Widget HTML #1

Film Animasi Nussa, Benarkah Budaya Arab dan Ada Propaganda Radikalisme?


Sebentar lagi, film animasi Nussa akan tayang di bioskop, meski masih menunggu jadwal, dan juga menunggu recovery karena pandemi. Sebagaimana kita tahu, industri perfilman kita ikut terdampak parah oleh Covid-19. 

Namun, Visinema Pictures, yang memproduksi film animasi tersebut, telah resmi merilis trailer perdananya. Dalam trailer berdurasi 122 detik tersebut, dikisahkan bahwa sekolah Nussa kedatangan siswa baru bernama Joni yang sangat cerdas. Dia juga jago sains. Joni sangat berpeluang menjadi pesaing berat Nussa. Kenyataan ini membuat Nussa merasa gelisah.

Meski singkat, trailer itu menggambarkan penggarapan animasi yang sangat indah, halus, detil dan keren! Sekilas saya melihat, tak kalah dibandingkan film animasi negeri jiran seperti Upin & Ipin, BoboiBoy, atau bahkan petulangan Hiccup dan Toothless dalam film animasi How to Train Your Dragon. Proses pembuatan film Nussa edisi bioskop ini memang dibilang luar biasa untuk ukuran Indonesia. Ratusan animator asli Indonesia, bergabung dalam proyek besar ini selama dua tahun. Sempat terhenti karena pandemi, namun akhirnya Nussa The Movie pun nyaris purna.

Serial Nussa sebelum ini tayang di Youtube sejak 2018. Juga sempat tayang di Trans TV. Ketika saya cek di Youtube, channel Nussa Official sudah diikuti oleh 6,91 juta subscribers. Film-fillmnya sudah ditonton jutaan pemirsa. Lho, kok baru ngecek? 

Hehe, jadi, sebenarnya, sebelum ini saya tidak terlalu ngeh dengan adanya Serial Nussa ini. Beberapa kali sempat nonton, tapi tak terlalu mengikuti perkembangannya, jadi kurang begitu tahu. Saya tergelitik untuk mencari informasi lebih mendalam tentang Serial Nussa, gara-gara mengikuti dinamika di Twitter. Jangan-jangan, sama dengan kalian juga, Para Pembaca nan budiman!

Ya, di Twitter, baru-baru ini, sedang ramai pro kontra Serial Nussa, khususnya Nussa The Movie. Diawali dari tudingan Denny Siregar, saat "memperingatkan" salah seorang produser Nussa The Movie, Angga Dwimas Sasongko, bahwa Nussa merupakan propaganda HTI karena ada kaitan dengan Felix Siauw, da'i muallaf yang diberitakan merupakan anggota HTI.

Tudingan Denny Siregar diikuti pula oleh pendukung-pendukungnya. Dari pantauan saya di Twitter, intinya mereka menuduh bahwa Serial Nussa membawa bibit-bibit radikalisme. Pakaian yang dikenakan juga bukan pakaian Indonesia, tetapi budaya Arab. Juga panggilan Abah dan Umma, terkesan tidak membumi.

Saya nyengir saja membaca perdebatan yang panas itu. Sebagai alumni Universitas Diponegoro, saya sudah terbiasa melihat patung dan gambar beliau yang sangat khas: jubah putih, surban putih, yang jelas sekali bukan asli budaya Indonesia. Bukan hanya Pangeran Diponegoro. Kita mengenal pura sosok Teuku Cik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, bahkan juga Kyai Haji Hasyim Asy'ari dan Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan penampilan khasnya yang kharismatik. Kalau belum tahu, Googling aja, deh! Kalau beliau-beliau ini hidup di zaman ini, saya hampir yakin, Denny Siregar dan konco-konco pun akan mengkritiknya. Wkkk...

Setelah menonton beberapa episode Nussa, saya melihat banyak sekali nilai-nilai kebaikan yang disampaikan melalui pesan-pesan yang ada di dalamnya. Makanya, kalau ada yang bilang film ini mengajarkan "kekerasan" bahkan radikalisme, saya jadi emosi dan pengin bilang SINTING! Eh, tapi kan ntar jadi dosa ya? Nggak jadi deh, bilang SINTING. Haha...

Lebih lanjut, kalau kita mau jeli, apakah benar pakaian yang dipakai Nussa itu pakaian ala kadrun alias pakaian budaya Arab? Coba cek tampilan Nussa di bawah ini ya...

Tokoh Nussa, mengenakan kaki palsu

Kalau kita main ke Arab Saudi, apakah pernah melihat ada laki-laki asli sana menggunakan baju koko sebatas lutut dengan celana panjang? Saya sih belum lihat. Kebanyakan jubah panjang sampai kaki, dan atasnya juga bukan topipecil bulat putih macam Nussa, tetapi kafiyeh. Begini tampilannya. Koreksi ya, kalau saya salah. 

Pakaian tradisional pria Arab

Kalau saya melihat, malah pakaian Nussa itu mirip pakaian adat Betawi, cuma kokonya agak panjang dikit; atau malah pakaian tradisional China. Coba deh, lihat film-film kungfu, kan mirip ya, pakaian Nussa sama pendekar China. Hehe, serius! Sejak SD, saya gemar mempelototi aksi pendekar-pendekar tiongkok di film-film kungfu, lho!


