Catatan Isra Mi'raj: Kisah Unik Rajaban Anak Kampung Era 90-an


Hari ini, Umat Islam sedunia memperingati hari Isra Mi'raj, dalam kalender Hijriah jatuh di setiap tanggal 27 Rajab. Ada 2 hal yang membuat saya merasa tersentak saat membuka kalender dan menatap angka 27 Rajab. Pertama, bahwa sebentar lagi Rajab usai, dan masuklah kita ke bulan Syaban, lantas selanjutnya Ramadhan. Kedua, bahwa pada tanggal 27 Rajab, terjadi sebuah peristiwa yang saya sebut di atas: ISRA MI'RAJ.

Isra Mi'raj dalam ajaran agama Islam merupakan peristiwa luar biasa. Kita tentu sudah banyak mendengar kisah tersebut, kan? Dahulu, saat SD, peringatan Isra Mi'raj di kampung saya sering disebut sebagai Rajaban. Saat Rajaban, kami diminta membawa takir dari rumah masing-masing ke sekolah, maka Rajaban sering juga disebut sebagai takiran. 

Apa sih takir itu? Takir adalah makanan yang diletakkan di dalam daun pisang yang dibentuk menggunakan biting dari lidi atau bambu menjadi semacam wadah seperti mangkok. Makanannya biasanya nasi, dengan lauk kering tempe, kering kentang, serundeng, telur dadar dan biasanya ayam goreng atau opor ayam. Anak-anak senang sekali dengan momen takiran. 

Bagi anak-anak generasi 90-an, apalagi yang berasal dari ekonomi pas-pasan (pas lagi pengin bakso, punya duit; pas pengin jalan-jalan, eh ada rezeki, haha), tentu tahu kan, zaman itu zaman suliiit. Makan ayam goreng aja paling kalau ada acara-acara spesial. Makan telur juga termasuk istimewa. Kadang, satu butir telur didadar lebar-lebar (tapi jelas jadinya lebih tipis, dong), lalu dibelah 4, dibagi ke empat orang, hihi. 

Kalau zaman sekarang, alhamdulillah, kondisi sudah lebih baik. Ayam, telur, sudah seperti makanan harian. Digorengin sepiring ayam pun, kadang anak-anak sudah tak tertarik menyantap. Beberapa minggu terakhir ini, minat saya terhadap ayam dan telur malah turun drastis. Penginnya makan yang segar-segar, seperti gado-gado, pecal, sayur bening dengan lauk ikan asin, tahu atau tempe goreng.

Tapii... sekali lagi, zaman itu, momen takiran merupakan momen yang ditunggu anak-anak. Selain Rajaban, ada beberapa peristiwa di mana di sekolah mengadakan takiran, yaitu peringatan Maulid Nabi, yang disebut muludan, dan peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang disebut sebagai 17-an atau pitulasan (tujuh belasan). 

Padahal, peringatan HUTRI di SD saya saat itu biasa jatuh tanggal 18. Kok bisa? Ya, saat itu ada aturan, bahwa upacara HUTRI pada tanggal 17, terpusat di kecamatan. Pemerintah desa, para guru dan sebagainya, harus upacara di kecamatan. Upacara tingkat desa berlangsung tanggal 18. Semua anak SD dan TK di seluruh desa, berkumpul di lapangan desa. Usai upacara berlanjut karnaval, berjalan kaki mengelilingi desa, menempuh jarak total sekitar 5 km. Lumayan juga untuk ukuran anak SD. Maka, pihak sekolah menghimbau anak-anak untuk membawa takir dari rumah.

Dalam perkembangannya, takiran tidak selalu harus pakai daun pisang. Repot banget sih, kalau anak-anak disuruh bawa takir beneran, ya? Maka, biasanya diganti dengan wadah seperti rantang, atau wadah plastik lainnya. Tak masalah, yang penting kan isinya, hehe. Tetapi, meski begitu, tetap saja kami menyebut hal itu sebagai takiran.

Rajaban jelas menjadi spesial karena ada takiran. Pagi-pagi sekali, saya sudah bangun, mandi, pakai seragam merah putih, belum kenal kerudung atau baju muslim saat itu. Lalu, saya melihat kesibukan ibu yang sedang mempersiapkan takir di dapur. Nggak cuma lihat dong, tapi ikut bantu-bantu juga.

Dalam momen takiran (baik Rajaban, Muludan maupun Pitulasan), ibu tidak memasak hanya untuk takir yang saya bawa, tetapi juga untuk sekeluarga. Jadi, selain saya, seluruh keluarga juga senang dengan momen takiran, karena mereka juga akan makan enak, wkkk.... Sebegitunya ya, zaman itu? Maka, bersyukur deh, kalian yang hidup di zaman sekarang. Makanya saya suka heran dengan orang-orang yang sering memasang gambar seorang tokoh besar yang tengah tersenyum dengan tulisan: piye, enak zamanku to? (ops!).

