Widget HTML #1

Jangan Tebas Nyamuk dengan Sebilah Pedang!


Ketika saya masih bocah, ada satu bacaan yang cukup berkesan dan jalan ceritanya masih saya ingat hingga kini. Sayang, judul buku dan penulisnya malah lupa. Semoga ketika konten ini saya bagikan, lalu ada manfaat yang didapatkan, maka manfaat itu akan menjadi sarana pahala bagi penulisnya, aamiin... Jika Sobat tahu siapa penulis buku ini, mohon diinfokan kepada saya ya,  bisa lewat kolom komentar.

Alkisah, ada seorang raja yang memiliki pembantu seekor kera. Kera itu sudah lama mengabdi, dan sangat setia serta menyayangi tuannya. Satu kelemahannya, si kera itu kurang cerdas alias bodoh. Namun begitu, raja tidak berniat memperhentikannya sebagai pembantu. Tetapi, keputusan raja untuk terus mempekerjakan si kera, membuat sang raja mengalami hal yang fatal. Suatu hari, saat sedang berwisata di alam terbuka, raja kelelahan. Beliau pun hendak beristirahat, tidur siang. Si Kera mendapat tugas untuk menjaga sang raja. Si kera mendapatkan sebilah pedang, dan raja berpesan, "Kalau ada yang menggangguku, kamu lawan dengan pedang ini ya."

"Baik, Paduka!"

Sang raja pun masuk ke tenda dan tidur pulas. Si Kera menjaga dengan setia. Pada saat itu, mendadak sesekor nyamuk besar masuk ke tenda, lalu menggigit dada raja yang terbuka. Sang kera sangat marah. Tanpa berpikir panjang, si kera meraih pedangnya, lalu menusuk si nyamuk. Namun, karena si nyamuk berada di atas dada raja, pedang itu pun tembus menusuk tubuh raja hingga raja itu pun wafat.

........

Tragis banget ya, cerita dongeng di atas? Apa hikmah yang bisa kita peroleh dari cerita itu? Mungkin kalau cerita tersebut di-share ke media sosial, akan muncul berbagai kubu. Kubu pertama, ini kubu mainstream, dia jelas akan menyalahkan si kera. Kera bodoh! Menggebuk nyamuk pakai pedang. Si nyamuk akan mati, tapi sang raja pun ikutan mati.

Ini sih mirip kasus yang sedang viral itu, ya? Kasus seorang politisi yang makan di warung H di sebuah rest area C. Maksud hati ingin menggebuk pemilik warung yang menaikkan harga serampangan, namun postingnya di medsos yang viral justru membuat warung tersebut terkena skors dan tutup beberapa hari. Netizen pun ramai-ramai membela pemilik warung, dan menghitung ulang apa yang dimakan sang politisi tersebut. Ketika selisihnya teryata hanya sedikit, netizen pun balas menuding si politisi, karena telah mematikan rezeki orang. Alih-alih hendak membela masyarakat yang dirugikan oleh si warung makan, justru dia telah membuat usaha tersebut terancam bangkrut.

Ada juga kisah yang sedang viral, tentang seorang peneliti di sebuah lembaga pelat merah yang saking marahnya karena perdebatan di medsos, menghalalkan darah seluruh anggota sebuah Ormas besar di Indonesia dan ingin membunuh satu persatu anggota Ormas tersebut. Iya, itu hanya ekspresi emosi. Tetapi, bisakah dibayangkan jika suatu saat orang tersebut berada di dunia nyata, dan seperti si kera, dia menggenggam sebilah pedang? Bisa-bisa omongan itu akan terealisasi. Di luar negeri, beberapa kali kita  mendengar berita tentang seseorang yang membantai banyak orang dengan memuntahkan peluru dari senjata apinya, bukan?

Kubu kedua, ini kubu antimainstream, yaitu kubu yang menyalahkan raja. Tahu si kera bodoh, tetap dikasih tugas, bahkan diberikan amanah yang tidak main-main: diberinya sebilah pedang. Maka, jangan salahkan si kera yang atas kebodohannya justru membunuh rajanya.

Sobat pilih kubu mana? Kubu pertama atau kedua? Boleh kok, komentar, tapi jangan bikin war di sini ya, masih lebaran lho, hehe....

Mau salah raja atau salah kera, saya ingin kembali pada topik yang sangat jadikan judul: jangan bunuh nyamuk dengan sebilah pedang. Jangan balas kejahatan yang menimpa kita dengan balasan yang melampaui batas, karena itu akan membuat kita terperangkap pada kezaliman.

Banyak di antara kita, karena dendam membara, sering membalas dengan melebihi apa yang telah dilakukan oleh orang yang menyakiti kita. Kalau kita melihat kisah-kisah fiksi di film-film laga misalnya, kita mungkin mendapati adegan seorang yang sakti mandraguna menghabisi nyawa orang satu desa karena orang yang dia cintai dibunuh orang desa tersebut.

