Lockdown, Ketahanan Pangan dan Konsep "7 Tahun Panen 7 Tahun Paceklik" Ala Nabi Yusuf

Lumbung padi, kebiasaan nenek moyang (foto: mediaindonesia.com)

Semakin naiknya angka kasus Covid-19 di negeri ini, juga di seluruh permukaan dunia, telah membuat masyarakat was-was. Pasalnya, per 25/3/2020, total kasus coronovirus se dunia sudah mencapai angka 423.724 kasus, dengan angka kematian sebesar 18.925 jiwa. China merupakan negara dengan kasus terbesar, yakni 81.218 kasus, namun dalam kematian, Italia menduduki peringkat pertama, yaitu 6.820. 

Suasana di planit Bumi terasa suram, karena negara-negara besar, semua telah dihajar tanpa ampun oleh serangan makhluk mungil ini. Selain China dan Italia, USA, Spanyol, Jerman, Iran dan Perancis, merupakan negara-negara yang mengalami ujian berat atas besarnya angka kasus infeksi SARS-NCoV-2 ini. 

Beberapa negara telah menempuh kebijakan lockdown, alias isolasi total. Dilansir dari kompas.com (22/3/2020), ada 15 negara yang melakukan lockdown, di antaranya Italia, Perancis, Spanyol, Malaysia dan sebagainya. Di Indonesia, wacana lockdown juga mengemuka. Sebagian kalangan mengusulkan agar Indonesia melakukan kebijakan lockdown.

Sebenarnya, lockdown memang sangat rasional dalam menghambat persebaran virus maut ini. Dalam Islam sendiri, lockdown merupakan metode yang digunakan dalam mengatasi pandemi (tha'un). Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Menurut Imam An-Nawawi rahimahullah, hadist ini memperlihatkan dua hal: pertama, terlarang hukumnya mendatangi daerah yang terkena wabah/tha’un; kedua: larangan untuk keluar dari lokasi wabah dengan tujuan menghindari wabah. 

Jika kita menelisik penjelasan tersebut, maka sebenarnya hadist tersebut merupakan penjelasan dari konsep lockdown alias isolasi. Mengisolasi sebuah tempat yang menjadi lokasi wabah, akan menghambat persebaran dengan penyakit tersebut. Lihatlah ilustrasi di bawah ini!

Menarik satu batang korek api menjauh, akan menghentikan kobaran api
(ilustrasi: honey.nine.com.au)
Akan tetapi, lockdown memang bukan perkara mudah. Satu hal yang jadi pertanyaan, jika kita mengalami lockdown, lalu bagaimana dengan biaya hidup kita? Hal ini pernah iseng saya tanyakan ke beberapa orang. Seorang karyawan mengatakan, bahwa dia hanya punya cadangan hidup untuk sebulan, itu pun ngepres. Yang lain, paling banter sebulan dua bulan. Malah ada juga yang bilang, bahwa dia sama sekali tidak ada anggaran.

Memang ngenes, ya. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 250 juta penduduk. Hanya ada segelintir, yakni sekitar 20 juta lebih golongan atas. 50 juta merupakan kelas menengah atas (upper middle class). Kedua golongan ini mungkin mampu bertahan jika kita terpaksa harus lockdown. Mereka punya rumah bagus, bisa santai-santai di rumah yang memiliki fasilitas komplet.

Bagaimana dengan 180 juta penduduk lainnya, yakni kelas menengah yang rawan jadi miskin, serta kalangan bawah yang pastinya akan menjadi lebih miskin karena tak berpenghasilan?

Jika kita melihat UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebenarnya lockdown lebih dikenal dengan istilah karantina wilayah. Ada 3 jenis karantina dalam UU tersebut, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah. 

Di pasal 53 butir 2, karantina wilayah di maknai sebagai: 
Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut.

Jika lockdown yang dimaksud adalah karantina wilayah, maka sebenarnya sudah ada dalam konstitusi kita. Tetapi, bagaimana dengan biaya hidup masyarakat yang terpaksa tidak bisa bekerja dan roda perekonomian terhenti?

