Widget HTML #1

Surat Cinta Untuk Generasi Beta, "Beginilah Pandemi Coronavirus Itu, Cucuku..."


Dear Generasi Beta, kamu adalah generasi yang akan terlahir di atas tahun 2025 hingga sekitar satu setengah dekade ke depan. Pada saat itu, anak-anakku mungkin sudah besar, sudah menikah dan berkeluarga. Anakku yang pertama, lahir tahun 2004, mungkin dia akan melahirkan Generasi Beta. Jadi, kau adalah cucuku.

Kutulis surat ini, sebagai sebuah dialog virtual. Kau belum ada saat ini, tetapi mungkin akan ada, jika Allah berkehendak. Dalam surat ini, aku akan bercerita tentang sebuah peristiwa yang kau namai saat itu sebagai sebuah sejarah. Mungkin kau akan membaca di buku-buku pelajaraan saat itu, tentang sebuah pandemi yang berlangsung dari akhir tahun 2019 dan sampai saat surat ini ditulis (Mei 2020), dunia masih saja berjibaku berperang melawan pandemi.

Atau, mungkin saja, catatan kecil ini akan menjadi semacam prasasti digital yang semoga bermanfaat bagi orang-orang di zamanmu kelak. Jika para sejarawan saat ini banyak menjadi informasi apa yang terjadi di zaman Mataram Kuno, Kutai, Majapahit dan sebagainya lewat-lewat batu bertulis, maka kau dan generasi selanjutnya, akan melengkapi sejarah dengan mencari-cari catatan masa lalu di dunia maya.

Aku sengaja menulis surat ini, khusus kepadamu. Sebab, orang-orang di zamanku ini, semua mengalami dan menjadi saksi, bahkan pelaku peristiwa ini. Tak hanya di lingkup negeri bernama Indonesia. Kawanku, seorang Muslimah Afrika Selatan yang bertemu di Masjid Suci Nabawi, Madinah, dan sampai sekarang masih terus berkawan dan menjalin silaturahim secara online, menceritakan pula bagaimana beratnya menjalani lockdown di negerinya. Teman-teman sesama pegiat literasi di Malaysia, Hongkong, Arab Saudi, Mesir, Italia, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya, banyak bercerita pula tentang apa yang terjadi di negeri tempat mereka bertempat tinggal sementara.

Ini musibah global yang sangat besar. Orang-orang menyebutnya pandemi. Pandemi Coronavirus, alias SARS-Cov-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) yang menyebabkan penyakit bernama Corona Virus Disease-19 (Covid-19). 

Pandemi ini menimpa 215 negara di dunia. Hampir 7,5 milyar penduduk dunia, baik secara langsung maupun tidak langsung, terkena dampak pandemi ini. Jadi, aku tak perlu bercerita pada mereka. Itu mirip dengan aku mengisahkan betapa asyiknya memakai seragam putih abu-abu kepada teman-teman alumni SMA. Tak ada sesuatu yang baru, karena sama-sama mengalami. 

Baiklah, akan kutulis coretan ini dalam beberapa babak ya, semoga kau kuat membacanya.

I

Sekadar bagaimana asal-usul pandemi Covid-19 ini, kapan mulai merebak dan sebagainya, tentu akan mudah kau dapatkan di literatur-literatur zamanmu, Cucuku. Apalagi sekadar kilas angka-angka yang membentuk bilangan tanggal, bulan dan tahun, dan mungkin jumlah korban. Tetapi, sejarah itu bukan sekadar kronik. Sejarah adalah dialog antarzaman, begitu kata Danil Dhakidae (1980). Sejarah bukan monolog, tetapi dialog. Jika dialog dimatikan, namanya bukan lagi sejarah.

Karena itu, aku akan memulai dialog itu dengan membuat catatan ini. Semoga kau rela dan memiliki waktu untuk membacanya secara rinci. Bukan sekadar membaca judul dan meliriknya sepintas. Orang-orang di zamanku ini, sering begitu. Hanya melihat judul, tetapi sudah banyak berkomentar. Seringkali komentarnya nggak nyambung. Jaka sembung naik ojek, nggak nyambung jek, begitu pantun gokil yang sering diucapkan saat ini jika ada sesuatu yang terlihat aneh alias tidak sinkron.