Jam tujug, takir sudah siap. Ibu memasukkan takir ke rantang. Lalu, saya dan saudara-saudara yang masih SD menyambar takir dalam rantang, dan ditenteng menuju sekolah. Sekolah tak seberapa jauh sih. Saat SD, ayah yang juga menjabat sebagai kepala sekolah, menempati rumah dinas yang berada di lokasi sekolah, sehingga begitu keluar pintu depan, kami sudah masuk di halaman sekolah. Baru setelah ayah tidak lagi menjadi kepala sekolah, kami pindah ke rumah pribadi, yang jaraknya sekitar 600 meter dari sekolah. Tapi saat itu saya sudah SMP.

Mungkin ada yang bertanya, itu tahun berapa ya? Saya lulus SD tahun 1991, jadi bisa dibayangkan kisaran tahunnya, kan? Pembaca yang sama-sama generasi 90-an mungkin memiliki pengalaman hampir sama, bisa senyum-senyum bareng mengenangnya.

Jam 7.30, lonceng tanda masuk dipukul. Theng theng theng. Belum dikenal bel yang dipencet dan dihubungkan dengan pengeras suara pada tahun tersebut. Kami berebut masuk. Tiga buah kelas dijadikan aula. Partisi kelas yang terbuat dari papan disingkirkan, sehingga ruang menjadi cukup luas untuk menampung sekitar 100 anak dari kelas 1 hingga kelas 6. Kami duduk di lantai, bergelar tikar. Anak-anak kecil berjajar rapi di depan. Yang besar-besar di belakang.

Ritual acara dimulai. Baca Al-Quran, shalawatan, doa yang dipimpin guru agama, lalu ceramah. Guru agama saya saat itu namanya Pak Sarwin. Selama 6 tahun saya sekolah di SD N Tlahab Lor 3, kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, guru agama tetap beliau, tidak berganti. Ceramah Rajabannya selalu sama temanya, tapi kami selalu menyimak dengan senang.

Beliau bercerita tentang kisah Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang melakukan perjalanan Isra dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha, lalu dilanjutkan ke langit ketujuh. Saya yang masih mungil melongo mendengar kisah perjalanan beliau menuju langit ketujuh menggunakan kendaraan buraq. Seperti apa sih, tunggangan Kanjeng Rasul bernama buraq itu?

Seorang teman di SD pernah menunjukkan kepada saya gambar buraq, tapi saya kurang percaya. Masak sih, wujud buraq berupa kuda dengan kepala seorang wanita cantik? Ada-ada saja. Tapi, teman saya ngotot, bahwa buraq memang wujudnya kuda berkepala wanita cantik. 

Tiga puluh tahun setelah kejadian tersebut, setelah internet sudah sedemikian mudah diakses, saya coba Googling dengan kata kunci: BURAQ, muncul juga gambar serupa imajinasi teman saya itu, hehe... Tapi, saya nggak mau ah, memuat gambar hasil Googling saya di blog saya. Kalau Anda penasaran, Googling saja sendiri.

Tapi, sueeer... gambar buraq serupa itu memang banyak diyakini tak hanya oleh anak-anak, tetapi juga orang-orang dewasa di kampung saya saat itu. Bahkan, poster buraq semacam itu pernah saya lihat terpampang di dinding seorang warga kampung. Poster hasil cetakan, berarti itu diproduksi massal dan mungkin dijual juga secara luas.

Pak Sarwin juga menyebut kata buraq, beliau sebutkan bahwa buraq adalah kendaraan Rasulullah saat melakukan Isra' Mi'raj. Tetapi, beliau tidak menggambarkan buraq seperti yang disampaikan teman saya itu.

Misteri Buraq

Buraq menjadi topik yang ramai dibincangkan sejak zaman saya anak-anak. Tapi, apa sih sebenarnya buraq itu? Bagaimana Islam memandang buraq tersebut?

Buraq sebenarnya berasal dari kata barqu, yang artinya kilat. Dalam surat Al-Baqarah ayat 20, disebutkan yakaadul barqu yakhthafu abshaarahum, hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka.

Bisa dipahami ya, karena perjalanan Rasulullah itu bisa secepat kilat. Kilat di sini adalah sebuah kiasan yang dimaknai sebagai sebuah kecepatan. Rupanya kita belum memiliki kiasan tentang kecepatan yang melebihi kilat.

Padahal kecepatan buraq jelas melebihi kilat hingga ribuan atau jutaan lipat. Kecepatan petir memang menakjubkan. Karena petir merupakan cahaya, kita bisa menganalogikan kecepatan petir sebagai kecepatan rambat cahaya. Dalam 1 detik, petir bisa menempuh jarak 300 juta meter, atau 300.000 km dalam 1 detik. Tepatnya 299.792.458 meter per detik. Padahal, keliling bumi hanya 40.075 km.