Dalam pasal 55 disebutkan bahwa kebutuhan hidup dasar dan makanan hewan ternak menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.


Tetapi, masalahnya, bukan hal mudah pula merealisasikan hal tersebut. Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk yang jumlahnya 8x lipat dari rakyat Arab Saudi dan sekitar 5x lipat penduduk Spanyol. Anggap saja Jakarta dan sekitarnya saja, sebagai episentrum Covid-19 yang di-lockdown, berapa biaya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai mana amanah UU tersebut? Jika total penduduk Jadebotabek sekitar 33 juta, dan dalam sehari butuh Rp 20.000 untuk kebutuhan dasar, maka pemerintah harus mengeluarkan sekitar Rp 660 milyar/hari. Jika lockdown dilakukan selama sebulan, butuh sekitar 20 trilyun!

Sementara, kita tahu, cadangan keuangan negara kita sungguh memprihatinkan. Coba lihat ilustrasi postur APBN kita! Boro-boro ada cadangan, bahkan ada defisit 307,2 trilyun!


Kasus merebaknya Covid-19 ini memang unpredictable. Outlook 2020 jelas negatif. Sejumlah negara dipaksa menggelontorkan dana besar-besaran untuk melawan efek coronavirus. Dilansir dari cnbcindonesia.com (24/3/2020), Italia menyiapkan anggaran sebesar US$ 27 miliar (dengan kurs Rp 15.000, berarti sebesar 405 trilyun rupiah) untuk menghadapi coronavirus. Kanada lebih besar lagi, yakni US$ 63,9 miliar (Rp 958 trilyun) dan Korea Selatan US$ 66 miliar (Rp 990 trilyun). 

Pemerintah Indonesia jelas pusing tujuh keliling dengan masalah ini. Tak hanya secara makro, secara mikro, masyarakat Indonesia jelas akan terdampak.

* * *

Akan tetapi, meskipun wacana lockdown tampaknya musykil, pemerintah secara massif mulai gencar mensosialisasikan berbagai himbauan seperti work from home (bekerja dari rumah), juga social distancing (direvisi WHO jadi physhical distancing). Di beberapa tempat, sekolah-sekolah juga diliburkan. Artinya, sebenarnya ada upaya untuk melakukan self lockdown. Dalam kondisi semacam ini, mau tidak mau, kita harus berpikir secara mandiri, bagaimana agar kita tetap bisa terus survive di tengah kondisi ekonomi yang memburuk.

Nah, dalam kondisi pening semacam itu, mendadak saya teringat dengan konsep perencanaan ala Nabi Yusuf a.s. Dalam Al-Quran, dikisahkan bagaimana Nabi Yusuf mengajukan diri menjadi wazir agung (semacam menteri keuangan atau menteri yang mengatur logistik) kepada raja Mesir saat itu, Fir'aun. 

Saat menjadi wazir agung, Nabi Yusuf a.s. mengajari kita kaidah perencanaan yang sangat matang. 7 tahun masa panen, 7 tahun paceklik. Dikisahkah bahwa saat itu Mesir mengalami masa kejayaan selama 7 tahun. Panen melimpah ruah. Namun, kemudian Mesir mengalami masa sulit selama 7 tahun pula. Kehebatan Yusuf a.s. digambarkan saat itu, bagaimana Mesir tidak mengalami resesi, meskipun dilanda paceklik hebat selama 7 tahun.

Yang mengherankan, zaman itu belum ada teknologi pasca panen. Atau sudah ada barangkali, tapi kita tak tahu. Anak-anak saya bingung: gandumnya disimpen di mana? Perlu ditelusuri lebih lanjut oleh para akademisi kayaknya nih... tetapi, secara umum kita tahu, benda akan awet jika dalam kondisi kering. Karena itu, petani-petani kita biasa menjemur gabah hingga benar-benar kering. Dulu, di rumah-rumah orang desa, ada lumbung padi. Gabah yang sangat kering akan disimpan di sana. Karena berasnya masih terlindungi kulit sekam (karyopsis), dan gabahnya benar-benar kering, maka gabah akan tetap awet sampai lebih dari 6 bulan.