Cucuku, jadi, seperti yang kau baca di banyak literatur, pandemi ini awalnya merebak di Provinsi Hubei, di kota Wuhan, Tiongkok. Awal tahun 2020, berita tentang serangan virus corona ini sudah diberitakan dengan gencar di banyak media. Entah mengapa, banyak negara lain, termasuk negara kita, seakan-akan bersikap tenang-tenang saja. Karena tak ada peringatan resmi, maka banyak orang-orang dengan santai melakukan perjalanan jarak jauh, ke luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Aku sendiri, pada akhir Februari 2020, masih menghadiri sebuah acara lumayan besar di Bandarlampung.

Itulah karakter sebagian orang zamanku. Tiongkok kan jauh, itu kan jaraknya ribuan kilometer. Nggak mungkinlah, virusnya menyebar ke tempatku. Yah, meski sudah masuk di era global, masih banyak yang belum sadar, bahwa bukan hanya berita atau foto-foto yang bisa viral dalam waktu singkat, virus juga.

Virus rupanya tak rela, dirinya terus menerus dipinjam untuk menggambarkan sebuah hal yang menyebar dalam waktu cepat. Asal kata viral memang berasal dari kata virus. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, lektur.id, viral dimaknai sebagai:

1. Menyebar luas dengan cepat. Kata viral biasanya digunakan sebagai istilah di dunia maya untuk menggambarkan cepatnya penyebaran suatu berita atau informasi
2. Menyebar luas dengan cepat bagaikan virus

Maka, virus, dengan memanfaatkan globalisasi, mendompleng ke orang-orang yang saat pagi masih di Tiongkok dan sore sudah di Roma, atau malam masih di Singapura dan hari berikutnya sudah makan siang di London (yang dulu hanya bisa ditempuh dalam hitungan bulan, bahkan tahunan), menyebar ke seluruh dunia. 

Setelah kasus Corona Outbreak di Wuhan sedikit mereda, Italia, Iran dan Spanyol terkena. Lalu Amerika Serikat, UK, Jerman dan seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Cucuku, pada bulan Januari, nenekmu ini sudah merasa seram dengan 3000 lebih korban meninggal di Wuhan. Saat ini, semakin terkesima, bahkan lama-lama merasa cemas. Kadang, apatisme menghinggapi, padahal aku adalah sosok yang selalu berusaha optimistis. 

Bagaimana tidak? Hingga saat surat ini kutulis, 5,4 juta jiwa terinfeksi corona virus, dan 340 ribu lebih korban meninggal, di seluruh dunia! Sampai saat ini, kurva masih terus menanjak. Di Indonesia, jumlah kasus infeksi sudah mencapai 21.745 jiwa (per 23 Mei 2020), dengan total kematian mencapai 1.351 jiwa. Indonesia sudah menduduki peringkat ke-31 dari sekitar 215 negara. Pada akhir bulan Mei 2020, 5 besar dengan negara kasus terbesar adalah: USA, Brazil, Russia, Spanyol dan UK.

Catat: sampai saat ini, angka masih terus bertambah! Bagaimana mungkin aku tidak khawatir? Semua orang di zaman ini sangat khawatir. 

Kau mungkin tahu, jumlah korban meninggal ini melewati korban pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang sangat dahsyat, yaitu sekitar 90.000 sampai 146.000 orang meninggal di Hiroshima dan sekitar separuh dari jumlah itu meninggal di Nagasaki. 

Kapan pandemi berlalu? Tak ada yang bisa memprediksi dengan tepat. Seabad silam, ada juga pandemi spanish flu, alias flu Spanyol. Menurut berbagai catatan, pandemi saat itu berlangsung sekitar 15 bulan, dari musim semi (spring) 1918 dan "berakhir" pada musim panas (summer) 1919.

