Widget HTML #1

5D Berliterasi Sehat di Media Sosial



Seperti yang kita lihat, saat ini banjir informasi melanda kehidupan kita. Setiap hari, informasi berubah dengan sangat cepat, bukan lagi day by day, tapi jam per jam, bahkan mungkin menit per menit. Bayangkan jika informasi itu berubah menjadi air, barangkali kita akan tenggelam dibuatnya. 

Ada dua jenis media yang kita kenal, yaitu media mainstream dan media sosial. Media mainstream atau media arus utama, adalah media "tradisional" yakni sejumlah media massa, baik cetak maupun elektronik, yang membawa arus utama dalam pemberitaan. Mereka memiliki kantor, organisasi yang jelas termasuk redaksi, pola dan sistem pemberitaan, kode etik, dan berbagai komponen lainnya. Di Indonesia, media mainstream contohnya adalah Kompas, Tempo, Republika, Jawa Pos, dan sebagainya.

Adapun media sosial adalah platform yang disediakan oleh perusahaan tertentu, namun dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk saling berkabar, membuat status atau cuitan, posting foto, tulisan, dan konten-konten lainnya. Rata-rata pemakaianya adalah individu, lazim disebut sebagai netizen. Memang hampir semua media mainstream juga memiliki akun di media sosial seperti Facebook, X, Instagram, Tiktok, dan sebagainya. Namun, karena mereka memiliki media sendiri dengan pola sebagaimana disebutkan di atas, maka mereka tetap disebut sebagai media mainstream. 

Nah, jika dulu sumber pemberitaan masih dikendalikan oleh media-media mainstream, sekarang media sosial tak kalah ramai memberitakan sebuah peristiwa. Namun, tentunya para netizen itu tidak terikat pada pola pemberitaan tertentu, alias suka-suka saja. Di sinilah letak masalahnya.

Memang benar, bahwa netizen memiliki kebebasan berpendapat dan beropini. Netizen juga boleh menyebarkan konten apapun dan dijamin oleh undang-undang. Namun, bukan berarti Netizen boleh semau gue menyebarkan konten. Dalam UU ITE tahun 2024, penyebar hoax atau berita bohong, penyebar fitnah, pengujar kebencian atau isu SARA, penghasut, bullying di media sosial, dan segala perilaku yang mengarah pada cybercrime, bisa dijerat dengan pasal 27, 28 dan pasal 45 sehingga bisa masuk penjara. 

Untuk itu, kita perlu berhati-hati.

Ada 5D atau 5 langkah yang berawal dari huruf D, yang perlu dipikirkan para Netizen agar bisa berliterasi dengan sehat di media sosial. Apa saja?

Pertama, DIBACA dengan teliti: logis atau tidak, masuk akal atau terlihat mengada-ada? Baik konten tersebut kita yang membuat atau bersumber dari orang lain, pastikan kita sudah menelisiknya dengan teliti.

Kedia, DILIHAT sumbernya, valid atau tidak. Jika kita menemukan sebuah tulisan, lalu kita tertarik ingin membagikan, kita perlu cek dulu, siapa penulisnya, darimana websitenya, apakah bisa dipercaya? Biasanya, tulisan hoax memiliki struktur tulisan yang cukup khas, misal bahasanya provokatif, diberi tanda seru hingga berderet-deret, banyak tata bahasa yang tidak tepat, dibold atau huruf kapital, dan sebagainya.

Ketika, DILACAK informasi yang berkaitan, bisa baca-baca referensi, googling, dan sebagainya. Misal info gempa skala sekian akan terjadi di kota X. Kita bisa kok mencari informasi tersebut, apakah memang ada beritanya atau tidak.

Keempat, DIPIKIRKAN efeknya, positif atau negatif, bahaya atau tidak, memiliki konten yang bisa merugikan orang lain atau tidak.

Kelima, DIPUTUSKAN mau di-share, di-BC atau tidak. Jika dari hasil langkah pertama hingga keempat ternyata tidak logis, sumber tidak jelas, informasi sesat, dan banyak merugikan, sebaiknya jangan share. Tetapi jika ternyata kontenya masuk akal, sumbernya valid, tata bahasanya bagus, referensinya kuat, dan banyak manfaatnya, mari kita share.

Berita abal-abal apalagi hoax, sebenarnya hanya sampah digital. Jangan abai terhadap sampah digital. Tumpukan sampah selalu jadi sarang dan sumber penyakit. Jangan biarkan ruang digital kita dipenuhi oleh sampah yang berbau busuk dan membahayakan.

Posting Komentar untuk "5D Berliterasi Sehat di Media Sosial"