Widget HTML #1

Agar Tak Bingung Logika Di Era Banjir Informasi

Gambar: freepik


Apakah Anda menyadari bahwa saat ini sebenarnya kita sedang mengalami sebuah peristiwa yang mengerikan? Ya, banjir informasi. Kita sedang menghadapi aliran deras informasi, yang membanjir dari segenap penjuru.

Seorang teman pernah berkata, bahwa banjir yang paling berbahaya bukan sekadar banjir bandang berwujud fisik, tetapi juga banjir informasi. Bukan berarti banjir fisik tidak mengerikan, lho ya… Banjir fisik bisa merusak rumah, sawah, harta benda bahkan jiwa. Zaman Nabi Nuh, sebagaimana kita baca di kitab suci, atau sedikit banyak mulai ada penelurusan sejarah, menenggelamkan sebagian bumi. Banjir fisik era kini juga selalu mengundang duka mendalam. Terlebih, makin ke sini, seiring dengan alam yang makin rusak, banjir menjadi semakin sering terjadi.

Banjir informasi tidak memberikan dampak secara langsung. Akan tetapi, ada efek yang sangat mengerikan, yaitu menghanyutkan prinsip, merusak pegangan hidup, dan menghantam pondasi berpikir. 
Dipikir-pikir, ada benarnya juga perkataan teman saya tersebut. Sekitar satu dekade terakhir ini, banyak sekali peristiwa yang membuat kita semua merasa teranganga. Dan peristiwa itu berawal dari banjir informasi yang begitu dahsyat. Tersingkapnya sekat-sekar ruang digital, telah membuat arus informasi membeludak dan menjadi bah yang menghanyutkan apapun yang dilaluinya.

Di orde reformasi, semua aliran pemikiran mendapatkan ruang untuk mengekpresikan diri dan mencari pengikut sebanyak-banyaknya. Kadang, ujung-ujungnya kekuasaan, kadang juga masalah ekonomi atau penguasaan sumberdaya, atau sekadar eksistensi diri. Bahkan, ada juga yang menggunakan kesempatan ini sebagai sebuah bisnis. Maka kita bisa melihat adanya ‘peternakan buzzer’ yang tiap hari melahirkan akun-akun baru, dan ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu akun itu digunakan untuk menggempur lawan, atau sebaliknya, menaikkan citra seseorang. Tentu tak gratis, ada harga yang harus ditebus. Dan pastinya harga itu tak murah.

Orde kebebasan menemukan jodohnya, yakni kemajuan dunia digital. Aneka jenis pemikiran, dari yang paling kuno hingga yang mengaku futuristik, yang paling basik hingga paling kontemporer, paling transendental hingga sekadar henonisme yang profan, saling desing mendesing, dihamburkan oleh senapan digital. Pelurunya tak sekadar menghajar generasi milenial. Para ‘imigran dan orang asing di dunia digital’ ikut terbata-bata mengeja.

Kita confuse. Alias bingung. Logika kita seperti gangsing yang diputar oleh anak-anak, begitu pusing dan tak tahu arah. Opini kita mudah sekali dipengaruhi oleh permainan kata-kata. Kebenaran dan kesalahan bukan lagi perkara norma itu sendiri, tetapi seberapa banyak orang mempromosikannya. Teori Joseph Goebbels seperti maujud di era sekarang ini. Seribu kali kau opinikan kebenaran sebagai kesalahan, maka akan salah. Sebaliknya pun, seribu kali kau sebut kesalahan sebagai kebenaran, maka akan jadi kebenaran.
Mengerikan sekali, bukan?

Di zaman ini, jika kita tidak punya pegangan, bisa-bisa kita akan hanyut dalam segala banjir informasi. Payahnya, terkadang sebuah aliran pemikiran seringkali nampak begitu indah menawan. Begitu menarik untuk didekati, tetapi sejatinya hanya fatamorgana semata, atau efek cahaya yang menampakkan pelangi. Tampa memesona, namun ketika disentuh, tak pernah ada.

Inilah mungkin rahasianya, mengapa Al-Furqon (pembeda antara haq dan bathil) merupakan suatu hal yang mahal. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Al-Furqon merupakan hadiah yang diberikan Allah SWT kepada seorang mukmin. Di taburan spektrum cahaya yang menyilaukan mata, Al-Furqon ini seperti kaca mata bening yang mengarahkan perspektif kita kepada kebenaran yang hakiki. Al-haqqu mirrabbik, kebenaran yang datang dari Rabb kita. 

Jadi, keimanan yang kuat adalah cara cespleng agar pikiran kita tidak hanyut dihantam banjir bandang informasi. Mari terus menguatkan dengan cara terus menerus me-refresh ketakwaan kita kepada-Nya.
Selain itu, tentu penting sekali kita menerangi diri dengan literasi. Seorang pakar mengatakan, “berhentilah mencari informasi dari 140 karakter, tetapi membacalah 600 halaman buku.” Informasi dari 140 karakter maksudnya adalah Twitter, karena dahulu, jumlah karakter di media sosial ini memang hanya 140. Lebih umum lagi, maksudnya adalah media sosial. Jangan mengandalkan media sosial sebagai sarana mencari informasi, tetapi bacalah buku sebanyak 600 halaman. Mantap, kan?

Posting Komentar untuk "Agar Tak Bingung Logika Di Era Banjir Informasi"