Jaga Lisan Di Dunia Maya! Kalau Tidak... Ini Bahayanya!


Anda mungkin mengerutkan kening saat membaca tulisan saya. Di dunia maya, kok yang dijaga lisannya? Bukankah di dunia maya, yang biasanya identik dengan media sosial, yang digunakan bukan lisan, tetapi tulisan? Memang sih, saat ini sudah mulai muncul banyak jenis-jenis fitur di dunia maya. Ada gambar, ada audio, juga audiovisual. Setelah Facebook diluncurkan pada Februari 2004, menyusul Twitter pada Maret 2006, sejumlah media sosial dengan kekhasannya masing-masing pun meramaikan dunia netizen.

Instagram, berdiri pada 2010, diakuisisi Facebook pada 2012, merupakan media sosial berbasis foto dan video. Youtube sebenarnya sudah muncul pada 2005 dan dibeli Google pada 2006. Namun terasa sekali maraknya akhir-akhir ini. Youtube, sebagaimana kita tahu, merupakan media sosial yang memungkinkan kita menggunggah dan menonton video.

Meski begitu, media sosial masih identik dengan tulisan. Bagaimanapun, Facebook dan Twitter masih cukup mendominasi pemakai media sosial. Bahkan, IG dan Youtube pun masih membutuhkan tulisan sebagai caption dan komentar. Karena itu, mengapa yang harus dijaga justru lisan? Kenapa bukan jempol atau jemari kita yang lain?

Saya punya alasan tersendiri. Semoga teman-teman semua bersepakat. Jadi, media sosial yang kita yakini selama ini sebagai tempat berkomunikasi menggunakan tulisan, ternyata bukanlah produk tradisi tulisan. Lho?

Menurut Prof. Fathur Rokhman, pakar sosiolinguistik dari Universitas Negeri Semarang (2017), meskipun menggunakan tulisan sebagai salah satu sarana, tradisi yang berkembang di media sosial adalah tradisi lisan.  Jadi, meski kita sudah berlelah-lelah menata aksara, ternyata itu belum bisa disebut sebagai produk budaya tulisan.

Tradisi lisan memiliki beberapa kecenderungan, yaitu tidak reliabel (selalu berubah-ubah, sangat rentan dengan perubahan), dan kebenarannya seringkali bersifat terbatas (karena tidak melalui pendalaman ataupun referensi yang cukup). Bukankah ini cocok dengan apa yang terjadi pada media sosial? Meski sarana yang kita pakai adalah tulisan, tetapi sesungguhnya itu adalah produk lisan. Di Twitter, istilah yang dipakai adalah "tweet" yang diartikan sebagai cuitan, atau kicauan. Kalau pada manusia, mungkin lebih tepatnya ocehan.

Di Facebook pun, begitu kita membuka akun kita, yang terlihat di beranda adalah: "Apa yang Anda pikirkan?" Kita diminta untuk menuliskan seketika apa yang terlintas di kepala kita saat itu juga. Memang sih, ada fitur edit. Tetapi, seringkali kita tetap tergerak untuk spontan menulis, dan dipublikasikan secara cepat. Tanpa pendalaman. Itu kan, ciri budaya lisan, bukan?

Banyak pakar marketing menyebut media sosial sebagai sebuah e-WOM alias electronic word of mouth. Getok tular, tetapi terjadi secara elektronik. Berarti, ini juga sebuah konfirmasi bahwa media sosial itu memang sebuah tradisi lisan. Jadi, yang terjadi di media sosial adalah sebuah percakapan (conversation) antar pengguna media sosial, yang lazim disebut sebagai netizen.

Jadi, klir kan, bahwa media sosial itu adalah sebuah budaya lisan, yang menggunakan tulisan sebagai sarananya.

* * *

Budaya lisan itu punya karakter tersendiri, tetapi biasanya cenderung mengaburkan fakta sebenarnya. Kita mengenal pepatah “titip uang bisa berkurang, titip omongan bisa bertambah.” Faktanya, seringkali orang yang diberi pesan secara lisan, menambah-nambah pesan itu, sehingga justru menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan apa yang dimaui si pemberi pesan.

Mungkin itu sebabnya, mengapa banyak cerita-cerita rakyat yang berkembang di masyarakat kita, biasanya begitu ajaib. Sebab, campur aduk antara fakta dan mitos. Ada seorang sunan yang bertapa hingga tubuhnya lumutan, ada seorang anak muda sakti yang bisa meloncati kolam luas sembari duduk sehingga memikat raja yang kebetulan lewat, bahkan juga ada seseorang yang dikutuk jadi batu.

Tradisi lisan bisa "dimaafkan" karena zaman dahulu persebaran pesan tak secepat sekarang. Menjadi mengerikan ketika ketergesa-gesaan budaya lisan, berkawin dengan teknologi yang supercanggih.

Media sosial ini, sebagai sebuah tradisi lisan, yang belum mengalami pendalaman dan penajaman, bahkan seringkali merupakan sesuatu yang keluar spontan, dengan kecanggihan teknologi informasi, apa yang kita tulis di status kita, atau yang kita ucapkan dan direkam dalam video misalnya, bisa tersebar dengan sangat cepat alias viral.

Maka, banyak orang yang terkaget-kaget, ketika cuitan atau status yang awalnya “hanya iseng”, ternyata mendapat reaksi sangat keras. Bahkan “kegilaan-kegilaan” masa lalu kita yang sudah terjadi belasan tahun silam, masih bisa dilacak dan menjadi jejak digital yang tak bisa kita pungkiri. Banyak public figure yang kemudian dibenci secara massal, padahal apa yang dia sampaikan dalam akun media sosialnya, sebenarnya hanya sekadar canda belaka.

Di zaman digital seperti ini, ternyata bukan hanya “mulutmu harimaumu” tetapi juga “statusmu harimaumu.”

Bahkan, lebih parah lagi, jika tradisi-tradisi lisan klasik semacam pidato, ngobrol sana-sini, masih dimaklumi jika belepotan, netizen seringkali tidak mau tahu dan menghajar begitu saja jejak tradisi lisan yang dianggap mengusik hati mereka. Netizen, seringkali lebih galak dari ibu-ibu bawel.

Terus, bagaimana, dong? Simpel saja! Karena memiliki jejak yang bisa menjadi bumerang, perlakukanlah media sosial sebagai tradisi tulis. Perhatikan apa yang akan kita tulis, renungi, jika perlu cantumkan referensi, edit kembali sebelum posting, dan pertimbangkan matang-matang risiko yang akan muncul.

Kok repot, ya? Demi kebaikan kita dan orang-orang di sekitar kita, repot tak masalah. Atau, jika memang belum siap mental dan masih suka baperan, sebaiknya tutup saja media sosial kita.

Jadi, mari kita jaga lisan di dunia maya. Kalau tidak... ini bahayanya? Lha apa bahayanya? Simpulkan sendiri, hehe...

Ilustrasi: world.edu

1 komentar untuk "Jaga Lisan Di Dunia Maya! Kalau Tidak... Ini Bahayanya!"

Comment Author Avatar
apalagi semnjak ada undang-undang ite ini, harus lebih berhati hati lagi ya bersocmed mbak

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!