Belajar Antre Yuk!
Budaya antre di Singapura, foto: thesmartlocal.com |
Adakah di antara teman-teman yang merasa resah dengan budaya antre di negeri kita yang sering bikin pening? Tak sekali dua kali saya merasakan antrean diserobot dengan begitu nyaman dan tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Kadang saya berpikir, apa sih, sebab dari itu semua? Dan bagaimana solusinya?
Sebelum kita bahas panjang lebar, yuk baca dulu sekilas kisah di bawah ini!
Pada suatu hari, saat tengah membutuhkan sesuatu, saya berjalan ke sebuah minimarket yang berlokasi di dekat kantor. Minimarket ini sebenarnya sebuah apotek, tetapi juga menjual aneka barang selain obat-obatan dan peralatan kesehatan. Cukup ramai. Selain pasien yang ingin menebus resep dokter, juga banyak pembeli umum yang ingin membeli barang-barang incaran. Maklum, harga di sana, entah kenapa, lebih murah dari toko-toko lainnya.
Nah, saat telah menemukan apa yang saya butuhkan, saya pun masuk ke barisan para pembeli yang antre di belakang kasir. Antrean cukup panjang. Dan ada di antara mereka yang agak lama dilayani, mungkin karena harus menukar resep yang "cukup rumit".
Mendadak, seorang anak kecil, usia sekitar 10 tahunan, menyelinap ke depan, menerjang antrean yang panjang, dan langsung menyodorkan barang yang dibeli. Meski melihat antrean cukup panjang, si kasir tanpa banyak cakap langsung melayani. Beberapa pembeli tampak angkat bahu, namun tidak ada yang protes. Demikian juga saya. Namanya juga anak kecil!
Eh, benarkah karena dia "hanya anak kecil" lalu saya dan semua yang ada di minimarket itu membiarkan begitu saja? Saya merasa ada semacam kesalahan yang telah dilakukan tanpa sengaja. Harusnya ada di antara orang-orang dewasa, dan sebaiknya dari kasir, yang dengan sikap baik, mengarahkan anak kecil itu untuk ikut belajar antre. Usia 10 tahun saya kira termasuk usia yang sudah memasuki fase pembiasaan pada hal-hal baik. Khawatirnya, kalau dia terbiasa langsung shortcut, nanti akan terbawa sampai usia dewasa.
Bukankah begitu, kebanyakan sikap masyarakat kita? Seperti saya sebut, tak sekali dua kali saya antrean saya diserobot dengan tanpa rasa bersalah. Saat tengah antre di kasih sebuah rumah makan, mendadak serombongan ibu-ibu dengan santai berjalan ke depan kasir dan langsung melewati sekitar 5 orang yang antre tertib. Sambil ngobrol dan tertawa-tawa, mereka membayar makanan yang sudah mereka santap. Dan lagi-lagi, kasirnya melayani. Seakan tak peduli dengan mayoritas pembeli yang telah mencoba tertib dengan aturan.
Saat berada di Tanah Suci untuk berhaji, saya juga sering sekali melihat ada kejadian jamaah menyerobot antrean. Paling sering saat hendak berwudhu. Biasanya, setiap maktab di di Arafah atau Mina, hanya mendapat beberapa tempat wudhu, sehingga harus antre panjang. Saya paling malas antre di bagian paling kanan atau paling kiri, karena sering sekali dari samping mendadak ada yang menyerobot antrean begitu saja, haha. Kalau nenek-nenek, masih kita maklumilah... tapi kalau yang masih muda-muda, kadang jadi rada esmosi, haha....
Sabar, sabar! Gitu paling saya menyemangati diri sendiri.
Kebiasaan menyerobot antrean, khawatirnya jadi kebiasaan, jika tak dibentuk sejak kecil. Saya teringat beberapa waktu silam, saat berada di sebuah toko di Singapura. Kasus yang sama terjadi. Seorang anak remaja, sepertinya bukan penduduk asli negeri itu, merangsek ke depan. Dia menyodorkan barang yang dia beli. Tetapi, si kasir berkata dengan tegas, namun tetap bernada lembut. Perkataannya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih begini, "Antre ya, kamu berdiri di belakang kakak itu!" katanya.
Masalah antre, memang Singapura harus diacungi jempol. Negara kota itu sungguh sangat sibuk, tetapi antre telah menjadi budaya yang sangat kuat melekat. Mendadak saya tersadar. Budaya positif ternyata tak cukup dibentuk dari rumah atau sekolah. Tetapi, juga dari lingkungan. Selama ini kita mungkin sangat kuat menekankan berbagai adab, sopan santun dan aneka budaya positif lainnya kepada anak-anak. Di sekolah pun begitu. Tetapi, semua akan ambyar ketika berhadapan dengan lingkungan yang serba permisif dan amburadul.
Semestinya, budaya positif memang tidak sekadar dibiasakan di rumah dan sekolah saja. Masyarakat dan negara harus ikut terlibat aktif membentuk karakter generasi muda dengan berbagai aturan yang efisien dan efektif. Semua elemen harus memiliki kesadaran untuk menegakkannya bersama-sama.
Memang betul, terkadang kita juga harus bersikap mendahulukan orang-orang dengan 'udzur' tertentu, semisal ada anak-anak atau orang tua yang antre di depan kita, maka kita merelakan memberikan antrean kita. Tetapi, konsep dasar bahwa kewajiban lebih diutamakan daripada ruksah atau keistimewaan-keistimewaan, itu penting juga.
Kalau anak-anak kita sudah terbiasa untuk antre, nanti kita bisa naikkan level dengan membiasakan memberikan antrean kepada yang punya 'udzur', sebagai sebuah bentuk penghormatan dan adab mulia.
Yuk, jangan cuek. Anak-anak di sekitar kita, meskipun bukan darah daging kita, juga perlu diajari untuk memiliki attitude yang baik. Meski tak harus galak dan marah-marah, kita bisa kok mulai mengajari mereka budaya antre.
Posting Komentar untuk "Belajar Antre Yuk!"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!