Karut-Marut Era Post Truth


Zaman saya bocah dahulu, almarhum ayah pernah dengan sedikit bercanda, menyampaikan bahwa koran itu merupakan singkatan dari ‘seKOR dadi sejaRAN’. Sebenarnya bukan singkatan, sih. Dalam istilah Jawa, ini namanya kerata basa atau jarwo dhosok, semacam akronim, tapi bukan akronim. 

"Kerata" artinya memahami asal-usul. Sedangkan jarwo dhosok artinya penjelasan yang menyatukan. Tapi, belum tentu juga sih, keduanya benar-benar berkaitan. Kadang cuma 'otak-atik gathuk' sebagai sebuah gaya bahasa yang mengundang tawa. Misalnya begini:

Koran, sekor dadi sejaran (satu ekor anak kutu busuk jadi seekor kuda)
Garwa (suami/istri), sigaraning nyawa (separuh jiwa)
Gedhang (pisang), digeget bar madhang (dikudap setelah makan)

Koran yang disebut sebagai seKOR dadi sejaRAN ini maksudnya hal-hal yang tadinya kecil, lantas setelah masuk koran, hal-hal tersebut jadi membesar. Namun, kerata basa bukan sebuah cermin atas ketidakpercayaan orang-orang tua zaman itu, ya. Koran sebagai “sekor dadi sejaran” saat itu benar-benar hanya othak-athik gathuk (otak-atik-menyatu). Buktinya, setiap pagi, ayah selalu membaca koran yang datang, menyimak dengan sesama, dan biasanya percaya bulat-bulat, utuh, tanpa peyok.

Generasi beliau sangat percaya dengan kebenaran linier yang disuarakan oleh media. Pokoknya apa kata koran, mereka percaya. Kalau berita baik, ya gembira. Berita buruk, ikut berduka cita. Lagipula, bagaimana mau tidak percaya? Zaman itu belum ada internet yang bisa mengonfirmasi dengan cepat benar atau tidaknya. Meski saat itu pers mengalami tekanan berat dari rezim, khususnya untuk berita-berita politik, secara umum media masih memiliki wibawa sebagai “sumber informasi yang (diyakini) benar.”

Ayah saya sudah wafat sepuluh tahun silam. Jika saat ini beliau masih hidup, barangkali beliau akan kaget melihat kejadian saat ini. Ada satu masa di mana orang-orang zaman sekarang benar-benar sudah nyaris hilang kepercayaan dengan koran atau media lainnya. Saat ini, benar-benar terealisir anggapan bahwa koran memang seKOR dari sejaRAN. Membesar-besarkan fakta—atau justru sebaliknya, memanipulasi fakta, memframing fakta dan sebagainya.

Ya! Kita sungguh-sungguh sedang memasuki zaman yang aneh. Saat ini, kita bisa saja menolak berita yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Ketika menemui berita yang tidak sesuai keinginan, kita akan mengatakan bahwa itu berita bohong, jurnalisnya ngawur, medianya tidak objektif dan sebagainya. Tetapi lucunya, ketika suatu ketika media tersebut memberitakan suatu hal yang kita sukai, secara inkonsisten, segala cap negatif tentang media tersebut, tanpa sadar terkelupas begitu saja. 

Perilaku mencela sekaligus memuji media yang sama terjadi di mana-mana. Kemarin memaki-maki dan melekatkan segala tuduhan, eh esoknya memuji-muji, hanya gara-gara beritanya pas dengan yang kita inginkan.

Maaf, saya tidak sedang pasang badan membela media, ya. Bisa jadi, ‘kelakuan media’ yang partisan, motivasi clickbait, gemar memframing dan tunduk pada sederet pesan-pesan sponsor, membuat media akhirnya dicurigai publik. Kepercayaan publik terhadap media pun menurun drastis. 

Dalam kondisi semacam ini, terjadi perubahan platform web, dari awalnya 1.0 yang linier, searah, berkembang menjadi 2.0. yang menjadi cikal bakal munculnya media sosial. Dengan cepat, media sosial “mengambil alih” persebaran informasi. Jika zaman dahulu orang hanya dijejali info searah dari media mainstream, sekarang orang dengan mudah menerima informasi dari berbagai situs jejaring sosial.

