Catatan Haji #13: Indahnya Hari-Hari di Mekah (2), Menikmati Mekah Pasca Haji

Gang di kota Mekah, dekat hotel Raudah Al Aseel (koleksi pribadi)

Sahabat semua, apa kabar? Pagi ini, kalender di rumah saya menunjukkan angka 19 Juli 2021, atau 9 Dzulhijjah 1442 H. Pastinya kalender di rumah Sahabat juga menunjukkan hal yang sama bukan? Berarti, kita sama-sama tinggal di Planit Bumi, haha....

Pagi ini, saya membuka-buka kembali seri #CatatanHaji yang sudah saya tulis sejak 3 tahun silam. Sudah ada 12 seri plus 1 video yang saya buat. Tetapi, ternyata masih ada, banyak malah, yang terlewat. Ya, keseruan menikmati kondisi sebagai tamu Allah selama sekitar 40 hari, tak akan cukup dituangkan hanya dalam bentuk tulisan-tulisan pendek. Banyak sekali hal menarik yang bisa dibagi. Sayang, kadang saya terlalu malas untuk membuat catatan.

Sampai akhirnya saya tersadar, bahwa daya ingat saya semakin lama semakin menurun. Meski baru berusia (saat ini) 42 tahun, kadang saya merasa agak pikun. Otak di kepala penuh dengan benang ruwet yang membuat sering merasa lupa. Astaghfirullah.... Saya iri dengan Mbah Supiyah, pendiri pondok puteri Sofiah Imam Syuhodo, Bekonang, Sukoharjo. Beliau seorang perempuan hebat yang pernah saya buatkan biografinya. Daya ingat beliau sangat kuat, padahal usianya sudah 80an tahun. Beliau dengan jernih masih bisa bertutur kondisi saat berhaji, tahun 1967! Beliau bahkan masih ingat nama-nama teman rombongannya, dan berbagai kejadian unik saat berhaji. 

Oke, kembali ke laptop, Gaess!

Kalau bisa saya bagi, ada 4 fase yang dijalani jamaah yang berhaji secara reguler, sesuai ketentuan jamaah haji Indonesia. Saya kurang tahu yang berangkat haji menggunakan haji plus. Semoga suatu saat saya diberi rezeki berlimpah untuk berangkat haji menggunakan model haji plus, sehingga bisa membagi kisahnya ya, amiin!

Apa saja 4 fase tersebut?

1. Fase Madinah
2. Fase Mekah Pra Haji
3. Fase Armuzna (Arafah Muzdalifah Mina)
4. Fase Mekah Pasca Haji

Fasa-fase tersebut relatif sekali ya, tergantung kloternya masing-masing. Kalau kloter-kloter awal, fasenya akan seperti itu. Sebab, dari Indonesia, kita akan diterbangkan menuju Madinah terlebih dahulu. Kalau kloter akhir, bisanya fase Madinah berada di akhir, karena mereka akan terbang ke Mekah, menempuh fase 2, 3 dan 4, baru kemudian ke Madinah.

Pada haji 2018, jamaah haji Indonesia terbagi menjadi 2 gelombang. Pada gelombang pertama, jamaah diterbangkan menuju Bandara Amir Muhammad bin Abdul Aziz Madinah, mulaitanggal 17 Juli hingga 29 Juli 2018. Selanjutnya, gelombang 2, jamaah diterbangkan menuju Bandara Internasional King Abdul Aziz Jedah, yang kemudian langsung ke Mekah, mulai 30 Juli hingga 15 Agustus 2018.

Timeline saya berhaji (saya kloter 39 dari debarkasi Solo (SOC), termasuk kloter awal, tetapi awal yang hampir akhir gitu deh. Jadi, saya menempuh fase seperti yang saya tuliskan di atas, fase pertama Madinah, lalu Mekah Pra Haji, Fase Armuzna dan Fase Mekah Pasca Haji. Ketiga fase sudah saya tulis dalam catatan haji dari seri 1 hingga 12. Sekarang, saya mau menuliskan fase ke-4. Semoga Sahabat semua tidak bosan, hehe....

* * *

Tanggal 23 Agustus 2018, hari Kamis, kalender Hijriah menunjukkan angka 12 Dzulhijjah 1439, kami meninggalkan Mina sekitar jam 9 pagi setelah lempar jumroh yang ketiga.Sebagaimana saya tuliskan di artikel #CatatanHaji12: Meninggalkan Mina, Thowaf Ifadhah dan Jalan Kaki 21 KM, kami memang memutuskan untuk nafar awal, yakni meninggalkan Mina pada tanggal 12 Dzulhijjah. Alasannya, karena suami saya ketua regu, bertanggung jawab terhadap anggota yang kebanyakan sudah sepuh dan sudah terlihat kepayahan. Hasrat hati sih, kalau perlu selamanya di Mina, hiks....

Pasca dari Mina, kami langsung melakukan aktivitas thowaf ifadhah, dan sampai di hotel sudah larut malam, jam 11 malam. Kami langsung tidur pulas. Hari yang sangat melelahkan. Tapi alhamdulillah, seperti biasa, Allah SWT membangunkan kami jam 3 malam. Karena bus sholawat belum beroperasi, kami memutuskan untuk sholat di masjid depan hotel Raudhah Al Aseel. 


