Widget HTML #1

Balada Caleg Gagal dan Prank Masyarakat


Saat ini sedang viral berita tentang seorang Caleg (Calon Anggota Legislatif) di Cilegon yang memutus saluran air bersih untuk warga. Media Kumparan menyoroti hal tersebut dengan membuat berita dengan judul: Caleg PKS di Cilegon Putus Saluran Air Bersih untuk Warga. Awalnya, banyak Netizen yang marah dan mengutuk Caleg tersebut. Bahkan banyak Netizen yang saya tahu merupakan simpatisan PKS yang terjebak untuk berkomentar negatif, mungkin karena tidak sempat membaca beritanya.  Namun, setelah ditelisik dan dibaca lebih seksama, kemarahan Netizen justru berbalik kepada Kumparan yang dianggap tidak sensitif dan memahami kondisi dengan baik.

Untuk memahami konteksnya, inilah asal muasal kejadian tersebut. Kampung Cisuru, Kelurahan Suralaya, Kecamatan Pulomerak, Cilegon, Banten adalah daerah yang sulit mendapatkan air. Warga kampung tersebut harus berjalan kaki sejauh 2 km untuk mendapatkan air dari mata air terdekat. Lantas, untuk membantu mereka, seorang pria bernama Sumedi Madasik mengalirkan air dari sumur pompanya ke warga, sehingga warga bisa mendapatkan air bersih selama sekitar 4 tahun. 

Sumedi membantu instalasi untuk mengalirkan air dari sumur pompanya ke rumah-rumah warga kampung tersebut. Untuk itu, warga diminta membayar Rp 5.000 per kubikasi untuk operasional seperti biaya listrik dan perawatan mesin. Namun, dana tersebut ternyata tidak cukup, sehingga Sumedi harus menombok atau mensubsidi antara Rp 2.000.000 hingga Rp 2.500.000 per bulan, selama 4 tahun.

Sejak 18 Februari 2024, Sumedi menyatakan tak mampu lagi membiayai kekurangan operasional tersebut. Sumedi mengaku telah mengajak pemuka warga untuk berembuk membahas kekurangan biaya tersebut. Tidak ada solusi, sehingga deadlock. Sumedi pun memutus aliran air bersih tersebut, karena tidak ada biaya lagi.

Permasalahan tersebut menjadi meruncing ketika warga mengkaitkan hal tersebut dengan kekecewaan Sumedi karena tidak mendapatkan suara yang diharapkan dari warga kampung tersebut saat mencalonkan diri sebagai Caleg dari PKS di Kota Cilegon. Beliau hanya mendapatkan suara sebanyak 635 suara sehingga gagal maju sebagai anggota legislatif di DPRD Kota Cilegon.

Dari informasi yang berkembang di internet serta mendapatkan info dari para kenalan yang tahu sepak terjang Pak Sumedi, rendahnya dukungan warga terhadap Sumedi ternyata disebabkan karena masyarakat di kampung tersebut lebih memilih amplop serangan fajar yang dilakukan oleh Caleg lain. 

Tangkapan layar Status Kumparan di X


Nah, karena kurang bisa memberikan judul yang pas, dan terkesan memojokkan Sumedi, Kumparan digeruduk Netizen. Postingan Kumparan di Twitter dihujani protes dan bahkan diberikan Catatan Komunitas. Fitur Catatan Komunitas merupakan fitur baru di Twitter (X) yang bisa membuat pembaca membantu memberikan perspektif lain terhadap sebuah konteks yang diangkat pengguna Twitter.

Menurut saya, ini merupakan fenomena jurnalistik yang menarik. Dalam memahami sebuah peristiwa, keberpihakan jurnalis tentu sangat mempengaruhi opini yang ingin digiringnya. Jika kasus ini didalami, dan jurnalis Kumparan bisa lebih arif, barangkali dia bisa melihat sisi lain, sehingga mungkin judulnya akan gini: 5 Tahun Nombok, Caleg Malang Ini Diprank Warga

Malang di sini bukan kota, tapi malang seperti dalam kalimat, aduh malang benar nasibmu. Semacam a poor guy! Gitu lho. Saya nulis begini, soalnya di Twitter banyak yang protes, jadi dia itu Caleg Malang atau Cilegon? Haha.

Fenomena Prank Masyarakat Terhadap Caleg
Selama ini, kita sering berpikir negatif bahkan menertawakan saat mendengar berita Caleg stres dan dirawat di RSJ. Dulu saya juga sering berpikir begitu. Caleg kok gitu, sih. Masak meminta kembali bantuannya. Masak sih, Caleg kecewa karena tidak terpilih. Sekarang, kita mulai memahami (bukan melegitimasi), memang ada sebagian Caleg yang kurang kuat mental, frustasi menghadapi brutalnya Pemilu dan pragmatisnya masyarakat.