Ada positif, ada negatif. Positifnya, sekarang media jadi memiliki pembanding serta semacam kontrol, sehingga harus makin berhati-hati dalam menulis berita. Sering kan, ketika ada berita yang terlihat “aneh”, netizen dengan cepat mengkritisi, yang berujung pada pencabutan berita tersebut. Efek positif lainnya, karena media mainstream juga memiliki akun-akun resmi di media sosial, persebaran informasi dari mereka menjadi semakin cepat. Sayapun saat ini, terus terang, selalu menggunakan Twitter sebagai semacam “etalase” berita.

Efek negatifnya, karena siapapun bisa membuat konten, maka banyak muncul konten-konten berkualitas rendah yang tidak mengalami proses editing, verifikasi, tidak cover both sides, bahkan seringkali hanya merupakan informasi palsu, atau hoax. Lebih parah lagi, konten-konten tersebut kemudian ikut mempengaruhi terbentuknya opini publik.

Itulah sebenarnya salah satu sebab, mengapa sekarang kita sering disebut-sebut sedang memasuki era post truth alias berarti pascakebenaran, atau pascafakta. 

Terma "post truth" pernah sangat ngetren dan masuk di Oxford Dictionaries sebagai word of the year pada tahun 2016. Penyebabnya, saat itu marak dikabarkan kejadian British Exit atau yang lazim disingkat sebagai Brexit. Brexit adalah peristiwa keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa melalui referendum, yang terjadi pada Kamis, 23 Juni 2016. Hasil referendum, 51,9% suara memilih keluar dari keanggotaan UE, dan hanya 48,1% yang memilih tetap bertahan menjadi anggota UE.

Nah, uniknya, alasan-alasan yang memilih keluar dari UE tersebut, ternyata lebih didominasi pada sesuatu yang tidak sesuai kenyataan alias kebohongan-kebohongan. Ada beberapa isu liar yang beredar, misal bahwa bergabung dengan UE berarti melemahkan kedaulatan nasional, dibebani iuran yang sangat besar, harus meninjau kebijakan imigrasi yang merugikan Britania Raya, dan sederet isu lainnya yang ternyata tidak terbukti.

Opini-opini dan bahkan kebohongan penuh emosi, menimpa banyak warga Britania, sehingga akhirnya referendum dimenangkan kubu yang pro Brexit. Kejadian Brexit ini akhirnya sering dikaitkan dengan fenomena post truth.

Selain fenomena Brexit, kemenangan Donald Trump di Pemilu Amerika Serikat, juga banyak dikait-kaitkan dengan era post truth. Tim kampanye Trump telah memainkan banyak informasi yang tidak benar demi meraih simpati publik. Apakah benar begitu? Silakan saja cek di artikel-artikel terkait yang banyak tersedia di internet.

Di era post truth, opini, emosi, propaganda, bahkan hoax, berada di atas fakta objektif itu sendiri. Orang mencari pembenaran, bukan kebenaran. Di era post thruth, citra atau polesan lebih dihargai daripada hal-hal alami. Orang berjuang habis-habisan untuk jadi "gelembung sabun", tampak besar dan indah namun kosong; lupa meningkatkan kapasitas diri. Hal-hal instan untuk menjadi keren dalam sekejap, diburu mati-matian.

Orang yang mahir beretorika, meyakinkan publik dengan klaim-klaim kosong, dan seringkali dibumbui teori konspirasi yang WOW, akan lebih dipercaya dan dapat banyak pengikut; ketimbang yang jujur dan berkata apa adanya sesuai fakta objektif.

Di zaman ini:
  • Opini, hoax, emosi, konspirasi, propaganda dll, mengalahkan fakta objektif. 
  • Orang tahu itu bohong, tapi akhirnya terpaksa percaya karena terus menerus disebut sebagai kebenaran.
  • Orang tahu itu benar, tapi akhirnya mengabaikan, karena terus menerus disebut sebagai kebohongan.
  • Orang sibuk mencari pembenaran, bukan kebenaran.
  • Berita dan informasi dicari-cari yang sesuai selera dan opini. Yang berbeda akan ditolak.
  • Citra (sesuatu yang dibentuk sesuai keinginan) lebih diyakini dibanding kenyataan.
  • Orang menyukai kepalsuan yang indah, membenci kebenaran yang pahit.