Ada 2 masjid di sekitar hotel kami. Saya lupa namanya, tapi kalau lihat di Google Map, yang berada di depan hotel namanya Princess Munira Mosque, sedangkan yang di belakang, masuk gang sedikit, namanya Ajlan Qurashi Mosque. Saya belum pernah sholat di Ajlan Qurashi Mosque, lebih sering di Princess Munira Mosque. Sangat jarang sholat di mushola hotel.

Princess Munira Mosque

Princess Munira Mosque merupakan masjid dengan 2 lantai, berukuran cukup besar, bisa menampung ratusan jamaah. Tak hanya jamaah dari Raudah Al Aseel, juga hotel-hotel lainnya. Bukan cuma dari Indonesia. Sering juga kami bertemu dengan jamaah dari negara lain, seperti Pakistan, Turki atau Bangladesh. Biidznillah, pernah suatu hari kami bertemu Ustadz Ahmad Heriawan (Aher) di sana. Hotel Ustadz Aher dan Bu Netty lokasinya memang dekat dengan hotel kami. Dua kali kami bertemu dengan Ustadz Aher, sekali dengan Bu Netty, saat menghadiri sebuah acara khusus di hotel Istanbul, sekitar 1,5 km dari Jamarat.

Sebenarnya, selama di Mekah minus fase Armuzna, hampir setiap sholat dhuhur kami lakukan di masjid ini. Untuk datang ke masjidil Haram di siang bolong, kami tidak sanggup. Jadwal sholat di Masjidil Haram biasanya hanya untuk maghrib, isya, subuh dan dhuha. Kadang asyar. Untuk dhuhur, kami seringnya sholat di masjid ini. Sedangkan sholat Jumat, kami ke Masjidil Haram. Suasana shalat Jumat di Masjidil Haram sangat crowded. Saat itu, masjid penuh. Hampir semua jamaah yang ada di Mekah, dari berbagai negara, datang ke sana. Walhasil, kendaraan pun selalu penuh, termasuk bus shalawat. Maka, kami akan pilih jalan kaki untuk pulang, menempuh jalan sekitar 3,5 km dengan panas terik menyengat, atau sekalian tidak pulang sampai asyar, maghrib dan isya.

Dari lantai 16 (11 lantai area penginapan dan 5 lantai untuk mushola, resto, servis dll), kami antre lift. Hotel kami memiliki 15 lantai untuk area penginapan dan 5 lantai lainnya. Namun hanya ada 3 lift di hotel tersebut. Saya lupa, ada berapa jamaah di hotel tersebut. Yang jelas ratusan. Agar tidak ketinggalan jadwal shalat, biasanya sejam sebelum jadwal, kami sudah turun menuju masjid. Di sana bisa baca Al-Quran, berdzikir, atau sekadar memandang suasana kota Mekah. Pulang sholat juga biasanya tidak langsung ke hotel, tetapi duduk-duduk di bawah jalan layang di depan masjid yang teduh.

Suasana bawah jalan layang depan Princess Munira Mosque (Koleksi Pribadi)

Di bawah jalan layang itu, biasanya terparkir banyak mobil-mobil bagus khas Arab. Mobil-mobil mahal, tapi seringnya tak terurus, sehingga kotor berdebu. Sesekali, kami menyusuri gang-gang di kota Mekah, dan hampir di setiap depan gang, kami mendapati mobil-mobil SUV yang kalau di Indonesia harganya mencapai milyaran. Semua diparkir begitu saja, dalam kondisi lusuh. Sangat kontras dengan masyarakat Indonesia yang biasanya memiliki mobil terawat dan bersih mengilat. Saya ingat, pernah punya tetangga yang sangat suka membersihkan mobilnya, sehingga mobil beliau benar-benar sangat bersih, cling!

Suami, nebeng berfoto di depan mobil orang, wkkk (Koleksi Pribadi)

Ya wajar sih, mungkin repot juga membersihkan mobil di Arab Saudi. Baru dicuci, eh langsung kena debu. Mayoritas mobil-mobil di Saudi memang tipe SUV yang gede dan mantap pisan dinaiki. Jarang sekali, atau bahkan nyaris tak ada, motor melintas di jalanan Mekah. Kalaupun ada, jenis motor gede yang dinaiki polisi.

Di Princess Munira Mosque, sering juga ada kajian. Uniknya, mungkin karena tahu banyak jamaah Indonesia, biasanya ada penerjemah juga yang berasal dari mukimin Indonesia. Biasanya para pelajar atau mahasiswa yang sedang menetap di Mekah. Imam masjid masih muda, berjubah putih dan kafiyeh kotak-kotak merah, seperti umumnya penduduk Mekah. Kata suami, beliau sangat lembut. Saat jamaah haji hendak berpamitan kembali ke Indonesia, beliau menyalami suami dan jamaah lain, dengan mata berkaca-kaca.