Saya sering berpikir, bagaimana ya, inti dari manajemen stok zaman Nabi Yusuf dahulu? Yang jelas, petani-petani zaman itu sudah memiliki metode penyimpanan gandum yang baik, sehingga awet. Sangat mungkin jika Nabi Yusuf melakukan sebuah metode yang dalam manajemen stok zaman sekarang dikenal sebagai konsep FIFO--First In, First Out. Yang pertama masuk, pertama pula keluar. Apotek-apotek jelas menggunakan kaidah ini. Sebab, jika abai, maka akan banyak sekali barang yang expire alias kadaluarsa.

Kalau di masa Nabi Yusuf, saya bayangkan dari panen melimpah tahun ke-1, cadangannya disimpan untuk tahun ke-8. Panen tahun ke-2, untuk cadangan tahun ke-9. Dan seterusnya.

Konsep FIFO ini nggak mudah, lho, menerapkannya. Apalagi jika tak disiplin. Toko-toko modern, displaynya sudah ditata memakai kaidah FIFO, khususnya untuk bahan-bahan yang ada masa kadaluarsanya. Sayangnya, kalau kita berbelanja di toko modern, biasanya kita selalu ambil yang bagian belakang. Alasannya, biar lama expire-nya. Ya masuk akal juga sih. Apalagi jika kita juga akan membeli bahan tersebut sebagai cadangan.

Tetapi, kalau memang mau dimakan hari itu juga, jangan ambil yang belakang dong. Ambil yang depan. Ini dalam rangka meminimalisir produk mubazir! Tapi, yang rugi kan tokonya, bukan kita?

Sobat, dalam skala makro, ketika ada barang mubazir, yang rugi bukan hanya pemilik barang tersebut, tetapi juga orang lain. Sebab, jumlah makanan itu terbatas, apalagi jika makanan pokok. Jika kita membuang sepiring nasi, sebenarnya kita sudah mengurangi jatah nasi orang lain.

* * *

Kisah Nabi Yusuf itu sangat terkenal. Anak-anak SD pun tahu. Sayangnya, banyak yang tidak mengambil pelajaran dari kisah tersebut. Bahwa duit melimpah tidak akan selamanya. Ada kala kita akan menghadapi masa-masa sulit. Maka, kita butuh cadangan. Jangan semua yang kita punyai dihabiskan.

Kalau konsep Nabi Yusuf terlalu "muluk", (kan nabi, kan dapat wahyu), coba saja belajar dari nenek moyang kita. Seperti yang saya sebut di atas, petani-petani zaman dahulu memiliki lumbung. Rumah-rumah tradisional di suku-suku negeri kita, biasanya dilengkapi dengan lumbung. 

Ibu-ibu zaman dulu juga biasa menabung emas dalam bentuk perhiasan. Dulu saya pernah ada acara sekolah dan ortu pas tidak punya uang. Maka ibu menjual cincin di toko emas. Uangnya untuk biaya sekolah. Ibu-ibu masa sekarang belinya HP. Belinya tiga juta, saat dijual, harganya sudah turun jadi sejuta. 

Bisakah kita telisik lebih mendalam lagi, bahkan makanan-makanan tradisional pun banyak yang dibikin awet seperti: dendeng, serundeng, peyek, rendang, wajik, dodol, karak dan sebagainya. Dan makanan itu dibuat dengan mekanisme alami, tanpa menggunakan obat pengawet. 

* * *

Saya bukan mufassir, ada apa di balik angka 7 tahun masa panen dan 7 tahun masa paceklik. Saya yakin, itu tidak sekadar angka kebetulan, karena tak ada kebetulan di muka bumi ini. Akan tetapi, karena angka 7 tahun itu ditarik dari kitab suci, bagus juga jika kita menjadikannya sebagai patokan perencanaan.

Penjelasan agak logisnya begini: pada bisnis yang berhasil alias sukses, mungkin akan terus menghasilkan sampai 7 tahun pertama. Nah, pada saat itu, jangan terlena. Jangan foya-foya. Jangan hamburkan semua yang kita punya. Sangat mungkin pada tahun ke-8 hingga tahun ke-14, kita akan menghadapi masa yang sulit. Misal semakin banyaknya kompetitor. Ini kan sangat wajar di dunia bisnis. Banyak orang senang melakukan ATM: amati, tiru, modifikasi. ATM mungkin mending. Kadang cuma AT saja. Amati, tiru. Amati, tiru!

