Jangan Takut untuk Kuliah Pascasarjana, Wahai Bunda!
Ironisnya, penyebabnya seringkali bukan hal-hal esensial, tetapi justru judgement dari berbagai kalangan, bahkan sebagian dari kaum perempuan itu sendiri. Buat apa sekolah tinggi-tinggi?! Buat apa? Iya, buat apa?
Memang, saat ini kesadaran untuk menyekolahkan anak perempuan sudah cukup baik, sangat baik malah, tetapi tampaknya baru sampai level tertentu. Misal, yang paling umum, tentu level SMA, diploma, atau sarjana. Kesepakatan bahwa perempuan kudu bersekolah hingga level ini, sepertinya sudah final, ya? Nyatanya, mayoritas perempuan Indonesia zaman now menempuh pendidikan hingga jenjang ini. Kalau mau data lebih kongkrit, silakan cek website BPS!
Apa iya sih, zaman sekarang masih ada masyarakat yang berpikir kolot semacam: buat apa sih, perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh nanti akan jadi ibu rumah tangga. Cuma mengurusi dapur, sumur dan kasur. Ada, mungkin, tetapi opini semacam ini, sepertinya sudah mulai tergerus zaman. kalangan yang berpendapat semacam ini, kalaupun ada, jumlahnya sedikit. Nyatanya, hampir semua perempuan saat ini mendapatkan pendidikan hingga SMA, diploma atau bahkan S1. Malah aneh kesannya, kalau ada anak perempuan usia 18 tahun misalnya, tidak kuliah, juga tidak bekerja, sementara orangtuanya memiliki kemampuan finansial yang cukup. Bukankah begitu?
Kemajuan ini perlu kita syukuri. Dahulu, perempuan bisa sekolah sampai SMA bahkan lulus D3 atau S1 butuh perjuangan sangat berat. Di era 60-an, 70-an, bahkan sampai 80-an, perempuan bisa mendapatkan titel sarjana jumlahnya masih cukup langka. Saya punya kenalan seorang Bunda, saat ini berusia 60-an tahun, yang gagal mencapai pendidikan tinggi, padahal secara intelektual, beliau termasuk sangat cerdas. Saat sekolah, nilai-nilainya selalu di atas 90. Padahal, Bunda tersebut lahir dari keluarga guru yang secara ekonomi dan status sosial sebenarnya cukup mampu. Sementara, kedua kakak Bunda tersebut, laki-laki, bisa bersekolah tinggi dan meraih titel sarjana. Sangat Bunda "kalah bersaing" dengan saudara laki-lakinya semata-mata karena faktor bahwa beliau seorang perempuan. Prioritas biaya, juga fakta bahwa untuk kuliah saat itu seseorang harus meninggalkan kampung halaman, membuat orangtua sang Bunda tersebut tidak tega melepas puterinya merantau.
Berbeda dengan saat ini, sekali lagi, mayoritas masyarakat sudah bersepakat untuk menyekolahkan anak perempuannya hingga jenjang D3 atau S1. Bahkan, beberapa kenalan dengan orangtua yang secara ekonomi kurang mampu, ternyata tetap bersemangat kuliah sembari mereka bekerja. Luar biasa! Mereka membiayai sendiri kuliahnya, sambil bekerja, dan bahkan juga mengurusi rumah tangganya, karena sebagian dari mereka telah berkeluarga. Saya menjadi saksi atas perjuangan beberapa teman-teman yang kondisinya semacam itu. Bekerja, berkeluarga (bahkan punya anak kecil), dan kuliah. Di S1, lho .... yang jadwalnya cukup padat. Dan ternyata mereka berhasil!
Tetapi, semangat itu tampaknya baru sampai level--katakanlah sarjana strata satu. Sementara, jika ada perempuan melanjutkan kuliah hingga jenjang pascasarjana, misal S2, apalagi S3, masih saja banyak komentar kurang sedap bermunculan.
"Bukan dosen, ngapain kuliah pascasarjana?"
"Halah, paling cuma ngincer gelar doang."
"Ngabis-abisin duit."
"Ntar dia durhaka sama suaminya, gak hormat sama suami."
"Ngejar-ngejar gelar, urusan anak nggak kelar!"
Memang, untuk bisa kuliah pascasarjana, banyak sekali pengorbanan yang harus dilakukan. Apalagi, kurikulum pendidikan pascasarjana saat ini jauh lebih berat ketimbang sebelumnya. Saya bisa nulis begini, karena bisa membandingkan. Alhamdulillah, saya berkesempatan kuliah pasca sarjana dua kali. Pertama, saya masuk Magister Manajemen (MM) tahun 2014 dan lulus tahun 2016.