Oya, di depan Masjid, sering sekali ada penjual buah-buahan dan aneka hasil bumi lainnya yang harganya jauh lebih miring daripada ketika kita belanja di mall. Jeruk, apel, anggur, dan sebagainya, dijual di dalam mobil pick up yang diparkir di masjid. Saya lupa harga-harganya. Tapi kalau tidak salah, dengan 5 atau 10 riyal, kami sudah bisa mendapatkan anggur yang lezat dan segar. 

Pemandangan dari Lantai 2 Masjid Princess Munira

Di sekitar hotel juga banyak toko-toko yang menjual aneka barang kebutuhan jamaah, dan ada juga toko Indonesia. Di sana, kita bisa membeli sambal terasi, pop mie, dan aneka barang-barang produksi Indonesia. Cukup membantu, sih. Di tahun 2018, jamaah haji Indonesia mendapatkan 2 kali makan besar, yaitu siang dan sore. 

Bakso (koleksi pribadi)

Bakwan (koleksi pribadi)


Kalau pagi, biasanya kita mencari makanan-makanan yang dijual oleh para pedagang di depan hotel. Beberapa mukimin asal Indonesia, ada yang menjual makanan kas Indonesia, seperti pecel, nasi kuning, mendoan, bakwan, bahkan juga bakso. Harganya pun sangat-sangat terjangkau. Hanya dengan 3 riyal, saya sudah mendapatkan semangkuk bakso. Rasanya, lumayan enaklah, apalagi kalau dimakan saat lapar. Haha.

Jadi, biasanya kan kami pergi ke Masjidil Haram sekitar jam 3 malam. Sholat tahajud, lanjut subuh, syuruq dan dhuha, kadang towaf sunnah, habis itu, pulang dengan bus sholawat. Sampai hotel, tentu kelaparan. Maka, biasanya kami jalan-jalan sekitar hotel. Selain berburu makanan-makanan yang saya sebut di atas, ada juga kedai nasi kebuli milik seorang warga Mekah keturunan Tionghoa. Saya kurang tahu persisnya sih, Tionghoa atau bukan. Tapi matanya sipit, kulitnya kuning, khas Tionghoa. Atau mungkin dari Suku Uighur, saya kurang tahu persisnya. Hanya saja, sebagaimana penduduk Mekah, dia memakai jubah putih, kadang biru, dan memakai topi bulat putih. Juga berjenggot lebat dan sedikit kumis. Asyiknya, si "abang" ini lancar berbahasa Inggris, jadi bisalah diajak-ajak ngobrol. Cuma karena beliau sangat sibuk, obrolannya nggak bisa ngalor ngidul.

Penampakan nasi kebuli di kedai si Abang "Chinese"


Di kedai beliau, dijual nasi kebuli dengan paket ayam panggang seperempat, separuh hingga utuh. Harganya terjangkau banget. 20 riyal sudah dapat nasi kebuli sepiring besar dengan ayam utuh. Separuh ayah 15 riyal, kalau seperempat cuma 8 riyal. Rasanya, mantaaap pisan! Karena murah dan enak, kami jadikan kedai itu sebagai langganan. Pulang dari Masjidil Haram, seturun dari bus, kami tidak langsung pulang ke hotel, tetapi mampir di kedai tersebut.

Jadi, gitu deh... sebenarnya puncak ibadah Haji cuma sekitar seminggu. Kalau di Madinah, memang ada program Sholat Arbain, yang cukup padat. Kalau di Mekah, tergantung bagaimana kita memenej waktu. Jika kita benar-benar ingin totalitas ibadah, ya jadinya padat. Tetapi kalau ingin bersantai-santai, waktu memang sangat longgar. 

Aslinya, sholat di Masjidil Haram pahalanya lebih besar daripada sholat di Masjid Nabawi. Jadi, kalau di Madinah semua berlomba-lomba untuk sholat di Al-Haram, mestinya di Mekah pun begitu.

Hanya saja, memang ada sebagian jamaah yang memiliki udzur syar'i. Misal karena sudah sepuh dan perjuangan menuju Masjidil Haram memang cukup berat. Kalau malam, habis isya, harus "berebut" naik bus, berjubel-jubel dan kadang-kadang berlarian mengejar bus di terminal Syib Amir. Agak butuh perjuangan dan stamina yang kuat. Kasihan juga kalau eyang-eyang melakukan hal itu.

Apalagi, fatwa dari sebagian ulama Saudi menyebutkan, bahwa keutamaan sholat di Mekah, sebenarnya meliputi semua lokasi tanah Haram, jadi bukan cuma di Masjidil Haram. Di masjid-masjid seperti Princess Munira pun bisa. Cuma, bagi yang muda-muda seperti saya dengan suami, yang saat itu masih kuat, kok kayaknya kurang afdhal kalau tidak mengoptimalkan waktu dengan sesering mungkin mengunjungi Masjidil Haram.

Wallahu a'lam.

Masih bersambung di Catatan Haji #14, insyaAllah...

Posting Komentar untuk "Catatan Haji #13: Indahnya Hari-Hari di Mekah (2), Menikmati Mekah Pasca Haji"