Saya berteman dengan banyak politisi dan para Caleg, baik dari partai oranye maupun partai-partai lain. Tetapi, yang paling banyak saya kenal kiprahnya memang Caleg-Caleg dari PKS. Selesai Pemilu, banyak di antara mereka yang geleng-geleng kepala. “Dikasih bantuan selama bertahun-tahun, lenyap karena amplop dan serangan fajar,” begitu rata-rata keluhan mereka.

Bahkan, ada teman di PKS yang mencoba bertanya kepada seorang ibu, “Kenapa nggak milih PKS, kan selama ini bantu-bantu panjenengan.” 

Jawaban polosnya bikin geleng-geleng kepala, “Karena kalau nggak milih, PKS tetap akan bantu kami.”

Gubrak!

Ini persis teman saya, HS (maaf, inisial aja ya, demi privasi),  beliau adalah aleg DPRD di sebuah Provinsi dari sebuah partai. Di Pemilu kemarin beliau mencalonkan diri sebagai Caleg DPR Pusat, tetapi ternyata tidak lolos. Sebelum itu, beliau pernah membantu bedah rumah warga dengan biaya mencapai Rp 20 juta. Saat iseng bertanya, kemarin Anda memilih siapa? Yang dibantu dengan menutup muka mengatakan bahwa tidak memilih HS, tetapi memilih yang memberi amplop.

Kejadian itu tidak hanya satu dua, Sodara-Sodara … tapi bunyaaaak. 

Hipotesis saya, fenomena semacam ini mungkin yang membuat banyak para Caleg memilih langkah mudah: sebar amplop serangan fajar saja, dibanding membantu memberdayakan masyarakat. Biaya amplop hanya lima puluh,  seratus, atau dua ratus ribu rupiah. Sekali memberi selesai. Mereka merasa tidak punya kewajiban apapun kepada konstituen saat bertugas di parlemen. Sementara, biaya pemberdayaan masyarakat mahalnya luar biasa. 

Saya memahami dilema yang dialami para Caleg ini. Di satu sisi, mereka ingin berbuat kebaikan dengan tulus ikhlas, dan hanya ingin didukung saat ingin maju ke Parlemen—tentu dengan niat ingin memperjuangkan nasib mereka juga. Bukankah jika terpilih sebagai Aleg, mereka akan bisa berjuang lebih banyak? Namun nyatanya, apa yang dilakukan bertahun-tahun lenyap begitu saja, hanya karena serangan fajar. 

Apa yang salah dalam hal ini? Sebenarnya siapa yang memulai membuat Pemilu menjadi sebrutal ini, dan membuat masyarakat menjadi semakin pragmatis dan "wani piro"? 

Manajemen Pemberdayaan Masyarakat
Meski memahami kekesalan dan dilema yang dialami para Caleg, saya tentu tetap tidak setuju jika kemudian para Caleg mengungkit apa yang telah diberi kepada masyarakat. Apalagi jika ini terjadi pada PKS, sebuah partai yang mengklaim diri sebagai partai dakwah. Meski tidak berbuah dukungan, meski telah di-prank, kerja-kerja ikhlas tetap bermanfaat dan mendapatkan pahala, jika diniatkan untuk Allah SWT.

Hanya saja, memang perlu ada evaluasi mendalam bagi PKS, dan mungkin partai-partai lainnya yang memiliki kemiripan pola dengan PKS. Kesalahan sebagian para kader PKS adalah: ingin memberi namun kurang menyadari bahwa kemampuan terbatas. Bahkan kadang lupa, bahwa sebenarnya ada pihak yang lebih punya kewajiban melakukan apa yang semestinya mereka lakukan. Siapa yang berkewajiban? Tentu pemerintah. 

Posting di Medsos Walikota Cilegon

Menurut saya, mohon koreksi jika salah, soal air bersih untuk warga Cisuru misalnya, sebenarnya itu adalah kewajiban Pemkot Cilegon. Saya merasa kurang sreg, ketika peristiwa tersebut viral, kemudian Pemkot Cilegon datang ke sana membawa air bersih dan mempostingnya di Medsos sambil tak lupa memojokkan “pihak yang memutus air bersih”, alias Pak Sumedi, yang sebenarnya hanya warga biasa dan tak punya kewajiban melayani masyarakat.

Selain pemerintah, jangan lupa juga, bahwa di sekitar kita ada banyak lembaga-lembaga charity dengan manajemen yang baik, seperti Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, LazisMU, Lazis NU, IZI, dan sebagainya. Dulu ada ACT. Namun dibekukan, dengan alasan yang menurut saya mengada-ada. Padahal jasa ACT untuk pemberdayaan masyarakat juga sudah sangat besar.  Mereka menggalang zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah dari masyarakat, dan telah memiliki sistem pengalokasian dana dengan baik dan sistematis. 

