Sabar dan Syukur, Apakah Harus Memilih?



"Menikahlah, jika mendapatkan istri (suami) baik maka kau akan bahagia, jika mendapatkan istri (suami) buruk maka akan menjadi seorang filsuf,” kata Socrates, seorang filsuf terkenal dari Yunani yang hidup sekitar 4 abad sebelum masehi. 

Nama Socrates sih, sepertinya tidak asing lagi ya, buat kita semua. Sejak kecil, mungkin kita sudah mengenal Trio SPA, alias Socrates, Plato, Aristoteles, yang ajaran-ajaran filsafatnya sangat mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan yang kita pelajari sehari-hari di bangku sekolah formal. Quotes mereka banyak dikutip dan dijadikan prinsip hidup oleh milyaran orang di dunia, sejak zaman dahulu kala. Maklum saja, Socrates hidup sekitar tahun 400-an SM, sudah sekitar dua setengah milenium yang lalu. Ajarannya tentu saja telah tersebar ke seluruh dunia.

Tetapi, pernahkah Anda mendengar quotes yang sekilas terkesan agak aneh ini? Aneh, karena menghubungkan ketidakbahagiaan saat mendapatkan pasangan buruk dengan peluang menjadi filsuf. Buruk di sini mungkin bukan buruk rupa, tetapi buruk perangai atau perilaku. Misal suami atau istri kita pemberang, jahat, kurang perhatian, egois, dan sebagainya.

Sebenarnya, bagaimana kisah di belakang itu semua? Mengapa Socrates mengucapkan kalimat tersebut? Apakah benar, dia memiliki istri yang buruk perangai?

Kalau membaca berbagai literatur, Xanthippe, istri Socrates yang 40 tahun lebih muda, dikisahkan sangat kasar, judes, dan pemarah. Suatu hari, saking marahnya, Xanthipe menyiram Socrates dengan air cucian, yang dibalas Socrates dengan sabar, "setelah petir datang hujan." Saking terkenalnya kisah ini, Otho Vaenius pada tahun 1607 melukis sebuah emblem di Emblemata Horatiana bergambar Socrates yang sedang disiram air oleh Xanthippe. Coba cek foto di bawah ini!

Sumber: wikimedia

Apa yang membuat sang istri jadi sepemarah itu? Pasti ada sebab-musababnya. Mungkin karena dasarnya dia seorang perempuan yang bertabiat buruk. Ini sangat mungkin. Dikisahkan bahwa Socrates menikahi Xanthippe yang judes karena ingin mendidiknya. Hm, ini mungkin kekeliruan Socrates ya, tahu wataknya buruk, tapi kok dinikahinya? Haha... atau sudah telanjur jatuh cinta? 

Kemungkinan lain, Xanthippe sering marah-marah karena dia tidak sanggup memiliki suami seperti Socrates yang konon sangat miskin, sering bepergian untuk berdiskusi soal kebenaran, dan sebagainya. Meskipun Socrates sangat bijaksana, cerdas dan berkepribadian mulia, juga memiliki banyak murid, bagi Xanthippe itu semua tidak ada gunanya. 

Jarak usia yang jauh, secara psikologis tentu juga berpengaruh juga terhadap interaksi kedua orang ini. Seandainya Xanthippe berusia 20 tahun, dengan jarak usia 40 tahun, berarti Socrates berusia 60 tahun?  Sudah tua, sering bepergian, miskin pula! Aduh, aduh ... duh, duh.

Eh, tapi sebaiknya jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain, ya? Lagipula, peristiwa itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu, kita tidak paham duduk perkaranya secara lebih jelas. Tetapi, memang ada peribahasa: it takes two to tango, artinya, untuk bisa terjadi "dansa tango" membutuhkan dua pihak. Untuk bisa berantem, minimal kan butuh dua orang yang saling melayani, ya kaaan? 

Haha ... kembali kepada quotes Socrates di atas. 

"Menikahlah, jika mendapatkan istri (suami--pen.) baik maka akan bahagia, jika mendapatkan istri (suami--pen.) buruk maka akan menjadi seorang filsuf."

Saya sengaja menambahkan kata suami dalam kurung, supaya bahasan kita tidak terkesan untuk satu gender saja. Jadi, baik suami maupun istri, boleh dan relevan membaca tulisan ini, dan semoga bisa mengambil hikmahnya.

Dalam quotes di atas, terdapat beberapa hal yang bisa direnungkan.

