Benarkah Sabar Itu Ada Batasnya?



Baru-baru ini, seorang pejabat publik mengeluhkan dirinya yang selalu saja menjadi bahan perundungan (bullying) dari para pembencinya. Segala hal yang dia lakukan dianggap salah dan dicaci maki di media sosial. Pejabat tersebut mengatakan, “kesabaran ini ada batasnya.”

Tak hanya pejabat tersebut. Seringkali, saat kita dicekam perasaan yang tidak nyaman atas tindakan seseorang, lalu kita emosional, kita pun akan mengatakan, “Saya sudah tak mampu menahan sabar. Sabar saya sudah habis kuotanya.”

Kalimat ‘sabar ada batasnya’ memang sangat populer. Hampir semua orang akan melegitimasi dirinya dengan hal tersebut.  Jika kemarahan atau kesedihan sudah pada puncaknya, secara spontan akan muncul sebuah reaksi: “Aaya hilang kesabaran, sabar ada batasnya.” Tak usah bicara jauh-jauh. Saya sendiri juga merasakan hal itu. Sering juga malahan.

Sabar itu ... susyeh! Ya, nggak sih?

Tetapi, saat dalam kondisi merenung, dengan pikiran yang agak jernih. saya pernah juga berpikir. Benarkah sabar memiliki batas?

Lalu, saya akan membuka-buka literatur. Mencari-cari di berbagai tulisan di buku-buku yang saya koleksi. Atau klik google, mencari informasi.

Sebagai sebuah amalan hati, sabar memiliki kedudukan yang sangat mulia dalam Islam. Kita tentu mengenal kalimat innallaaha ma’ash-shoobiriin (sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar), ista’iinuu bish-shobri wash-sholaat (jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu) dan berbagai kalimat lainnya di dalam Al-Quran yang berkaitan dengan sabar. 

Bahkan, saking dashyatnya makna sabar bagi seorang muslim, Ibnul Qayyiem Al-Jauziyah menyebutkan, “Kedudukan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.” 

Kalimat ini sungguh memiliki makna yang sangat dalam. Jika sabar dalam iman adalah kepala, maka jika sabar itu hilang, tubuh kita sudah tidak memiliki kepala, itu artinya kita sudah tak memiliki kepala.
Mendeklarasikan “sabar itu ada batasnya”, jika dikaitkan dengan pernyataan Ibnu Qayyiem di atas, sebenarnya merupakan refleksi bahwa “kehidupan (ruhiyah) saya sudah berakhir.” Sebab, kita sudah tak memiliki kepala. Mana ada tubuh bisa hidup jika kepalanya tiada.

Bukankah itu merupakan suatu hal yang mengerikan?

Sabar memang sangat sulit, terlebih jika cobaan demi cobaan selalu hadir menggoyang kestabilan diri kita. Tetapi, jangan pernah mengatakan bahwa “kesabaran saya habis.” Jika sabar sudah habis, lantas apa yang akan kita jadikan sebagai pegangan? Padahal, kata Allah, sabar dan shalat adalah penolong kita.

Sabar, selalu tak ada batasnya, sebab, pahalanya pun tak ada batas. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10). 

Ya, pahala sabar akan terus diberikan tanpa batas. Maka, jika kita memutus kesabaran dengan memberinya batas, sebenarnya kita sedang memutus rantai pahala yang Allah limpahkan kepada kita. Bahkan bukan sekadar rantai pahala yang diputus, melainkan rantai kehidupan kita. Sebab, seperti kata Ibnu Qayyiem di atas, sabar dalam iman adalah kepala bagi seluruh tubuh.

Jangan penggal kesabaran dari diri kita, atau kita akan “mati” sebelum waktunya.

Posting Komentar untuk "Benarkah Sabar Itu Ada Batasnya?"