Widget HTML #1

Berbagai Metode Mengajak Anak Berpuasa, Pilih Mana?



Siapa yang tidak bangga dan tersentuh hatinya karena haru saat melihat anak-anak kita berpuasa? Sebagai ayah atau bunda, sebenarnya kita merasa iba saat melihat sosoknya yang mungil menahan lapar dan dahaga sebulan penuh lamanya. Namun, mau tidak mau, tentu kita harus melatih mereka semua agar terbiasa menjalankan berbagai amal kebaikan, termasuk puasa, bukan?

Sayangnya, tidak semua anak bisa kita ajari berpuasa dan menjalani dengan sempurna. Banyak di antara anak-anak yang masih sulit diajari berpuasa, padahal, secara fisik, sebenarnya mereka mampu.

Kegiatan melatih anak berpuasa sejak kecil tentu sangat bermanfaat, sebab selain menyehatkan tubuh, puasa juga mengajarkan kita untuk selalu menahan diri dari hawa nafsu, mengajarkan untuk rendah hati, dan juga sikap welas asih. Karena melalui puasa, kita bisa merasakan betapa laparnya perut si fakir miskin yang belum tentu bisa makan setiap harinya. 

Menurut KH. Haedar Nashir, ketua PP Muhammadiyah, seperti dikutip dari republika.co.id (30/6/2015), puasa juga mengajari anak untuk memegang teguh nilai-nilai kejujuran, sebab saat berpuasa, anak selalu merasa di bawah pengawasan sang pencipta. Meski ada kesempatan berbuka saat sendirian, anak akan merasa bahwa ada dzat Yang Maha Melihat, yang senantiasa mengawasinya. 

Bayangkan, jika semua orang menghayati makna puasa sebagai sarana melatih kejujuran, maka bangsa ini akan terlepas dari problem berat yang membelit, seperti megakorupsi yang membangkrutkan perekonomian negara. “Berani Jujur Itu Hebat!” yang merupakan slogan dari KPK, akan dengan lebih mudah terejawantah.

Begitu besar manfaat puasa, sehingga anak perlu diajari untuk berlatih puasa sejak kecil. Ada beberapa metode yang biasa ditempuh dalam rangka membiasakan anak berpuasa. Metode-metode ini tentu ada yang cocok, atau ada yang menuai kritik. Satu anak dengan anak lainnya bisa jadi berbeda. Namun, ada baiknya kita coba membahas satu persatu.

Pertama, Teori Hukuman (Punnishment)
Menurut para psikolog aliran behaviorisme, punnishment bisa menjadi salah satu cara mengubah perilaku. Toh nyatanya, ada sebagian dari kita dulu awalnya mungkin rajin berpuasa karena ancaman, tekanan, atau hukuman dari orang tua atau guru-guru yang mendidik kita. “Awas, kalau tidak penuh puasa, tidak ada baju baru! Tidak ada uang jajan, tidak ada ketupat dan opor ayam!” Barangkali, begitu salah satu ancaman dari orang tua kita.

Menurut J.B. Watson, penghukum atau punisher itu bisa positif atau negatif. Punisher positif adalah pemberian stimulus-stimulus yang tidak menyenangkan. Misal dipukul, ditampar, dimarahi, dikurung, dan sebagainya. Bagi para pelanggar hukum, mereka dipenjara atau dihukum kerja paksa, ini berarti mereka diberi punisher yang positif. Sedangkan punisher negatif adalah dihilangkannya stimulus yang menyenangkan. Misal, dicabut uang sakunya, dilarang main game, tidak dibelikan baju baru, dan sebagainya.

Apakah punisher ini efektif? Tentu perlu kita lihat konteksnya. Ada satu teori dari pakar manajemen sumber daya manusia yang dicetuskan oleh Douglas McGregor, yang disebut dengan teori X dan Y. Dalam bukunya, The Human Side of Enterprise, McGregor menyebutkan bahwa manusia terbagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe X dan tipe Y. Manusia tipe X adalah manusia yang menjadikan pekerjaan, aktivitas, berbagai kegiatan sebagai beban. Sedangkan manusia tipe Y adalah manusia yang menjadikan itu semua sebagai sebuah tanggung jawab, passion, dan dan tantangan yang harus dihadapi.

Hukuman tentu kadang harus diberikan, namun dengan porsi yang pas. Jika anak dididik dengan terlalu banyak hukuman atau ancaman, maka dia akan tumbuh sebagai manusia tipe X. Termasuk dalam berpuasa. Dia tidak akan menikmati berpuasa, namun hanya sekadar menjalani puasa demi terhindarnya dari hukuman. Dia akan ogah-ogahan, malas dan mungkin penuh dengan keluh kesah.

Kedua, Teori Penguatan (Reinforcement)

B.F. Skinner menganggap bahwa untuk membentuk perilaku, selain punisher, juga perlu adanya penguat, atau reinforcers. Prinsip dasar dari reiforcement adalah bahwa jika seseorang diberikan stimulus yang menyenangkan, maka dia akan cenderung mengulangi perbuatannya, dan jika perbuatan itu terjadi berulang-ulang, maka akan jadi perilaku.

Jadi, reinforcers itu pada dasarnya adalah stimulus yang menyenangkan yang diberikan atas perbuatan tertentu. Bentuknya bisa pujian, dorongan semangat, atau hadiah. Pada teori ini, anak dimotivasi dengan berbagai penguat, termasuk hadiah. Misal, “Nak, nanti kalau kamu sukses puasa, kamu akan Bunda kasih sepeda baru.” 

