Aku Malu Pada Cermin!



Pada suatu pagi, di awal tahun 2020, terjadi satu keributan di rumah saya. Si kecil Fatihan, usia 4 tahun, terbangun dari tidur dan menangis. Bukan hal yang aneh, sih, sebab saya yakin, hampir semua pembaca yang telah menjadi orang tua, pasti merasakan hal yang sama. Kalau belum pernah mengalami, malah aneh, ya? Bijak amat itu, anak! Tidak pernah menyusahkan orang tua, hehe...

Sambil mendekapnya, saya menggendong si bungsu itu keluar kamar. Namun, entah mengapa, saat lewat depan cermin, Fatihan berteriak marah. “Jangan lewat cermin!” Dia ucapkan hal semacam itu berkali-kali. Meski heran, saya tidak langsung menanyakan alasan mengapa dia tidak mau lewat di depan cermin, sebab dia bisa semakin marah.

Lantas, setelah kondisi berangsur-angsur tenang, saya bujuk dia untuk mandi, Alhamdulillah menurut. Anehnya, setelah berpakaian rapi dan bersisir, dia berkata, “Mi, ayo sekarang lihat cermin!”
Karena bad mood sudah menguap, saya tak sungkan bertanya. “Tadi nggak mau lewat cermin, kok sekarang mau lihat cermin?”

“Tadi aku jelek, aku nggak mau terlihat jelek, aku malu sama cermin,” ujarnya, polos. Ya, saat bangun tidur, dia memang awut-awutan, sedikit rembes dan wajahnya jutek. Meski baru berusia 4 tahun, si bungsu sudah mampu berkomunikasi dengan lancar dengan susunan kata yang agak rumit.
“Sekarang?” lanjut saya.

“Udah ganteng. Aku nggak malu lagi sama cermin. Aku kan udah mandi, udah cakep. Gara-gara cermin, aku jadi rajin mandi.”

Saya tertawa terpingkal-pingkal melewati pagi itu. Kepolosan anak kecil memang menggemaskan, bukan? Selama ini, selalu saja ada banyak hal-hal lugu yang sering membuat hati ini lumer dan haru. Akan tetapi, lebih dari itu, ada satu insight yang mendadak lewat di benak saya. Mengapa anak saya sempat merasa malu pada cermin? Dan mengapa rasa malu itu mampu memberi dorongan padanya untuk mandi dan berpakaian rapi? 

Oke, Anda tahu jawabannya. Karena saat itu dia merasa dalam keadaan yang tidak prima. Dia sadar diri, saat bangun tidur, dia terlihat tidak menarik, ditambah wajah cemberut yang tak elok dilihat. Lantas, setelah kondisi membaik, dia kemudian merasakan yang sebaliknya.

Apakah Anda pernah merasa malu kepada cermin? Dan apakah rasa malu itu memberikan inspirasi kita untuk berbenah?

Cermin adalah benda yang jujur. Cermin akan memantulkan bayangan kita apa adanya, tanpa rekayasa. Saat bercermin, tak ada fasilitas mengedit gambar sebagaimana yang terdapat di telepon seluler ataupun akun instagram kita, yang membuat kita bisa melakukan “pencitraan” alias memoles image kita. Karena kejujuran cermin itu, anak saya malu saat melewati dalam keadaan acak-acakan. 

Cermin dalam kehidupan sehari-hari tak selalu dimaknai secara harfiah. Ada “cermin kehidupan” tempat kita berkaca, elok atau burukkah perangkai kita? Sudah cantik atau masih dekil kah kelakuan kita?

Melalui cermin kehidupan, kita akan melakukan evaluasi. Meski malu, jangan menghindar dari cermin. Sebab, dengan cermin itu, kita akan mampu mendiagnosis kekurangan yang kita miliki. Kita bisa membelejeti seluruh karat yang menutupi hati, menyiram daki yang membungkus diri, menyucikan diri dari kotoran yang menjadi kerak dalam diri kita.

Pertanyaannya, kepada siapa kita bercermin untuk hal yang satu itu? Jawabnya: kepada sahabat. Tentu bukan sembarang sahabat, tetapi teman yang menjadi saudara seiman. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad disebutkan, "Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain."

Hadist ini mengandung dua konsekuensi. Pertama, sebagai cermin, seorang mukmin harus jujur dalam memberikan penilaian. Katakan salah jika salah, katakan benar jika benar. Cermin yang baik harus memantulkan bayangan secara tepat, tanpa fasilitas “editing” sebagaimana kamera HP kita. Jika kita masih sering ewuh pakewuh dalam memberikan penilaian buruk, atau sebaliknya, terlalu arogan untuk melontarkan penilaian baik, alias belum bisa objektif, berarti kita belum bisa menjadi cermin yang baik.

Kedua, sebagai orang yang bercermin, kita tak boleh merasa apriori dengan sahabat kita. Perkataan sahabat mukmin yang bisa dipercaya tentang diri kita, hampir-hampir merupakan sebuah kenyataan, karena itu merupakan cerminan dari kita sendiri. Jangan menjauh dari cermin hanya karena kita sedang dalam kondisi buruk.

Justru, karena kita dalam kondisi awut-awutan, kita membutuhkan cermin agar kita tahu bagaimana rasa malu saat bercermin. Malu akan mengantarkan kita pada sikap evaluatif dan reflektif. Hasilnya, kita akan menjadi semakin baik.

Mari malu kepada cermin, tapi jangan pernah menghindar dari cermin.

2 komentar untuk "Aku Malu Pada Cermin!"

Comment Author Avatar
Mungkin dongeng Snow White yang bertaya pada cermin itu inspirasinya dari pemikiran cermin selalu jujur juga kali, ya...

Kejujuran cermin juga yang mungkin membuat sebagian besar orang meletakkannya di dalam kamar tidur
Comment Author Avatar
Bahkan, sebagian meletakkan di kamar mandi :-)

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!