Jarak antara masjidil haram dengan masjidil Aqsha memang "hanya" sekitar  1.239 kilometer. Tetapi, berapa jarak antara masjidil aqsha menuju langit ketujuh, yang ditempuh hanya dalam waktu kurang dari semalam? 

Proxima Centauri misalnya, bintang yang paling dekat dari bumi, jaraknya adalah 4,2 tahun cahaya! Catat ya, untuk bisa mencapai Proxima Centauri, cahaya membutuhkan waktu sekitar 4,2 tahun. Karena petir merupakan cahaya, maka petir butuh waktu 4,2 tahun untuk bisa sampai ke Proxima Centauri. Lalu, butuh berapa tahun untuk sampai ke Sidratul Muntaha yang terletak di langit ketujuh?

Sekarang, kalau mau membuat kiasan tentang kecepatan, jangan sekadar secepat kilat, tetapi secepat buraq, setuju?

Isra Mi'raj jelas sebuah peristiwa dahsyat. Menurut beberapa sumber, bahkan ada sahabat yang tidak percaya dan menjadi murtad setelah mendengar peristiwa tersebut. Tetapi, riwayat bahwa ada sahabat yang murtad setelah isra' mi'raj banyak disebut-sebut sebagai hadist yang palsu. Wallahu a'lam bishshawab.

Namun, yang jelas, peristiwa tersebut menjadi perbincangan hangat di kalangan kafir Quraisy, dan olok-olok serta hinaan dan cacian terhadap Rasulullah semakin kuat. Pada saat itulah, sekali lagi Abu Bakar as Shidiq membuktikan lagi keimananannya dengan mengatakan bahwa beliau percaya dan membenarkan kisah isra' mi'raj.

Kembali tentang buraq, dalam beberapa hadist shahih, disebutkan pula tunggangan bernama buraq tersebut.

"Kemudian dibawakan kepadaku seekor hewan tunggangan putih, namanya Buraq. Lebih tinggi dari pada keledai dan lebih pendek dari bighal. Satu langkah kakinya di ujung pandangannya. Lalu aku dinaikkan di atasnya." (HR. Ahmad 17835, Muslim 164, dan yang lainnya).

Dikisahkan pula, bahwa ketika Rasulullah sampai di masjidil aqsha, beliau mengikat buraqnya di tempat yang biasa digunakan para nabi untuk mengikat tunggangannya. Perkataan beliau:

"Aku mengikat buraq di salah satu pintu masjid baitul maqdis, tepat di mana para nabi mengikatkan hewan tunggangan mereka" (Muslim no. 162, Abu Ya’la dalam musnadnya 3375).

Menurut situs konsultasisyariah.com, buraq adalah binatang ghaib. Dan untuk masalah yang ghaib, sikap adalah mengikuti dan meyakini yang ada dalilnya saja, tidak membuat imajinasi tersendiri. Apalagi menambahi dengan wajah perempuan cantik, duh, ada-ada aja ya....

Takiran Akhirnya Tiba....

Kembali ke kisah takiran saat Rajaban.

Namanya juga anak-anak, ya... sepuluh menit pertama, masih konsen menyimak ceramah guru agama. Menit kesebelas, sudah mulai tak sabar melirik takirnya masing-masing. Karena tahu bahwa takir bisa bikin tidak konsentrasi, guru-guru lain melarang anak-anak membawa takirnya di tengah aula, tetapi menyimpan di pinggir-pinggir. Tetapi, anak-anak tetap tahu, di mana lokasi mereka menyimpan takir. Mata-mata mungil mulai gelisah menatap bekalnya masing-masing.

Setelah puncak ketidaksabaran membumbung, Pak Sarwin langsung mafhum. Beliau pun mengakhiri ceramah.

"Baik, anak-anak, sekarang silakan ambil takirnya masing-masing...."

Brrrr... tanpa menunggu kalimat selanjutnya, kami langsung berhamburan mengambil takir masing-masing.

"Yang tertib, yang tertib!" teriak para guru. Ada guru yang kami anggap cukup "galak" mencoba mengatur kami, membuat kami takut jika tidak tertib. Akhirnya, dengan takir di tangan masing-masing, kami kembali duduk rapi.

"Ayo, baca doa bersama-sama...."

Allahumma bariklanaa fiima razaqtana waqinaa 'adzabannaar...

Asyiiik, saatnya makan takir tiba! Kami makan lahap, seperti setahun tidak pernah mendapatkan makanan. Sampai licin tandas, tanpa ada sisa, bahkan sebutir nasi pun.

Kami menutup takir kosong masing-masing dengan perasaan lega, sekaligus menunggu, kapan lagi Rajaban tahun yang akan datang....


Referensi: 
https://konsultasisyariah.com/22699-apa-itu-buraq.html

Posting Komentar untuk "Catatan Isra Mi'raj: Kisah Unik Rajaban Anak Kampung Era 90-an"