Kisahnya sungguh  seram, karena menurut berbagai sumber, 500 juta jiwa terinfeksi, dan ada sekitar 17 juta (ada yang mengatakan 50 juta, bahkan 100 juta), orang meninggal. Jumlah ini lebih besar dengan korban meninggal karena perang megabesar, Perang Dunia I (sekitar 10 juta meninggal), sedangnya Perang Dunia II sekitar 50-60 juta jiwa.

Tapi, pandemi flu Spanyol kan terjadi saat teknologi kesehatan masih belum semaju sekarang? Bisa jadi. Tetapi ingat! Zaman dulu, pergerakan manusia belum se-mobile sekarang. Aku pernah menulis biografi seorang tokoh yang berhaji pada tahun 1960-an, saat itu untuk pergi ke Tanah Arab, harus menggunakan kapal, dan membutuhkan waktu sekitar sebulan perjalanan berangkat dan sebulan perjalanan pulang. Bandingkan dengan sekarang yang hanya sekitar 10-11 jam dengan menggunakan pesawat!

Zaman itu, kepadatan penduduk juga belum seperti sekarang. Rumah-rumah masih memiliki halaman luas, berjauhan satu sama lain. Tak perlu seruan physical distancing pun, orang-orang sudah terspasi dengan sendirinya. Orang-orang saat itu juga relatif lebih kuat dan memiliki daya tahan tubuh yang tinggi, karena banyak gerak, banyak makanan yang alami.

Jadi, gimana dong? Yah, semoga saja pandemi corona tidak menimbulkan efek sedahsyat flu Spanyol. Jangan sampai, ya Rabb...

II

Akan tetapi, Cucuku... problem yang muncul karena pandemi, bukan sekadar soal kasus positif dan korban meninggal. Ada banyak hal yang harus dirasakan oleh orang-orang di zaman ini. Lockdown, physical distancing (PD), dan khusus di Indonesia ada istilah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), diterapkan untuk pencegahan penularan virus. Akibatnya, ekonomi drop, karena banyak tempat yang akhirnya tutup. Hotel-hotel tak beroperasi, tempat pariwisata tutup, toko-toko sepi, jasa transportasi senyap, mal-mal pun lengang.

Efeknya cukup mengerikan. Menurut Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), sebagaimana dilansir dari CNN (1/5/2020), ada 15 juta pekerja mengalami PHK. Prediksi Kadin, jika kondisi pandemi tak segera berakhir, korban PHK akan mencapai 30-40 juta jiwa. Kamu harus tahu, Nak... banyak di antara korban PHK itu adalah kepala keluarga yang harus memberi nafkah keluarganya. Beberapa teman dekatku, ada juga yang menjadi korban PHK, ikut nyesek rasanya.

Banyak juga pengusaha yang terkena dampak ngedropnya ekonomi. Teman-temanku yang punya usaha, banyak yang mengalami kolaps. Ada yang bangkrut dan gulung tikar, ada yang mencoba bertahan namun terpaksa merumahkan karyawan, ada yang memotong gaji dan sebagainya. Kondisi benar-benar membuat kami semua harus mengelus dada, saking prihatinnya.

Sekolah-sekolah juga kena efeknya. Anak sekolah diliburkan sejak bulan Maret, diperpanjang April, lalu Mei, dan hingga kini belum bisa kembali bersekolah. Entah kapan akan kembali bersekolah.

Kami terpaksa menjemput ayah dan ibumu yang saat ini sedang mondok di pesantren. Kegiatan belajar mengajar berlangsung secara online. Demikian juga tahfidznya. Setiap pagi harus menghafal sekitar 1 halaman Al-Quran, lalu direkam dan dikirim melalui WhatsApp kepada musyrif-musyrifahnya. Kalau masih ada kesalahan, rekamannya suruh diulang.

Setiap hari, setelah mandi, ayah dan ibumu sudah menghadap laptop atau komputer, menyimak pelajaran dan mengerjakan soal-soal yang diberikan guru-gurunya secara daring. Stress? Iya, banyak di antara mereka merasa sangat bosan! Banyak anak merasa kangen untuk kembali sekolah.

