Semangat Boleh, Arogan Jangan, Dong!

foto: dreamstime

Ketika usia saya masih remaja, seorang Ustadzah memberikan satu nasihat yang masih terngiang hingga sekarang. “Milikilah semangat anak muda yang dibalut dengan kebijakan ala orang tua. Hikmatus syuyukh wa hammasatus syabaab. Jangan terbalik, kebijaksanaan anak muda dibalut semangat orang tua, hikmatus syabab wa hamamasatus syuyukh. Sungguh berbahaya, jika terbalik-balik.”

Nasihat yang bermakna, seringkali lebih berharga daripada emas berlian. Nasihat di atas, menurut saya memiliki nilai yang sangat dahsyat. Seorang pemuda (syabab), biasanya memang identik dengan hamassah alias semangat meledak-ledak. Secara psikologis, pada seseorang yang beranjak usia remaja, biasanya ada semacam kondisi yang disebut sebagai personal fable. Yakni semacam egosentrisme di mana dia merasa unik, hebat, lebih baik dan lebih kuat, serta merasa bahwa tak ada satu hal pun yang bisa menghancurkan atau mengancam kehidupannya. Dia merasa bisa melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang sangat berbahaya.

Maka, usia-usia remaja seringkali identik dengan semangat yang membara. Ditambah, secara fisik mereka juga sedang dalam kondisi sangat bugar dan kuat. Tak berlebihan, jika penyanyi Rhoma Irama bersenandung, darah muda, darahnya para remaja yang selalu merasa gagah, tak pernah mau mengalah.

Seorang pemuda memang harus penuh bahana. Dadanya memuat semangat dan daya juang yang tinggi. Sayangnya, banyak di antara para pemuda membalut semangat dengan sikap arogan. Maka, muncullah beberapa adagium yang menunjukkan sikap tak kenal menyerah tapi cenderung tak simpatik , semacam: “senggol, bacok!” atau “cinta ditolak, dukun bertindak!”

Sekitar setahun silam, kita dikejutkan dengan seorang pelajar SMA yang dikabarkan memukul gurunya hingga tewas hanya karena merasa sakit hati atas teguran sang guru. Belum lama ini, seorang siswa di Manado menikam gurunya dengan senjata tajam, setelah ditegur karena merokok. Sungguh prihatin kita mendengar aroganisme anak-anak muda semacam itu. Belum vandalisme lainnya, tawuran antarpelajar, fanatisme suporter sepak bola dan berbagai kisah yang membuat kita harus menggeleng-gelengkan kepala.

Bashirah, Kematangan Emosi dan Wawasan Luas

Seorang pemuda (syabab), selain sikap hammasah (semangat), mestinya juga memiliki kebijakan para orang tua (hikmatus syuyukh). Sikap bijak biasanya didukung oleh tiga hal, yaitu bashirah, kematangan emosi dan wawasan yang luas.  

Bashirah adalah mata batin yang jeli melihat kebenaran. Ada 2 jenis penglihatan, yaitu bashor dan bashirah. Bashor adalah penglihatan mata, yang mengindera segala materi yang mampu terlihat. Adapun bashirah, adalah penglihatan dari hati yang bisa melihat sesuatu yang “tak terlihat”, sehingga pemilik bashirah tak akan tertipu oleh penampilan fisik. Sosok yang bijak, bisa jadi tidak memiliki bashor yang normal, tetapi dia pasti memiliki bashirah. Bashirah bisa didapat jika dia sudah merasakan kebersamaan dengan Allah SWT (sifat ma’iyatullah), yang tentunya bisa diperoleh dengan banyak beribadah seperti puasa, shalat, mengaji Al-Quran, dzikir dan sebagainya.

Adapun kematangan emosi bisa berupa ketenangan, kesabaran, sikap welas asih namun sekaligus tegas dan bertanggung jawab. Kematangan emosi bisa diperoleh dengan banyak bersosialisasi, berusaha mengatasi problematika hidup dan terlibat dari berbagai proyek-proyek kebaikan.

Adapun keluasan wawasan, tentu bisa didapatkan dari banyak belajar, berdiskusi, melakukan eksplorasi dan riset, membaca dan menulis, dan sebagainya.

Pemuda harus bersemangat sekaligus bijak. Dia harus menggabungkan antara semangat pemuda (hammasatus syabab) dan kebijakan orang tua (hikmatus syuyukh). Semangat yang dikelola dengan bijak, akan melahirkan prestasi luar biasa.

Beberapa tokoh besar, meraih kejayaan dalam usia muda karena dua hal tersebut. Muhammad al-Fatih misalnya, berhasil membebaskan Konstantinopel pada usia 21 tahun. Usamah bin Zaid menjadi panglima tertinggi pada usia 18 tahun. Sedangkan Imam Syafii, pada usia 15 tahun, sudah menjadi seorang ulama besar dengan ilmu setara para mufti (ulama yang berhak memberikan fatwa).

Jadi, semangat itu harus, tapi arogan jangan! Semangat harus dibalut sikap bijak, agar semangat tidak membawa kita kepada kehancuran, tetapi justru mengantar pada kesuksesan.

Posting Komentar untuk "Semangat Boleh, Arogan Jangan, Dong!"