Widget HTML #1

Shaf dan Sajadah



Akhir-akhir, saya memilih untuk tidak membawa sajadah saat shalat berjamaah di masjid, entah itu shalat fardhu maupun shalat Tarawih. Ada beberapa alasan, pertama, di masjid terdekat rumah saya, Masjid Al-Barakah, dekat Palang Sepur Joglo, kota Solo (kalau lewat mampir ya), sudah tersedia karpet berwarna hijau yang empuk dan indah. Seorang jamaah yang dermawan, mendermakan karpet tersebut, membuat masjid terasa lebih nyaman. Ditambah dengan pemasangan AC yang dingin, jamaah pun kerasan. Walhasil, meski puasa Ramadhan 1444H sudah berjalan hampir 2 minggu, masjid masih penuh saat shalat berjamaah. Tak ada 'kemajuan' tercipta, istilah guyon untuk menggambarkan jamaah shalat yang kian sedikit, karena shafnya makin 'maju'.

Alasan kedua, di rumah saya hanya ada sajadah-sajadah dengan ukuran lebar, bahkan ada yang lebarnya kelewat ekstrim. Sajadah itu empuk dan nyaman. Sangat enak, jika dipakai shalat di rumah, shalat sendirian. Tetapi di masjid? Dulu saya punya beberapa sajadah ukuran kecil, yang lebarnya pas sebahu saya. Tapi sajadah-sajadah tersebut dibawa anak-anak ke pondok. Lalu, kenapa dengan sajadah ukuran besar tersebut? Ya, mudah ditebak! Bikin shaf menjadi renggang. Meski imam sudah menjelaskan saat hendak shalat, "rapatkan shaf, jarak shaf bukan seukuran sajadah, tapi selebar bahu." Tetap saja jamaah bersajadah lebar, mayoritas ibu-ibu, ngotot tetap berdiri di atas sajadahnya masing-masing, ogah merapat. Jadi, akhirnya yang merapat adalah sajadah-sajadah lebar itu, bukan bahu-bahu para jamaah.

Permasalahan shaf jangan dipandang enteng, ya... shaf adalah hal yang sangat diperhatikan dalam Islam. Nabi SAW, dalam Hadist Riwayat Abu Dawud, bersabda, "luruskan shaf kalian, sejajarkan bahu, dan rapatkan yang renggang, dan lemaskan bahu saat ada yang akan mengisi barisan, dan jangan kalian meninggalkan celah bagi syetan. Siapa saja menyambung barisan, maka Allah akan menyambungnya, dan siapa yang memutuskan barisan, maka Allah akan memutuskannya." (Sunan Abi Dawud 1/178).

Shalat berjamaah adalah salah satu implementasi dari bagaimana Allah SWT sangat menekankan pentingnya berjamaah. Tentunya jamaah yang rapi, dalam barisan-barisan yang teratur, sehingga menyerupai bangunan yang kokoh. Saking urgennya ummat Islam untuk membentuk shaf yang rapi, sampai-sampai ada satu surat dalam Al-Quran yang bernama Ash-Shaff, artinya barisan. Secara eksplisit, dalam surat As-Shaff ayat: 4, Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (bun-yanun marshush)."

Barisan yang rapat dan rapi menandakkan tingkat kesadaran mereka terhadap hak dan kewajiban sebagai anggota, ketaatan kepada pimpinan, kesiap-siagaan untuk bergerak, ikatan kasih sayang, serta keteraturan dan kerapian dalam segala urusan. Maka, seorang muslim mestinya memperhatikan hal ini dengan seksama, mengaplikasikan tidak hanya saat shalat, tetapi dalam kehidupan sehari-hari. Lihat, betapa saat ini barisan umat Islam terlihat begitu tak teratur, berkerumun, random, dan mudah sekali saling sikut satu sama lain. 

Saat melakukan ibadah Haji di tanah suci, baik di Masjid Nabawi maupun Masjidil Haram, kebiasaan shaf renggang masih dibawa para ibu-ibu dari tanah air. Maka, tak jarang saya melihat jamaah--biasanya dari Turki, menyela untuk menutup celah-celah yang renggang itu, sambil sedikit mendumel, mungkin merasa agak kesal atau tidak nyaman dengan kebiasaan para emak dengan sajadah lebarnya itu. Padahal, di musim haji, khususnya di Masjid Nabawi bagian dalam, seringkali full capacity sehingga banyak yang harus shalat di pelataran masjid. Shalat di pelataran tidak kalah nyaman sih, tapi kan banyak juga yang ingin merasakan shalat di dalam masjid.

Kembali ke shalat berjamaah ya ... dalam rangka memperbaiki shaf, di Masjid kami sampai ada takmir khusus yang beroperasi menjelang shalat jamaah, untuk menata shaf. Kalau ada yang bolong, "Ayo bu, maju ke depan, tuh masih ada yang bolong!" Lumayan berhasil, tetapi masih belum sempurna. Karena ya tadi, batas shaf masih seukuran sajadahnya yang lebar sekali, hehe. Kalau jamaah pria sudah bagus, karena rata-rata mereka tidak membawa sajadah. Shaf meraka sangat rapi, kaki saling menyentuh satu sama lain. Anak-anak kecil pun sudah bisa menyesuiakan diri. Di masjid kami, anak-anak tidak boleh membentuk kelompok sendiri, harus berselang-seling dengan orang dewasa, sehingga mereka tidak saling bergurau satu sama lain. Jika si anak terlihat capek atau ingin usil, si orang dewasa akan mengelus kepalanya dan mengingatkan dengan lembut. Sejauh ini sudah mulai terkondisikan.

Jadi, tinggal perkara sajadah besar ini yang agak sulit dikondisikan. Sebagian beralasan, kan biar tidak ada penularan Covid19, Mbak... sujudnya pakai sajadah sendiri, kan kita tidak bisa menjamin kebersihan karpetnya. Iya benar juga, meski kalau takmir tahu, pasti akan sedikit cemberut, mengingat mereka sangat rajin membersihkan karpet, hehe. Alasan lain, pakai sajadah kan nyaman, makin empuk, meski karpet sudah empuk. Emak-emak banyak yang sendi-sendi dan tulang-tulangnya udah ngilu. Ehm, benar juga. Saya sendiri, yang saat ini baru awal 40-an, kadang jika harus duduk tahiyat di atas lantai tanpa alas, juga merasakan ngilu di area telapakk kaki. Memang memakai alas yang empuk itu enak sekali. 

Trus, gimana solusinya? Ya silakan bawa sajadah, tapi jangan memaku diri pada teritorial sajadah. Nggak usah fanatik menjaga 'area perbatasan' sajadah sehingga tidak boleh disentuh orang, hehe. Jadi meski akhirnya kita nanti tidak bertemu dengan sajadah sendiri karena konsekuensi merapat, ya nyaman-nyaman aja dengan sajadah orang lain.

Paling enak sih, membawa sajadah yang seukuran bahu aja, yang tidak terlalu lebar. Sajadah lebarnya dipakai di rumah aja. Setuju?

Posting Komentar untuk "Shaf dan Sajadah"