Ujian Nasional ditiadakan, wisuda-wisuda batal, sebagian berlangsung secara virtual. Ibumu, Syahidah D Nissa, saat ini kelas 3 SMP, dan tak ada ujian nasional sebagai sarana kelulusannya.

III

Cucuku, saat tulisan ini kurangkai, kalender Hijriah menunjukkan angka 1 Syawal 1441 H, atau 24 Mei 2020. Ini adalah hari raya Idul Fitri. Harusnya umat Islam bergembira. Ya, tentu gembira, bersukacita. Tetapi, suka cita berbalut kepedihan. Idul Fitri sangat sepi. Sebelum itu, saat ibadah puasa, juga banyak masjid-masjid tak menyelenggarakan shalat berjamaah. Orang melakukan shalat di rumah-rumah, tak ada ngabuburit, tak ada pengajian massal, tak ada tadarusan di masjid, tak ada kegiatan-kegiatan yang mengundang kerumunan banyak orang.

Ketika pandemi merebak, jumhur ulama memang mengeluarkan fatwa untuk shalat di rumah saja. Lafalz adzannya ditambah: "Ash-sholaatu fii buyuutikum, shalatlah di rumah kalian masing-masing."

Masjidil Haram saat ditutup (foto: ArabNews PK)
Masjidil Haram juga ditutup sementara, kota Mekah di-lockdown. Per 24 Mei 2020, di Arab Saudi ada 72.560 kasus Covid-19, dengan angka kematian 390 jiwa. Sangat mungkin jika ibadah haji tahun ini ditiadakan, mengingat potensi penularan akan sangat tinggi. Sedih, ya? Tetapi, bagaimana lagi, saat puncak ibadah haji, biasanya ada sekitar 4 juta lebih jamaah berkumpul di Mekah, Padang Arafah, Muzdalifah dan Mina.

Saat lebaran, shalat Idul Fitri banyak yang dilakukan di rumah. Ada yang menyelenggarakan shalat di masjid, jalan-jalan atau lapangan, tetapi dengan protokol Covid-19 yang ketat. Aku sekeluarga shalat Idul Fitri di garasi. Karena ada beberapa famili yang ikut bergabung, maka garasi cukup penuh dengan 13 jamaah. Ayahmu, Ramadhan, menjadi imam. Membaca surat Al-A'la dan Al-Ghasiyah. Suaranya terasa begitu sendu. Kakekmu menjadi khatib, berkhutbah tentang

Malam Idul Fitri, tak ada takbir keliling, bahkan masjid pun banyak yang bertakbiran sebentar saja, sekadar menandai bahwa itu malam hari raya.

Mudik? Sama sekali tak boleh mudik. Jalur-jalur mudik banyak dijaga polisi. Pemudik yang melewati pos, harus kembali. Nah, karena mudik dilarang, banyak orang-orang yang bekerja di luar kota atau luar pulau, tertahan di tempat masing-masing dan tak bisa bertemu.

Karena itu, kami lebaran di kota Solo aja, tak menengok keluarga di kampung halaman sebagaimana biasanya. Setelah shalat Idul Fitri di rumah bersama kakek dan ayah-ibumu, kami tetap berada di rumah. Tak ada silaturahim, tak ada salam-salaman, tak ada kumpul-kumpul reuni. Sunyi. Senyap. Ngelangut.

Lebaran menjadi terasa hambar, karena tak bisa berkumpul dengan sanak saudara. Kalaupun ada, biasanya teleconference menggunakan aplikasi macam Zoom, Google Meet, dan sebagainya.

Meski begitu, justru kami merasakan bahwa Ramadhan dan Syawal kali ini begitu khusyuk. Terasa begitu dekat dengan Rabb kita, Allah SWT. Yah, pasti ada hikmah di balik segala musibah. Tak ada yang diciptakan Allah dengan sia-sia, bahkan pandemi sedahsyat ini.



Posting Komentar untuk "Surat Cinta Untuk Generasi Beta, "Beginilah Pandemi Coronavirus Itu, Cucuku..." "