Lalu masuk lagi ke Magister Psikologi (MPsi) tahun 2021 dan sekarang masih proses penelitian untuk tesis. Ternyata, beda kurikulum, bedaaaa banget nuansanya. Dulu, pas ambil MM, ya sudah lumayan capek, banyak tugas, harus belajar ekstra keras. Nyaris tiap malam begadang, apalagi saat-saat ujian. Dan saat ambil MPsi di tahun 2021, capeknya, tugasnya, belajarnya ... mungkin 2x atau malah 3x lebih banyak!
Ada tuntutan adanya luaran atau output dari kuliah, yang menjadi syarat untuk tesis, di antaranya harus ada artikel ilmiah yang bisa dipublikasikan di jurnal terindeks Sinta (Science and Technology Index). Sinta memang ada jenjangnya, mulai dari 1, 2, hingga 5 atau 6 kalau tidak salah. Makin kecil angkanya, jenjang makin bagus. Ini bukan pekerjaan mudah, lho. Jangankan mahasiswa, para dosen saja mungkin kudu mengeluarkan effort lebih untuk bisa nembus jurnal terindeks.
Beberapa teman seangkatan saya mengaku stres dan bahkan sampai terganggu siklus haidnya. Bagi perempuan, jika siklus haid sampai terganggu, berarti ada stresor cukup berat yang sampai menganggu mekanisme hormonal dalam tubuhnya. Dan kacaunya siklus reproduksi biasanya merupakan salah satu tanda yang paling jelas. Jadi, para perempuan, jangan abaikan kalau haid kita mendadak jadi lebih cepat atau justru terlambat, lebih deras dari biasanya, lebih sakit dan sebagainya. Itu warning yang harus dicermati!
Beratnya beban kuliah, akan semakin menjadi masalah, jika para perempuan yang kuliah di pasca memiliki anak yang masih kecil-kecil, masih bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga, ditambah seringnya dia juga memiliki pekerjaan atau profesi tertentu. Sangat jarang perempuan yang kuliah di pascasarjana dan ternyata dia tidak memiliki pekerjaan tertentu. Beberapa hari yang lalu, saya bertemu dengan seorang ibu dari Palu, usia sebaya saya, dan sedang menyelesaikan disertasi S-3 di kampus tempat saya kuliah saat ini, UMS. Dia membawa anaknya yang masih berusia sekitar 8 bulan dari Palu ke kota Solo, dan tiap hari membawanya ke kampus untuk menyelesaikan disertasi. Jadi, selain membawa laptop, buku-buku referensi, catatan-catatan kuliah, dan berkas-berkas penting, si ibu juga membawa peralatan si anak ke kampus. Untung anaknya mudah dekat dengan orang lain. Ketika saya gendong dan saya ajak main-main, langsung lengket, padahal baru pernah bertemu sekali.
Hal yang sama, tak mungkin terjadi pada pria, bukan? Tidak mungkin ada seorang mahasiswa doktoral laki-laki, menggendong bayi ke kampus, hehe... hehe, saya tidak sedang menuntut kesetaraan dengan seekstrim itu. Saya hanya sedang mengajak teman-teman untuk mencoba membayangkan, betapa ketika seorang perempuan memilih untuk kuliah pascasarjana, maka seluruh konsekuensi harus ditanggung olehnya. "Salahnya sendiri kuliah lagi, ya tanggung jawab dong, dengan bayi-bayinya, dengan anak-anaknya, dengan urusan rumah tangga yang pastinya makin berat."
Ya, oke... tidak masalah! Itu kita sadari, dan harus disadari oleh siapapun kaum perempuan, khususnya ibu, yang ingin terjun dalam dunia pendidikan pascasarjana. Kita tentu tidak mau, titel "surga di bawah telapak kaki ibu" terlucuti hanya gara-gara kita mellow dan ngamuk ke suami, "Mama mau kuliah dulu, tolong bayi-bayi diurusi!" Hahaha....
Belum lagi masalah biaya. Biaya pascasarjana, master apalagi doktor, pasti sangat mahal, kan? Untuk master, di kampus-kampus swasta atau negeri yang cukup bonafid, biasanya SPP sekitar Rp 7-15 juta per semester. Doktor biasanya 2x lebih mahal dari master. Bagi yang dapat beasiswa, it's okay, alias no problem. Bagi yang biaya sendiri, pasti akan berpikir panjang. Lumayan juga ya, biaya kuliahnya. Lah anak-anak saya juga masih sekolah, masih kemragat (banyak biaya), si ibu ngalah dulu deh.... Lagipula, buat apa sih ibu-ibu kuliah lagi, kasihlah kesempatan buat anak.