Suatu hari, suami saya berkata, bahwa kita beruntung, karena pandemi Covid-19 terjadi di era industri 4.0. Saat isoman misalnya, orang di kawasan urban bisa mudah memesan makanan via pemesanan online. Bisa sekolah atau kerja di rumah secara daring, mengisi aktivitas di rumah saja dengan nonton Youtube atau kursus daring dan sebagainya.

Tapi, di satu sisi, era post truth juga menyulitkan langkah-langkah penanganan covid. Hampir tiap hari saya dan teman-teman ‘bergelut’ di WAG-WAG, memerangi hoax yang luar biasa. Berita bohong diproduksi secara berlimpah, dengan persebaran yang sangat masif.

Bertahan di Era Post Truth

Kadang, era ini bisa membuat kita confuse, bahkan bisa fatal, karena terjebak pada informasi yang salah dan melakukan suatu hal yang tentu saja tidak benar. Lalu, bagaimana cara bertahan di era ini? Ada beberapa cara.

1.  Memperkuat ketakwaan, sebab takwa menjadi sebab turunnya furqon, yang merupakan filter pembeda haq dan bathil. Sebagai seorang muslim tentu meyakini bahwa kebenaran sering kali bukan sekadar perkara logika, tetapi juga bashirah (mata batin), yang itu turun dari hidayah Allah SWT.

2. Memperkuat literasi. Wawasan yang luas akan membantu kita memahami suatu permasalahan. Teruslah memperkuat keilmuan kita dan terus-menerus melakukan proses berfikir. Orang yang di kepalanya banyak informasi, akan lebih sulit digoyang oleh informasi sesat. 

3. Carilah infomasi dari orang-orang yang benar-benar expert di bidangnya. Sebagai muslim, saya juga punya kaidah dalam hal ini. Terkait ilmu dunia, Rasulullah SWT berkata, “Antum a'lamu bi amri dun-yaakum. Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.”  (HR. Muslim, no. 2363). Selain itu, Rasul juga bersabda, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu!” (HR. al Bukhari).

4. Nah ini khusus buat media. Buatlah media Anda senantiasa berorientasi pada kebenaran yang objektif. Cover both sides, terverifikasi, dengan liputan yang benar-benar mendalam, serta memegang teguh kode etik. Media yang berwibawa, akan tetap dijadikan rujukan, khususnya bagi orang-orang yang masih 'waras'.

5. Jika Anda public figure atau influencer, memiliki pengaruh besar ke follower, cobalah untuk lebih mendalam lagi saat membuat konten. Renungi efek-efeknya, perkuat referensinya (bahkan jika opini), dan berhati-hatilah setiap memilih konten yang hendak Anda sebarkan.

Ini kondisi yang sangat menyedihkan. Namun seringkali, kita larut di dalamnya tanpa sadar. Namun, semoga kita senantiasa diberikan kemampuan untuk tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran.

2 komentar untuk "Karut-Marut Era Post Truth "

Comment Author Avatar
"Carilah infomasi dari orang-orang yang benar-benar expert di bidangnya."

Bagaimana cara tahu seseorang benar-benar expert di bidangnya? Kadang ada orang yang punya gelar doktor, misalnya, ternyata HC. Bisa juga ada artikel menyebutkan pendapat dari ahli di luar negeri, ternyata nama itu palsu. Atau lebih lagi, saat ini marak di kalangan umat, kita mengikuti orang yang kira anggap ahli di bidang agama, tapi oleh orang lain dianggap sekadar mengaku ustaz/ulama.
Comment Author Avatar
HC ini maksudnya honoris causa? HC-pun sebenarnya kan juga perlu studi yang cukup rigid ya, karena memberikan gelar HC berarti mempertaruhkan kredibilitas institusi. Menyebutkan sumber juga perlu dilacak sumbernya. Di era informasi seperti sekarang, sepertinya tidak terlalu sulit melacak "sanad" dari sebuah informasi. IMHO.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!