia akan semakin dekat.

Kita mengenal dan percaya konsep takdir, tetapi, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd:11).

Bersamaan dengan Milad ke-23 FLP, yang jatuh pada 22 Februari 2020, dan puncak peringatannya akan diselenggarakan di Bandar Lampung, 23 Februari 2020, Forum Lingkar Pena resmi melaunching gerakan “Literasi Hijau”. Semoga gerakan ini akan menjadi salah satu proses iqro, yang mana akan mengajak umat manusia bahwa kita semua memiliki kewajiban untuk mengelola alam semesta dengan sebaik-baiknya.



Catatan kaki:
[1] Q.S. Al-Baqarah: 30
[2] Q.S. Al-Alaq: 1
[3] Walhi.or.id 

Posting Komentar untuk "Kedaruratan Ekologis, Literasi Hijau dan Peran Forum Lingkar Pena (Catatan Milad ke-23 FLP)"