Memang aslinya, baju koko yang dipakai oleh masyarakat muslim di Indonesia dan Malaysia, aslinya merupakan pakaian asli Tionghoa. Saat orang-orang Tionghoa datang ke Indonesia, khususnya pada abad 17, orang-orang Tionghoa asli banyak menggunakan baju-baju semacam itu. Lama-lama, baju semacam itu diadopsi juga menjadi pakaian yang lazim dipakai masyarakat Indonesia. Betawi, yang paling banyak bersentuhan dengan pendatang China, malah menjadikan baju koko sebagai baju adat alias baju tradisional masyarakat Betawi.

Sementara, peci putih yang dikenakan Nussa, juga sudah lama menjadi tradisi kaum muslimin di Indonesia. Peci sendiri berasal dari bahasa belanda petje. Sejak dahulu, peci putih dikenakan oleh bangsa Indonesia, khususnya yang berhaji, sehingga sering disebut sebagai peci haji. Tetapi, kalau mau jeli melacak, jaraaaang sekali orang Arab atau Turki yang mengenakan peci putih model Nussa, kan? Kalau saya salah, mohon koreksi ya! 

Apalagi jilbab yang dikenakan Rara. Itu jelas jilbab 'rasa melayu' atau rasa Indonesia, deh. Mana ada perempuan Arab menggunakan jilbab macam Rara? Perempuan Arab, khususnya Saudi, terbiasa menggunakan pakaian dan kerudung hitam, serta purdah atau cadar yang menutup sebagian wajah kecuali area mata. Memang sih, Arab nggak cuma Saudi. Tapi, sebagai salah satu negara terbesar di Jazirah Arab, Saudi bisa dikatakan identik dengan Arab.  

Kalaupun ada pengaruh Arab, ya wajar saja. Islam masuk di Indonesia sejak tahun 1400-1500-an. Banyak pula bukti bahwa sebelum itu pun sudah masuk. Artinya, sudah 5 abad lebih. Dan kini, Islam menjadi agama mayoritas bangsa kita. Lalu, apa salah jika kemudian Arab, sebagai tempat turunnya agama Islam, menjadi salah satu unsur penting yang terlibat dalam akulturasi di Indonesia?

Sementara, panggilan Umma dan Abah yang dipakai oleh Nussa pun saya kira wajar-wajar saja. Teman-teman di Minang, Melayu, Aceh, Sunda, terbiasa kok memanggil orang tuanya dengan Umma atau Abah. Di Serial Keluarga Cemara, yang bahkan ditulis Almarhum Bang Arswendo Atmowiloto (yang mungkin tidak terlalu identik sebagai penulis religius), Cemara dan adik-adiknya memanggil ayahnya dengan sebutan Abah.

Tapi, sebenarnya bukan soal itu yang ingin saya sorot. Realitas terkini, kesadaran Ummat Islam untuk mengikuti syariatnya semakin kuat. Ketika saya bocah, jarang sekali saya dapatnya muslimah mengenakan jilbab. Sekarang, sebaliknya. Meski jilbabnya sekadar 'musiman' atau di momen-momen khusus, setidaknya budaya berjilbab sudah sedemikian marak. Bukan cuma di acara pengajian, acara-acara umum pun banyak didominasi perempuan berjilbab. Cobalah lihat di kondangan-kondangan (pesta pernikahan), atau acara pesta lainnya, mendapati sosok dengan kerudung, sudah begitu biasa.

Jadi, kalau kemudian Rara mengenakan jilbab di film tersebut, itu kan cerminan masyarakat saat ini. Saya malah sering heran ketika melihat film-film atau sinetron-sinetron kita yang sepertinya mengesampingkan realitas ini. Kita sering terpana melihat film dengan setting Indonesia, tetapi pemainnya berwajah blasteran, dengan kulit terlalu putih, tinggi badan kelewat jangkung, dan sebagainya, dan itu dianggap sah-sah saja, haha....

Ya mungkin saja saja, di lingkungan-lingkungan tertentu, yang disorot dalam sebagian setting di film-film atau sinema kita, mungkin memang tidak ada sosok-sosok berjilbab atau berpeci yang lewat. Tapi, masak sih, Indonesia sesempit itu? Nyatanya, kalau kita melihat di luar, di kanan, kiri, depan, belakang, sosok-sosok berjilbab itu banyak banget, kan?

Sudah, ah! Tidak usah berpolemik yang merugikan. Nussa the Movie jelas film animasi lokal dengan kualitas yang membanggakan. Ratusan animator anak negeri diberikan ruang untuk berkarya. Soal konten berisi radikalisme atau tidak, toh nanti ada BSF (badan sensor film) yang akan melakukan proses sensor.

Yuk, dukung Nussa The Movie! Jangan sampai karya anak bangsa yang brilian ini gagal gara-gara kicauan Denny Siregar.



Posting Komentar untuk " Film Animasi Nussa, Benarkah Budaya Arab dan Ada Propaganda Radikalisme?"