Widget HTML #1

Mario, Pamer Kemewahan dan Flexing Culture

Foto: Dreamstime

Saat ini sedang viral kasus Mario, anak seorang pejabat level kota di sebuah lembaga pelat merah, yang memiliki gaya hidup mewah. Mario suka memamerkan jeep Rubicon, motor gede dan aneka barang-barang mewah yang dimilikinya. Saat saya cek di internet, harga jeep ini mencapai sekitar Rp 1,5 milyar! Wooow .... Sebenarnya, jika Mario adalah seorang pengusaha kelas kakap, taruhlah selevel Chairul Tanjung, atau Sandiaga Uno, wajar-wajar saja pamer Rubicon. Masalahnya, usia Mario baru 20-an tahun, jelas belum bekerja, bahkan kabarnya, dia di-DO dari sebuah kampus swasta.

Perilaku Mario terungkap setelah dia menganiaya David, hingga korban koma dan kabarnya sampai sekarang masih belum sadarkan diri. Ada sosok perempuan bernama A, seorang remaja yang usianya bahkan belum 17 tahun, yang berada di belakang kisah tragis tersebut. Tak usah saya ceritakan ya, pasti Pembaca sudah tahu, kan, siapa A dan bagaimana kasusnya, hehe.

Perilaku suka memamerkan kekayaan, sering disebut sebagai flexing. Perilaku ini ditandai salah satunya pamer barang-barang branded, meski barang itu bisa jadi bukan hasil jerih payahnya. Sebenarnya, teori ini sudah sangat tua, karena diungkap pertama kali oleh Thorstein Veblen pada tahun 1899. Sudah lebih dari seabad silam, kan?

Veblen menulis sebuah buku berjudul "The Theory of the Leisure Class", kalau diterjemahkan, Teori Kelas Kenyamanan. Veblen menyebutkan bahwa "conspicuous consumption is a type of consumption that is closely related to exhibiting luxury goods or engaging in luxury activities, with the objective of seeking validation from the community. Konsumsi menyolok (kentara, sangat jelas), adalah jenis konsumsi yang erat kaitannya dengan memamerkan barang-barang mewah atau melakukan kegiatan mewah, dengan tujuan mencari pengakuan dari masyarakat." Conspicuous consumption, saat ini dikenal sebagai flexing culture, atau budaya melenturkan, atau budaya suka pamer.

Mengapa orang suka pamer? Karana ada sesuatu yang ingin dia capai: eksistensi, kekaguman orang, pandangan iri dari orang lain, penghargaan, kedudukan sosial yang dianggap WOOOW, dan sebagainya. So, sebenarnya ada hubungan antara flexing culture dengan insecurity lho...

Rasa insecure adalah rasa tidak percaya diri, rasa tidak yakin, biasanya karena merasa tidak punya kelebihan yang bisa dibanggakan, misal kepintaran, prestasi, dan sebagainya. Atau, sebenarnya mereka punya prestasi tinggi, atau kelebihan lain, tetapi prestasi dan kelebihan tersebut tidak membuat dia merasa cukup bisa diterima oleh orang-orang di sekitarnya. Lingkungan yang menganggap benda-benda mahal sebagai pencapaian, tentu tidak akan bisa menghargai orang yang IPK-nya 4,0 atau memiliki titel berderet-deret, namun kemana-mana hanya memakai motor tua, atau sepatu murahan. 

Rasa insecure itu akhirnya membuat dia membanggakan fasilitas-fasilitas yang dimiliki: misal Rubicon, motor gede, dan barang-barang mewah lain ... yang biasanya merupakan barang branded. Hal inilah yang membentuk flexing culture dalam hidupnya. Orang yang terbiasa flexing, akan merasa kurang keren jika harus memakai barang "murahan".

Masih ingat kan, firman Allah dalam Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 14:

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)."

Memang secara manusiawi, orang akan senang bermewah-mewah atau bermegah-megahan. Tetapi, kesenangan hidup itu bisa melalaikan, dan bahkan menjebak kita pada perilaku buruk. “Bermegah-megahan telah melalaikan kalian.” (QS. At-Takatsur: 1).

Dengan flexing, memamerkan harta benda, kemewahan, foto-foto di luar negeri, makan di resto mahal dan sebagainya, dia merasa punya sesuatu yang bikin dia berharga di mata orang-orang di sekitarnya. Tetapi masalahnya, di atas langit masih ada langit. Namanya keinginan pasti tak akan ada ujungnya. Awalnya, naik Innova sudah merasa keren. Setelah memiliki Innova, dia melihat mobil yang dimilikinya itu ternyata ketinggalan zaman, maka dia ingin Fortuner. Setelah Fortuner ingin Rubicon, Range Rover, Lamborghini dan seterusnya. Keinginan tak terbatas, sementara resources untuk memenuhi keinginan terbatas. Maka terjebaklah pada perilaku tercela, seperti korupsi.

Flexing culture sangat terkait dengan pola asuh dan pergaulan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan "matre" dan memandang kualitas seseorang ditentukan dari atribut yang melekat, akan cenderung kecanduan untuk bermewah-mewahan. Konsep dirinya dibangun dari seberapa mewah diriku, seberapa mahal barang yang aku pakai. Aku tampil mewah, maka aku ada. Mewah adalah eksistensi. Kalau kamu anaknya Elon Musk atau Jeff Bezos sih, mungkin no problem ya. Tetapi, kalau orang tua kita "hanya" aparat negara, dengan gaji yang terbatas, flexing culture ini mengerikan. Elon Musk saja meski duitnya hampir tak terbatas, tetapi hidup sederhana. Kabarnya, Bos Tesla ini tinggal di rumah yang harganya hanya 50.000 dolar ... padahal, total kekayaannya US$219 miliar atau sekitar Rp 3.410 triliun!

Kemewahan itu bukan sumber kebahagiaan, terlebih jika kemewahan itu menyeret seseorang pada kecurangan, misal mencuri uang negara untuk memenuhi gaya hidup flexing. 

Stop bermewah-mewahan, ayo hidup sederhana! Kamu mungkin akan dipandang keren di lingkunganmu karena memamerkan Rubiconmu, tetapi, kamu akan dipandang dengan jijik oleh masyarakat luas, apalagi jika ternyata Rubiconmu diperoleh dari cara yang tidak wajar dan menghina nalar etika serta keadilan.

Posting Komentar untuk "Mario, Pamer Kemewahan dan Flexing Culture"