Lembaga-lembaga charity ini tentu bukan partisan politik dan tidak boleh dipolitisasi. Namun, bersama dengan pemerintah, lembaga-lembaga ini bisa lebih diandalkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.

Lantas, apa yang perlu dilakukan para akvitis untuk membantu warga yang butuh bantuan? Bisa dengan cara melakukan advokasi dan membangkitkan potensi masyarakat untuk bisa lebih mandiri. Atau membantu masyarakat mengakses anggaran-anggaran pemerintah, donatur, dan sebagainya. Aktivis tentu boleh mengeluarkan dana, tetapi harus terencana dengan baik. Melayani masyarakat itu akan menyedot energi dan biaya luar biasa. Jika terus mengandalkan dana mandiri, suatu saat pasti suatu saat akan kehabisan energi.

Saran Untuk Parpol dan Negara
Saran saya untuk PKS dan partai-partai lain yang memiliki program pemberdayaan masyarakat, Parpol-parpol harus mulai mengkapitalisasi dan memenej sebaik-baiknya semua sumberdaya yang dimiliki untuk tujuan jangka panjang, yakni kemajuan Indonesia lewat jalur politik. Dana-dana yang ada bisa dimanfatkan secara efektif dan efisien untuk pemberdayaan, namun dilakukan secara sistematis, bukan per individu seperti kasus di atas. Memang sebaiknya Parpol tidak hanya “kerja” saat Pemilu saja, dan tidak hanya bermain dengan serangan Fajar. Parpol bisa menjadi mesin pemberdayaan masyarakat yang andal. Bukan pamrih, tapi untuk menggolkan tujuan mulianya. Adab dan strategi bisa berjalan sekaligus. 

Lantas, anggarannya darimana? Setiap tahun ada dana bantuan Parpol, namun jumlahnya hanya sekitar Rp 5.500 per suara per tahun. Misal ada partai mendapatkan 10 juta suara, maka hanya Rp 55 milyar saja per tahun. Sangat sedikit. Tetapi, sebagai institusi resmi, tentu Parpol bisa bekerjasama dengan eksekutif untuk bisa merealisasikan APBN untuk pembangunan yang lebih menyeluruh dan adil.

Jangan lupa, ketegasan penyelenggara Pemilu terhadap praktik-praktik Money Politics juga perlu dikuatkan. Saat ini, praktik tersebut sudah semakin brutal, vulgar dan menjijikkan. Para Caleg berdalih, kalau nggak pakai ini, mereka tidak mau memilih. 

Sebenarnya, jika ada kemauan, bisa jadi Money Politics itu diberantas. Pidanakan mereka yang terlibat, baik pemberi maupun penerima, sehingga ada efek jera. 

Lebih jauh lagi, dalam beberapa kesempatan bahkan saya berpendapat, bahwa negara perlu menanggung biaya kampanya para Caleg, tentu dengan Monev yang ketat. Setiap Caleg yang di-ACC KPU, otomatis mendapat dana kampanye dari negara. Lalu money politics ditindak tegas. Serangan fajar dalam bentuk apapun harus diberantas.

Memang akan ada pembengkakkan anggaran. Tetapi, nantinya akan ada penurunan anggaran-anggaran bocor karena korupsi, calo anggaran dan berbagai praktik mencuri uang negara yang merupakan fenomena Gunung Es di negeri ini.

4 komentar untuk "Balada Caleg Gagal dan Prank Masyarakat"

Comment Author Avatar
Sepakat banget dengan bagian akhir terkait dengan pemberian dana kampanye buat caleg yang lolos verifikasi . Terimakasih tulisan yang bergizi tinggi
Comment Author Avatar
Memang harus ada perubahan sistem Pemilu yang fundamental dan revolusioner, agar Pemilu tidak lagi mahal dan hanya menguntungkan para cukong
Comment Author Avatar
Tulisannya bagus, sarannya juga perlu dieksekusi meskipun pasti banyak tantangannya karena memang dari pucuk pemerintah nya tdk seadil dan solutif itu 😁👍🏽👍🏽
Comment Author Avatar
Memang menyebalkan sistem pemilu di negeri ini. Banyak orang baik tapi gagal jadi caleg karena keterbatasan biaya. Sebaliknya, banyak preman dan penjahat yang lolos jadi caleg karena dukungan politik dan punya dana gede.

Akhirnya begitu terpilih nafsu menggarongnya semakin membesar dan menjadi legal tanpa perlu malu malu lagi.

Penggelembungan anggaran puluhan kali lipat sudah menjadi cerita basi.

Benar adanya, untuk kedepan biaya para caleg wajib ditanggung negara untuk memutus mata rantai atau meminimalisasi lahirnya kaum garong berdasi.

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!