Ini belum bahas faktor psikologis. Seorang kenalan, yang awalnya sempat bersemangat untuk kuliah doktoral, saat bertemu mendadak bilang begini, "sepertinya nggak jadi deh. Saya diberi nasihat ibu untuk tidak melebihi suami saya."
"Tapi suami mbak support, kan?" tanya saya.
"Support, mendukung sekali."
"Biaya dan lain-lain, klir kan?"
"Klir. Anak-anak juga sudah besar-besar. Tapi itu, ibu saya mengingatkan agar saya tidak lebih dari suami."
Okay, alasan yang bagi orang barat tidak masuk akal, tetapi ini di Indonesia. Banyak asumsi yang mendasari seseorang mengambil keputusan, dan itu tentu harus kita hormati.
Kalau mau digali, banyak sekali faktor yang akan melemahkan semangat ibu-ibu untuk ambil kuliah lagi: faktor psikologis, ekonomis, biologis, sosiologis ....
Hhhh... lelah ya?
Nggak, ah. Jangan begitu! Jangan merasa lelah. Setelah membaca pendahuluan yang puanjaaang di atas (lho, baru pendahuluan? wkkk), ada beberapa hal yang harus kita renungkan jika kita memilih akan kuliah lagi.
Pertama, luruskan dulu niat kita untuk kuliah. Benarkah karena ngejar gengsi semata? Benarkah hanya karena ingin terlihat keren? Tentu tidak begitu kan? Semangat menuntut ilmu harus setinggi-tingginya. Tak boleh ada yang menghalangi ketika seseorang ingin mendapatkan ilmu. Tetapi, menuntut ilmu kan tak harus di institusi resmi? Tentu. Tetapi institusi resmi saat ini merupakan bagian dari dunia keilmuan yang legal, sistematis dan memiliki metodologi yang diakui, bukan?
Kedua, jika ada kendala soal biaya, ini memang sulit. Jangan memaksakan diri. Kita bisa menabung, mengalokasikan anggaran yang kurang esensial untuk biaya kuliah. Memperbanyak pendapatan agar kita bisa berkesempatan meng-up grade diri. Sebisa mungkin, jangan repotkan suami, jangan mengambil biaya sekolah anak-anak. Bahkan jika perlu, kita juga ikut membantu keluarga. Jangan egois, duitku untuk kuliahku! Sementara suami kelimpungan cari anggaran untuk menafkahi keluarga. Berdoalah selalu agar Allah SWT melimpahi rezeki. Carilah peluang-peluang funding atau beasiswa yang bisa meringankan.
Ketiga, komunikasikan dengan baik kepada orang-orang di sekitar kita, terutama suami dan anak-anak. Apa maksud kita kuliah lagi, apa visi dan misi hidup kita, dan apa yang ingin kita kejar dari keilmuan yang kita miliki. Jika kita pintar mengkomunikasikan, saya yakin, bukan hanya menerima, mereka bahkan akan sangat mendukung kita.
Keempat, pastikan semuanya tertangani dengan baik. Seorang ibu memang banyak sekali tugasnya. Itu harus kita terima dan kita sadari. Jangan sampai kuliah kita membuat urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab kita terbengkalai. Pelayanan ke suami, jangan sampai 'turun kualitas', hehe. Pendampingan anak-anak, jangan sampai keteteran. Urusan rumah tangga, sebaiknya tetap teratasi. Berat? Sangat! Tapi, sekali lagi, kita tak punya pilihan lain.
Kelima, ini tak kalah penting. Aplikasikan keilmuan kita dalam hal-hal yang bermanfaat, baik dalam dunia profesi kita, maupun hal-hal yang sifatnya sosial seperti dakwah dan urusan keumatan. Bisikkan dengan mesra ke telinga suami dan anak-anak, "Kalau Bunda bisa bermanfaat dan dapat pahala, kalian yang mendukung Bunda, pasti akan ikut mendapatkannya. Kita akan masuk surga bersama-sama."
Keenam, tanamkan dalam benak kita, bahwa orang berilmu itu harus tawadhu. Makin berilmu, pasti makin takut kepada Allah, makin rendah hati. Jadi, tak ada rumusnya ketika seorang bunda bertitel master, doktor, atau malah profesor, sementara suaminya belum, maka dia akan mengecilkan suami. Tak ada kamusnya! Semakin tinggi titel seseorang, dia harus semakin taat, tunduk, tawadhu.
Semoga enam hal tersebut bisa menjadi bahan renungan kita pagi ini. Jangan takut untuk kuliah lagi, wahai Bunda!
2 komentar untuk "Jangan Takut untuk Kuliah Pascasarjana, Wahai Bunda!"
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!