Dalam quotes tersebut, ada sebuah pengakuan, bahwa berumah tangga benar-benar sarana pembelajaran yang luar biasa. Kebahagiaan bisa didapatkan dalam berumah-tangga, tentu jika rumah tangga berada di jalur atau track yang tepat. Hak dan kewajiban dipenuhi, baik suami atau istri saling mengerti apa yang harus dilakukan, dan sebagainya. Tetapi, kalau tracknya tidak benar, ada satu pihak yang tidak aware terhadap apa yang harus dilakukan, ada satu yang zalim, misalnya ... sehingga rumah tangga berjalan tidak harmonis, tetap saja kata Socrates, ada hikmah yang bisa dipetik.

Quotes itu, jika dibahas dalam perspektif sabar dan syukur, jadi pas. Dalam konteks ini, syukur terjadi jika ternyata kita mendapatkan bahagia. Jika tidak bahagia, lalu kita bersabar, maka kebaikan juga yang akan kita dapatkan. Sementara, dalam perspektif agama manapun, terlebih agama yang saya anut: islam, sabar dan syukur sama-sama baiknya, sama-sama besar pahalanya. Dalam perpektif psikologi, sabar sering diidentikkan dengan resiliensi, atau ketangguhan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Sedangkan syukur, adalah gratitude, atau perasaan berterimakasih terhadap pihak lain yang memberikan kebaikan padanya. Resiliensi dan gratitude, merupakan dua hal positif, yang berpengaruh baik terhadap kondisi seseorang.

Pertanyaan selanjutnya, jika kita boleh memilih, pilih sabar atau syukur? Secara natural, kita pasti akan pilih: bersyukur dong! Karena syukur identik dengan kebahagiaan. Eh, benarkah? Ternyata, bersyukur juga tidak mudah, lho. Buktinya, banyak orang dilimpahi anugerah: suami baik, anak shalih, rezeki cukup, eh... tapi dalam praktik kehidupannya, dia sering mengeluh. Dia merasa tidak bahagia. Jadi, gratitude pun sebenarnya sebuah soft skill yang tidak mudah dipelajari. Secara naluriah, manusia selalu mendambakan kesempurnaan. Ketika dia punya 100, lalu ada 5 yang hilang, dia akan sangat panik, dan fokusnya tersedot pada yang 5 itu, sementara yang 95 tidak dia pedulikan. Dia punya 100 teman, ada 1 yang menyebalkan, tak sadar dia akan mengeluarkan energinya untuk mengurusi yang ke-1, sementara 99 yang baik akan diabaikan. Benar nggak?

Syair lagu "Balonku Ada Lima" mengindikasikan hal ini. 

Balonku ada lima
Rupa-rupa warnanya
Hijau kuning kelabu
Merah muda dan biru
Meletus balon hijau dooor!
Hatiku sangat kacau
Balonku tinggal empat
Kupegang erat-erat

Lihatlah, dia sangat kacau dengan meletusnya satu balon, padahal masih punya empat balon. Untungnya, dia menindaklanjuti dengan memegang erat empat balon yang tersisa. Jadi, syair lagu ini juga mengajari kita untuk realistis dengan mempertahankan yang masih kita punyai. Sifat sangat kacau dengan kehilangan mungkin manusiawi, asal tidak membuat kita hilang semangat, dan melupakan yang masih kita miliki.

Sabar dan syukur, kalau kata Sayyidina Umar bin Khattab, bagai onta tunggangan, beliau tak akan memilih, pokoknya yang ada ya akan dia naiki menuju satu tujuan. Memang maqom beliau sudah sangat luhur. Saya juga akan bingung kalau ditanya, pilih mana, sabar atau syukur. Dua-duanya beraaat, Ferguso! Tetapi, dua-duanya ingin saya miliki. Saya percaya, Allah SWT selalu akan menggilir kita, tak mungkin kita terus-menerus dalam kedukaan. 

Meski begitu, kesabaran menurut saya memang lebih ditekankan dalam Islam. Nabi-Nabi yang disebut sebagai Ulul Azmi, memiliki kesabaran sangat luar biasa. Wanita-wanita yang dianggap mulia, seperti Bunda Asiyah, Bunda Hajar, dan Bunda Maryam, juga mendapatkan ujian kesabaran yang luar biasa. Apakah itu berarti sabar lebih mulia dari syukur?

Wallahu a'lam.Yang jelas, mari kita senantiasa berdoa: 

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat, sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami... (Al-Baqarah: 285).



Posting Komentar untuk "Sabar dan Syukur, Apakah Harus Memilih?"