Perasaan negatif, seperti amarah, memang memicu perubahan hormonal pada tubuh kita. Saat kita mengalami stres, tubuh kita akan mengeluarkan hormon kortisol. Kortisol akan membuat tubuh memecah gula darah menjadi energi, sehingga tubuh mendapatkan energi berlimpah. Selain hormon kortisol, saat marah, tubuh juga melepas hormon adrenalin, yang fungsinya mengaktifkan saraf simpatik yang memicu respon flight (kabur, biasanya kalau menganggap bahwa kita tidak cukup kuat untuk menyerang) atau fight (menyerang, yakni jika kita berada dalam kondisi superior). Detak jantung menjadi lebih kuat, sehingga darah akan mengalir lebih kencang. Inilah yang terjadi saat kita marah. Kombinasi kerja dua hormon tersebut, menyebabkan tubuh mendapatkan suplai energi yang berlimpah ruah.

Sebenarnya hal ini merupakan sebuah mekanisme pertahanan diri yang alami, sebagai respon tubuh saat mendapatkan sinyal 'bahaya' dari luar. Namun, ketika kita tidak mampu memenej emosi negatif tersebut, kita bisa "kesetanan" dengan melampiaskan kemarahan sekuat tenaga kita. Terjebak dalam lautan emosi, akan mematikan moral value yang kita miliki, sehingga menurut Freud, kita akan kembali kepada instink alamiah kita: agresif!


Baru setelah energi kita habis, kita kemudian tersadar dan sangat menyesal dengan apa yang kita lakukan saat emosi kita tak terkontrol. Seorang ayah akan tertegun melihat anak balitanya menangis tersedu-sedu dengan pipi merah kebiruan akibat tamparannya, hanya gara-gara anak balita itu mencoret-coret mobilnya dengan spidol. Seorang suami akan ternganga melihat istrinya terkapar babak belur akibat hajarannya.

Tetapi, kalau pacar si Mario Dandy bukannya menyesal atau menangis, justru merekam adegan penyiksaan David Ozora yang sangat sadis, entahlah ... mungkin sudah ada perubahan mekanisme hormonal bocah itu.

Yuk, kendalikan emosi kita! Suatu saat, kita pasti akan disakiti orang. Allah SWT membolehkan kita membalas kok, tapi balasan tidak boleh lebih jahat. Jangan tergoda dengan adagium "pembalasan lebih kejam", karena itu sesat. Batasan dari membalas adalah: nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga" (cek QS. Al Maidah: 45). Itulah yang dalam Islam disebut sebagai qishash. Tapi, balasan itu pun tidak boleh spontan dan dilakukan oleh yang bersangkutan, tetapi dilakukan oleh petugas, harus dilakukan dengan pertimbangan hukum oleh penguasa, diputuskan melalui hakim.

Lepas dari itu, memaafkan lebih baik. Dalam Q.S. Ali Imran ayat 133-134, Allah SWT berfirman, "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan."

Pertanyaannya, bagaimana cara mengendalikan energi amarah yang berkobar-kobar? Ada banyak cara. Kaum Budhis menemukan metode meditasi yang bisa meluruhkan energi negatif saat marah, yang menurut riset bisa menurunkan 20% kadar amarah. Bagi Kaum Muslimin, meditasi mirip dengan berdzikir, shalat, membaca Al-Quran dan sebagainya. Maka, Rasulullah menyuruh kita berwudhu saat sedang marah.

Kegiaatan seni juga bisa menurunkan kadar amarah. Jika sedang marah, cobalah melakukan aktivitas seni. Misal bernyanyi, menggambar, atau sekadar mendengarkan musik. Ada riset yang menyebutkan bahwa mendengarkan musik yang indah, bisa menurunkan kadar kortisol hingga 66%, dan istirahat (misal tidur, rebahan, bersandar), juga bisa menurunkan kadar kortisol hingga 50%.

Para Psikolog Positif berpendapat, bahwa emosi positif dan emosi negatif tidak akan mungkin bisa bersatu. Maka, jika kita sedang terperangkap emosi negatif, lakukan hal sebaliknya, sehingga emosi positif akan masuk ke dalam jiwa kita, mengusir emosi negatif.

Kalau kita sedang marah, coba chat orang yang kita cintai, curhat kepadanya, minta support. Atau kalau iman kita sudah sangat kuat dan dekat denganNya, kita bisa berwudhu, shalat, dan curhat kepadaNya. Ini jauh lebih dahsyat efek positifnya. Tetapi, curhat kepada manusia juga sudah cukup membantu.

Yuk, bersikap proporsional! Jangan kita tebas nyamuk dengan sebilah pedang, karena justru akan membuat bahaya yang lebih besar.

Posting Komentar untuk "Jangan Tebas Nyamuk dengan Sebilah Pedang!"