Widget HTML #1

Mengungkap Filosofi Ketupat, Ternyata Dahsyat!



Setiap lebaran, hidangan khas yang biasa disajikan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Suku Jawa, adalah ketupat. Saat pulang kampung kemarin, saya dan keluarga juga merasakan empuknya ketupat buatan ibu yang sangat khas. Ditambah opor ayam yang juga khas masakan ibu, rasanya sungguh luar biasa. Bagi saya, masakan ibu adalah makanan terenak di dunia. Ini subyektif sih, sebab ada unsur selain sekadar rasa dan komposisi gizi: cinta. Ya, rasa cinta seorang ibu kepada anak, dan anak kepada ibu. 

Ketupat tak sekadar sebuah hidangan khas lebaran. Ternyata ada makna-makna yang jika dikupas, membuat kita terpana, wow… ternyata begitu indah dan filosofis! Memang Jawa merupakan suku yang sarat dengan nilai-nilai filosofis. Jawa sarat dengan semiotika. Semiotika berasal dari bahasa Yunani: simeon, artinya tanda. Jadi, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda, yang jika dipelajari dengan mendalam, maka akan didapatkan sebuah makna. Mempelajari tradisi Jawa, tidak bisa dipisahkan dari semiotika, termasuk soal ketupat ini.

Ketupat dalam bahasa Jawa sering disebut dengan "kupat." Menurut orang Jawa, Kupat adalah kerata basa dari ngaku lepat, atau mengakui kesalahan. Apa itu kerata basa? Semacam akronim tetapi bukan merujuk makna denotatif. "Kerata" artinya memahami asal-usul. Kadang juga disebut sebagai jarwo dhosok artinya penjelasan yang menyatukan. Tapi, belum tentu keduanya benar-benar berkaitan. Kadang cuma 'otak-atik gathuk' sebagai sebuah gaya bahasa yang mengundang tawa. 

Misalnya begini:
Koran, sekor dadi sejaran (satu ekor anak kutu busuk jadi seekor kuda)
Garwa (suami/istri), sigaraning nyawa (separuh jiwa)
Gedhang (pisang), digeget bar madhang (dikudap setelah makan)

Nah, kupat sendiri, seperti disebutkan di atas, merupakan kerata basa dari ngaku lepat, ini versi Sunan Kalijaga. Sementara, versi Sunan Bonang adalah laku papat, nanti akan saya jelaskan di bagian akhir tulisan ini.

Kupat sebagai ‘ngaku lepat’ ini berrati bahwa hidangan ketupat yang disediakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, merupakan sebuah ekspresi atau pengakuan rasa bersalah, yang tentu saja disertai dengan permintaan maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Menurut berbagai sumber, tradisi menghidangkan ketupat saat lebaran dimulai dari era Sunan Kalijaga, di mana saat itu, beliau memperkenalkan hidangan yang sangat filosofis, yang dihidangkan saat lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. 

Sebagai sebuah hidangan spesial dengan penyajian yang juga di waktu-waktu khusus, ketupat dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofi yang adi luhung. Ketupat umumnya terbuat dari beras, yang dibungkus dengan daun kelapa muda, yang disebut dengan janur. Beras tersebut dimasukkan ke dalam selongsong ketupat, lalu dimasak dalam waktu beberapa jam, hingga benar-benar matang.
 
Mengapa beras? Tentunya jelas, bahwa beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Beras merupakan simbol dari hawa nafsu. Menurut El Syam dkk (2023), hawa nafsu tersebut harus dikendalikan dengan cara dibungkus dengan janur. Janur sendiri juga merupakan kerata basa dari sejatining nur, atau cahaya yang hakiki, yakni cahaya keimanan dan keikhlasan terhadap Allah SWT.

Kupat, menurut Sunan Bonang, merupakan kerata basa dari laku papat, atau empat tindakan yang harus dilakukan oleh seseorang di hari raya. Apa saja tindakan tersebut? Laku papat atau 4 tindakan tersebut adalah: lebar, lebur, luber, dan labur (Warsini, 2022). 

Pertama: lebar, adalah lapang dada, mau mengakui kesalahan, memohon maaf dan memberi maaf. Jadi, dengan menyediakan dan menyantap hidangan kupat di hari raya Idul Fitri, maka semua kaum Muslimin semestinya membuka pintu hati lebar-lebar untuk saling memaafkan.

Kedua, lebur, yakni meleburkan dirinya kepada sifat-sifat terpuji yang diridhai Allah SWT, seperti rasa sabar dan tenang. Saat lebaran, kaum Muslimin telah menyelesaikan ibadah puasa yang telah mendidik jiwa untuk memiliki karakter mulia. Maka semestinya, saat hari raya, semua dalam kondisi jiwa yang penuh akhlak mulia.

Ketiga, luber, yaitu berlimpah. Saat hari raya, kaum Muslimin semestinya dalam kondisi mendapatkan pahala yang melimpah ruah atas amal-amal kebaikan yang dilakukan selama bulan Ramadan. Juga diharapkan luber atau berlimpah rezeki yang disertai kemurahan hati, sehingga bisa saling berbagi terhadap sesama. 

Keempat, labur, artinya mengecat, atau menghias sesuatu dengan warna yang indah, maksudnya senantiasa menjaga kebersihan dan keindahan jiwa maupun raga, lahir maupun batin.
Itulah filosofi indah dari hidangan ketupat. Sungguh hebat dan dahsyat bukan? Yuk, lirik dapur kita, masih adakah ketupat di sana?

Referensi:
Maghfiroh, A & Nurhayati. 2023. Makna Kultural Kepercayaan Masyarakat Jawa terhadap Ketupatdi Momen Lebaran: Kajian Antropologi Linguistik. Madah: Jurnal Bahasa dan Sastra. Vol.14, No. 2, Oktober2023, hlm. 216—228.

Suyud El Syam, R., Yusuf Amin Nugroho, M., & Guefara, R. (2023). Elokuensi Lebaran dalam Filosofi Masyarakat Jawa. Faidatuna, 4(2), 01-09. https://doi.org/10.53958/ft.v4i2.196.

Warsini,  W.  (2022).  Peran  Wali  Songo  (Sunan  Bonang)  dengan  Media  Da’wah  dalam Sejarah  Penyebaran  Islam  di  Tuban  Jawa  Timur. Asanka:  Journal of  Social  Science And Education, 3(1), 23–45. https://doi.org/10.21154/asanka.v3i1.3832

Posting Komentar untuk "Mengungkap Filosofi Ketupat, Ternyata Dahsyat!"