Reinforcer atau reward seringkali sangat efektif membentuk perilaku. Juga punya efek baik untuk membentuk manusia dengan tipe Y, sebagaimana diungkapkan oleh McGregor di atas. Namun, jika terlalu banyak memberi reward, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang “matre”. Sedikit-sedikit minta hadiah. Pekerjaan, aktivitas dan berbagai kegiatan akan dianggap sebagai sumber pemasukan dan sesuatu yang transaksional. 

Ketiga, Teori Aktualisasi Diri dan Transendensi Diri (Humanisme)

Salah satu penggagas atau motor dari teori Psikologi Humanisme adalah Abraham Maslow. Beliau mencetuskan teori yang sangat terkenal, yaitu teori Hirarki Kebutuhan. Dalam teoritnya tersebut, puncak dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri. Beberapa waktu kemudian, Maslow merevisi dengan menambahkan kebutuhan transendensi diri (self transcendence) di atas aktualisasi diri, sehingga hirarki menjadi berubah. Self transcendence didefinisikan sebagai kebutuhan manusia untuk moving keluar dari ego atau diri dan terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri. Secara eksplisit Maslow tidak menyebut sesuatu itu sebagai Tuhan. Bagi yang percaya agama, ini merupakan salah satu titik temu antara keimanan dan psikologi.

Kesadaran bahwa kita adalah makhluk Tuhan yang mendapatkan perintah untuk berpuasa harus dimiliki oleh anak. Tetapi, jika kita merujuk teori Maslow, maka untuk bisa mencapai jenjang di atasnya, jenjang hirarki di bawahnya harus terpenuhi lebih dahulu, mulai dari kebutuhan fisiologis/biologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, kebutuhan dihargai, barulah aktualisasi diri dan transendensi diri. Memang rumit, tetapi tentu bisa dicoba.

Keempat, Teori Kognistif
Pada prinsipnya psikologi kognitif adalah bagian dari psikologi yang mempelajari proses mental seperti "perhatian, penggunaan bahasa, daya ingat, persepsi, pemecahan masalah, kreativitas, dan pola pikir. Namanya juga proses mental, maka kunci dari konsep ini adalah memahamkan anak tentang makna puasa itu sendiri. Seperti rukun-rukun, sunnah-sunnah, dan berbagai fadilah puasa baik secara syariah maupun secara medis atau psikologis.

Gabungan Berbagai Teori
Pada prakteknya, gabungan berbagai teori justru efektif digunakan, karena manusia merupakan mahkluk unik dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Bagaimana agar anak bisa menjalankan puasa sebagai sebuah proses aktualisasi diri dan transendensi diri? Berikut ini beberapa saran dari saya:
  1. Pertama, awali dengan penguatan kognisi. Tanamkan kepada anak, dengan bahasa sederhana yang bisa dimengerti tentang hakikat puasa. Apa itu makna puasa, filosofinya, manfaatnya, dan sebagainya. Ajarkan pelan-pelan dengan penuh kasih sayang.
  2. Berilah reinforcers dengan pujian dan hadiah saat berhasil melakukan ibadah puasa. Hadiah dan pujian bisa membuat anak bersemangat, tetapi tentu saja porsinya tepat.
  3. Bukan pula punisher atau hukuman itu tidak perlu, tetapi harus proporsional, dan sebaiknya hukuman dibuat dengan kesepakatan bersama. Misal, sediakan lembar penilaian. Jika anak mampu mencapai target, berilah bintang dan penghargaan, jika tidak mencapai target, bisa dikurangi apa yang semestinya menjadi hadiahnya. Beri pula kesempatan pada anak untuk menebus kesalahan yang dia lakukan sehingga hukuman bisa terhapus.
  4. Buatlah suasana yang nyaman, penuh kebersamaan dan kehangatan, yang lebih dari hari-hari biasa. Usahakan Anda tidak terlalu sibuk dengan pekerjaan dan aktivitas, sehingga memiliki banyak waktu untuk bersama keluarga.
  5. Buatlah program yang tepat untuk puasa si kecil, mulai dari menu yang mereka favoritkan, berbagai tips berbuka dan sahur yang sehat, mengurangi aktivitas yang membuat mereka cepat lelah dan lapar, serta permainan edukatif yang menyenangkan.
  6. Sesekali, ajaklah anak kita untuk bertemu langsung dengan kaum dhuafa, misalnya anak yatim, gelandangan, pengemis dan sebagainya. Saat anak menahan lapar dan dahaga ketika berpuasa, katakana kepada mereka, bahwa kita hanya sedang “belajar menahan lapar”, sementara mereka terus menerus merasa lapar. Ini adalah sebuah proses yang humanis, di mana anak bisa membandingkan antara mereka dengan anak-anak lain yang kurang beruntung.
  7. Dampingi anak saat beribadah, misal shalat tarawih, tadarus dan sebagainya, teruslah diberi dorongan dan semangat agar mereka tidak drop. 
  8. Terus dorong anak dengan berbagai kisah-kisah positif tentang para Nabi dan Sahabat, kemuliaan puasa, konsep pahala, dan tentu saja kasih sayang atau rahmat dari Allah SWT yang akan terus diberikan kepada anak-anak yang taat kepadaNya.
Itulah berbagai cara memotivasi anak untuk berpuasa. Semoga sukses kita praktikkan! 

Posting Komentar untuk "Berbagai Metode Mengajak Anak Berpuasa, Pilih Mana?"