Karena Penulis Bukan Selebritis!

foto: freepik


Wah, Afra udah jadi seleb! Suatu hari, saya mendengar kata-kata itu terlontar dari seseorang. Entah maksudnya guyon, atau memang serius. Saya sih malah lebih senang kalau dia guyon saja. Soalnya, mana mungkin sih, saya ini sudah jadi seleb? Seleb kelas kampung, mah! Hehe... Sehari-hari, saya masih seperti biasa. Dulu sebelum pandemi, saya lebih senang naik angkutan umum, dari becak, angkot, hingga bus. Sekarang, naik mobil karena keamanan saja. Ntar kalau sudah zona hijau, insyaAllah akan belusukan lagi pakai kendaraan umum.

Saya juga tidak pernah, atau jaraaaang sekali, menggunakan barang-barang branded. Buat apa? Ngabisin duit aja, wkkk... lagi pula, duit yang mau dipakai buat belanja juga nggak ada. Jadi, kemana-mana, saya ya begini ini, pakai sepatu kets paling banter harga 200rb-an, rok jins kadang, baju panjang, jilbab polos, total outfit nggak nyampai 500 ribu lah... kalau pencitraan soal sederhana, mungkin bisa nyalon jadi presiden.

Nah, kalau ucapan tersebut tadi serius, saya malah takut. Apakah benar saya seleb? Atau sok nyeleb, alias bergaya seleb? 

Bentar, biar klir, kita samakan persepsi dulu, ya. Saya cari kbbi.kemendikbud.go.id kata seleb tidak ada. Pun di kbbi.web.id. Jadi, seleb ini semacam bahasa slank, yang mungkin merujuk pada kata selebriti, atau kadang ditulis selebritis. Tapi kalau bentuk bakunya mestinya selebritas. Dalam KBBI, selebritas dimaknai sebagai pesohor. 

Selebritas identik pada sosok yang terkenal, dan biasanya memiliki gaya hidup alias lifestyle tersendiri. Katakanlah senang pesta, serba gemerlapan, serba papan atas alias VIP dan sebagainya. Nah, kalau ini parameternya, saya jauuuuh bangetlah haha. Bukan saja nggak mau, tapi fasilitas untuk itu juga nggak ada (ikon ketawa)..

BTW, memang sih kalau saya amati, banyak juga penulis yang akhirnya menjadi bagian dari selebritas, baik dari segi ketersohoran maupun gaya hidupnya. Ya, mungkin royalti mereka memang cukup untuk hidup semacam itu. 

Namun, yang menjadi pertanyaan, sebenarnya, etiskah seorang penulis bergaya seleb? Nah, ini pertanyaan yang sulit saya jawab. Saya sendiri sebenarnya nggak terlalu mau ikut campur dengan kehidupan orang lain. Cuma, kok kayaknya agak nyeri ya, jika mendengar cerita adik-adik di kampus, "Mau ngundang si X (penulis top), tapi hotelnya harus yang bintang sekian, kamarnya harus kelas sekian, pesawatnya harus kelas ini itu dan sebagainya..."

Tugas utama seorang penulis, adalah menghasilkan karya. Itu yang perlu direnungkan. Berekspresi, bagi seorang seniman--termasuk penulis, adalah kewajiban. Ekspresi itulah yang menjadi simbol dari eksistensi. Bahkan menurut Maslow, eksistensi adalah bentuk kebutuhan tertinggi dari seorang Bani Adam. Dalam bahasa seorang seniman, eksistensi dimaknai dengan, "Seorang penulis harus senantiasa menghasilkan tulisan, seorang pelukis, harus menghasilkan tulisan. Seorang pencipta lagu, harus senantiasa menciptakan lagu." Maka, jika seorang penulis merasa oke-oke saja, fine-fine saja, meskipun bertahun-tahun ia mandul, sesungguhnya dipertanyakan, apakah betul ia seorang penulis? 

Pun dengan jenis-jenis seni yang lain. Maka, saya seringkali merasa heran, jika melihat seorang penulis kondang sibuk wara-wiri kesana kemari, diundang di sana-sini, aktif sekali di media sosial, sementara tulisan yang dinanti-nanti pembacanya tak kunjung hadir. Blog juga jarang di update.

Tentu saya tak menyalahkan para penulis yang kemudian menjadi pembicara di sana-sini, bahkan akhirnya menjadi public figure atau malah selebritas. Kerja kepenulisan, sangat terkait dengan publikasi, publikasi erat dengan keterkenalan. Bayangkan, kita menulis, lalu diterbitkan, dicetak massal, misalnya 3000 eksemplar. Setidaknya, akan ada sekitar 3000 orang yang membaca tulisan kita. Padahal, pada kenyataannya seringkali buku yang kita tulis itu menjadi rebutan. Satu buku, bisa dibaca lebih dari satu orang. Saya juga punya pembaca yang tinggal di pondok pesantren. Tradisi di beberapa pesantren, jika ada seorang santri beli buku, maka akan dibaca bergiliran sampai belasan, bahkan puluhan santri lainnya.

Tetapi, sekali lagi, dunia penulis sebenarnya adalah dunia sepi. Seperti kata seorang sastrawan, "penulis itu kerja sunyi, tapi hasilnya gegap-gempita." Beda dengan profesi satunya, itu tuh, yang kerjanya gegap gempita, tapi hasilnya sunyi sepi (silakan tebak sendiri apa profesinya).

Dunia sepi sarat dengan perenungan, kedalaman pemikiran, dan biasanya akan berujung pada sesuatu yang sederhana, lembut, halus, alamiah, serta membumi. Ini kan hampir berbeda 180 derajat dengan pola hidup para pesohor sebagaimana saya sebutkan di atas, bukan?

Selain itu, seorang penulis adalah pegiat literasi. Dalam khasanah keislaman, literasi lekat dengan kata IQRO, yang berarti membaca dan juga tradisi-tradisi ilmiah yang mengantar pada keimanan mendalam. Buktinya, ayat yang diturunkan Allah SWT pertama kali, adalah IQRO BISMIRABBIKA. Penulis lebih cocok menjadi seorang guru, bahkan mungkin da'i atau penyeru kebaikan dengan karya-karyanya, ketimbang selebritas yang gemerlapan dengan gaya hidupnya yang WOW.

So, kalau ada yang nuduh, "Afra sudah jadi seleb!" saya berharap itu hanya guyonan belaka. Pertama, saya jelas belum tersohor, kedua, saya juga nggak mau tersohor. Biar karya saya saja yang dikenal dan dibaca banyak orang--sebanyak-banyaknya jika perlu. Tetapi, semoga saya tetap bisa menjadi seperti yang sekarang ini. Ya, karena penulis bukan selebritis!

1 komentar untuk "Karena Penulis Bukan Selebritis!"

Comment Author Avatar
Bunda.. mungkin yang sebut Bunda sudah jadi seleb karena amati bunda yang aktif di media sosial dan beberapa kegiatan literasi.
Karena pemahaman dan opini seseorang akan satu hal bergantung seberapa luas pergaulan, Bun ;)
Tetap semangat, Bunda. Karyanya slalu dinantikan ^_^

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!