Suami saya bercerita, bahwa dulu saat mahasiswa (beliau FK UNS angkatan 1995), suami termasuk yang awal-awal memulai berbisnis HP, aksesoris dan pulsa. Saat itu, bersama temannya, suami menyewa satu kios untuk dijadikan usaha. Hasilnya lumayan, sehingga suami berani melamar saya, meski statusnya saat itu masih koass. Tetapi, tak beberapa lama, konter-konter HP mulai bermunculan dan menjamur. Akhirnya, suami pun menutup usahanya.

Hal yang sama mungkin terjadi pada pekerja-pekerja di sektor hiburan. Tujuh tahun pertama, bisa jadi banyak sekali tawaran main film, manggung, konser dan sebagainya. Tetapi, akan ada titik jenuh di mana penggemar berpaling ke yang lain.

Maka, kita perlu memasukkan titik-titik kritis ini dalam perencanaan hidup kita. Mari ikuti pola Nabi Yusuf dalam memenej masa makmur kita untuk menghadapi masa paceklik.

Masalahnya, kita tidak pernah makmur, lalu apa yang dicadangkan?

Hehehe... nggak begitulah. Saya yakin, semua orang sudah memiliki rezeki dalam porsi masing-masing. Yang penting, saat ada pemasukan, jangan habiskan semua, apalagi jika kita bukan pekerja tetap yang setiap bulan gajian. Pekerja tetap pun, juga jangan lantas merasa santai. Banyak kenalan saya, ASN, yang justru terbelit hutang. Status gajian tetap tanpa ada planning jelas, membuat mereka sangat tergoda untuk hutang. 

* * *

Dalam skala bernegara, ada baiknya kita juga meniru model Nabi Yusuf tersebut. Salah satu problem pertanian kita adalah permasalahan pasca panen. Maka, kita sering mendapati harga cabe melambung tinggi di suatu musim, dan jatuh sangat rendah, bahkan busuk terbuang saat panen raya. Tomat-tomat dibuang di jalan-jalan karena tak ada yang beli.

Nabi Yusuf sukses menghadapi masa paceklik, pasti karena manajemen pascapanen yang bagus. Ini harus kita pikirkan dengan mendalam.

Yang jelas, cadangan itu penting. Darimana asalnya? Ada 2 cara: ekstensifikasi dan intensifikasi/efisiensi. Ekstensifikasi sederhananya adalah upaya penambahan penghasilan atau omzet. Jika ini sulit dilakukan, lakukan intensifikasi, yakni dengan cara mengoptimalkan yang kita miliki dan melakukan efisiensi sebaik mungkin. Pangkas pengeluaran yang tidak perlu, perkuat pengawasan sehingga korupsi bisa dihindarkan, lakukan penghematan.

Cadangan itu penting, Guys! Kalau manusia, gemuk itu menyebalkan, karena terlalu banyak lemak yang merupakan cadangan energi. Tetapi, bagi untuk kondisi perkocekan alias keuangan, gemuk itu bagus, asal semangatnya bukan semangat menumpuk kekayaan, tetapi semangat untuk antisipasi jika datang masa sulit.

Setuju?

2 komentar untuk "Lockdown, Ketahanan Pangan dan Konsep "7 Tahun Panen 7 Tahun Paceklik" Ala Nabi Yusuf"

Comment Author Avatar
tulisannya inspiratif dan bermanfaat bgt ini mba. Saya masih suka goyah soalnya kalo urusan menyimpan cadangan, kalo cadangan lemak mah banyak :D
Comment Author Avatar
kondisi saat ini pula yang bikin saya dan suami dapat pelajaran mbak.. harus punya simpanan atau usaha cadangan. Sedang waswas nih bagaimana keuangan keluarga bulan depan.

tulisannya menginspirasi. trimakasih mbak..

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!