Widget HTML #1

Gaji Tak Seberapa, Tapi Bahagia! Mengapa?



Suatu hari, seorang kenalan saya, bos pemilik beberapa perusahaan berkata pada suatu forum yang juga saya hadiri. “Saya heran dengan kehidupan para karyawan kita. Gaji mereka hanya sedikit di atas UMR, tetapi mengapa mereka bisa hidup dengan begitu nyaman, tampak bahagia dan tidak mengeluh atas kondisi keuangannya, ya?”

Bos tersebut layak heran. Dengan gaji hanya 2-3 juta per bulan, para karyawan yang juga memiliki keluarga seperti dirinya, ternyata bisa bertahan hidup. Sementara beliau sendiri, jatah untuk setiap anaknya selama sebulan bahkan lebih besar dari gaji para karyawannya. Padahal anaknya lebih dari satu, dan itu belum termasuk kebutuhan sekolah mereka dan biaya lainnya. Untuk bayar listrik untuk rumahnya bisa mencapai jutaan rupiah per bulan, biaya BBM, biaya ini dan itu... sangat besar.

Ya meskipun tidak sebesar pengeluaran beliau, saya pun sebenarnya juga sudah merasakan besarnya kebutuhan yang harus ditutup. Saat masih lajang, gaji saya lumayan, karena di tempat kerja mendapatkan posisi lumayan penting, dan juga ada honor-honor kepenulisan yang bisa menambah tabungan. Apalagi, saat itu dunia perbukuan dan kepenulisan sedang cukup berjaya.  Tetapi, karena kondisi ekonomi orang tua saat itu kurang baik, saya harus ikut membantu membiayai sekolah adik-adik.

Saat ini, anak-anak saya semua sudah bersekolah, semua di swasta dan biayanya lumayan tinggi. Meskipun kami menerapkan pola hidup sederhana, tetap saja ada biaya-biaya yang tak bisa dihemat. Namun, saya dan suami  merasa bersyukur, karena saat ini kami diberikan kecukupan untuk melalui semua itu.

Lalu, bagaimana dengan para karyawan yang bergaji “hanya” 2-3 juta sebulan itu? Jika ingin merenung lebih mendalam, si bos sebenarnya bisa mencari jawabnya. Ya, rezeki tak selalu berujud materi. Rezeki tak selalu berbanding lurus dengan semakin gemuknya rekening kita. Ada bentuk-bentuk rezeki lain, yang Allah SWT turunkan kepada manusia, tergantung dengan kebutuhannya.

Menurut Syekh Sya'rawi, rezeki tak selalu identik dengan harta kekayaan. Segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia dinamakan rezeki. Ilmu, akhlak, rupa yang cantik dan tampan, atau pangkat, ketenangan dalam hidup, kesehatan, rasa nikmat dalam menyantap makanan, semuanya itu dikategorikan sebagai rezeki yang diberikan oleh Allah. Rezeki mengalir kepada individu dengan cara berbeda-beda. 

Si bos besar, mungkin baru merasa nikmatnya makanan jika makan di restoran yang satu porsi mencapai ratusan ribu. Sementara, si karyawan bisa merasakan kenikmatan yang sama dengan harga makanan hanya belasan ribu. Bukankah rezeki mereka sebenarnya sama? Si bos mengeluarkan sejuta untuk makan bersama keluarganya di restoran megah, sementara si karyawan cukup lima puluh ribu di warung pinggir jalan untuk memuaskan anak dan istrinya, atau bahkan bisa sepertiganya saat sang istri memasak khususnya untuknya, sepenuh cinta.

Jika ditelisik, maka rezeki sebenarnya mengalir kepada manusia nyaris tanpa batas, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 212, wallāhu yarzuqu may yasyā`u bighairi ḥisāb. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas. 

Hanya saja, ada yang rezekinya mengalir melalui rekening yang terus membengkak. Ada yang rezekinya masuk bersama keluarga yang sehat, anak-anak yang tak bermasalah, istri yang merasa cukup dengan apa yang diberikan suami, kehidupan yang penuh dengan barokah, dan sebagainya.

Jadi, tak perlu kita merasa sedih jika tak dilimpahi rezeki berupa materi yang menggunung. Sebab, banyak cara yang Allah lakukan untuk melimpahi rezeki tanpa batas kepada kita. Syukuri apa yang ada, niscaya kita akan bahagia.

Fenomena Kesyukuran

Sikap bersyukur sendiri adalah sebuah hal yang cukup menarik untuk ditelisik. Allah SWT berfirman, "la in syakartum la azindannakum wa lain kafartum inna ‘azabi lasyadid ... artinya apabila kamu bersyukur maka akan memperbanyak (nikmat) kepada kamu, dan jika kamu memungkiri (nikmat-Ku), amatlah pedih (QS. Ibrahim:7).

Ketika kita bersyukur, maka Allah akan melipatgandakan nikmat kita. Misal, dengan gaji dua juta, namun diterima dengan kesyukuran, maka Allah akan lipatgandakan dengan kesehatan, perasaan bahagia, perasaan cukup dan sebagainya. Kadang kita menyepelekan kesehatan, baru setelah Allah memberikan penyakit, maka terasa betul bahwa sehat itu sangat mahal. Kita mengabaikan rasa bahagia, padahal untuk mendapatkan kebahagiaan, banyak orang mengeluarkan biaya puluhan juta, misal untuk piknik keluar negeri.

Kesyukuran, kalau dalam psikologi disebut sebaga gratitude. Seligman dan Peterson (2004), memaknai gratitude sebagai perasaan terimakasih dan perasaan senang sebagai respon positif saat kita diberi hadiah. Rezeki, baik berupa uang, kehidupan yang nyaman, kesehatan, dan sebagainya, bagi orang yang senantiasa bersyukur, merupakan sebuah hadiah atau anugerah dari Allah SWT. Banyak penelitian menunjukkan, bahwa gratitude berkorelasi signifikan dan positif dengan subjective well-being. Apakah subjective well-being itu? adalah sebuah istilah yang erat kaitannya dengan kesejahteraan, kebahagiaan, kepuasan, moral, dan afeksi positif, Itulah sebenarnya makna keberkahan!

Posting Komentar untuk "Gaji Tak Seberapa, Tapi Bahagia! Mengapa?"