Widget HTML #1

Memahami Kondisi Psikososial Anak Usia 3-5 Tahun: Inisiatif vs Rasa Bersalah



Jika Sobat Pembaca blog ini adalah seorang ibu dengan anak usia 3-5 tahun, Sobat harus benar-benar memahami fase ini. Sebab, fase ini sangat penting dalam perkembangan psikososial anak. Pada prinsipnya, semua fase itu penting, karena melahirkan krisis yang harus ditangani, agar tidak bertumpuk menjadi problem di masa depannya.

Erikson menyebut fase ketiga ini adalah fase Inisiatif vs. Rasa Bersalah (Initiative vs. Guilt). Pada usia 3-5 tahun, rata-rata anak-anak sudah memasuki masa prasekolah. Biasanya mereka masuk di playgroup atau kelompok bermain, atau ada juga yang sudah berada di bangku taman kanak-kanak.


Ketika mereka telah berhasil melewati krisis trust vs mistrust pada periode awal kehidupan dan sukses mengembangkan sikap trust terhadap lingkungan, mereka akan belajar untuk memiliki otonomi. Karakter trust dan otonomi ini akan membuat mereka leluasa dan proaktif dalam mengeksplorasi lingkungan sekitar. Karena secara fisik mereka sudah mulai lincah, bisa berlari, memanjat, dan aktivitas-aktivitas motorik kasar lainnya, maka mereka merasa punya modal dan rasa penarasan untuk mencoba hal-hal baru secara mandiri. 

Dari rasa ingin tahu yang tinggi, kemampuan untuk mengeksekusi beberapa hal sederhana, akhirnya mereka mulai memiliki inisiatif, dan biasanya akan lebih sering berimajinasi tentang hal-hal yang bersifat fantasi. Kadang, mereka akan menganggap diri sebagai superhero, berpakaian seperti pahlawan, membawa pedang-pedangan, dan seakan-akan benar-benar telah menjadi Superman, Pahlawan Pembela Kebenaran dan Keadilan.

Namun, jika mereka gagal melakukan eksplorasi, tidak diberi kesempatan untuk mengenal hal-hal baru, alih-alih bisa melakukan inisiatif, justru mereka akan terbelit pada perasaan guilt atau selalu merasa salah dan kikuk menghadapi lingkungan. Ketidakberhasilan melewati krisis pada fase pertama dan kedua, akan menambah berat proses anak usia ini untuk tumbuh menjadi sosok penuh inisiatif.
Bagaimana ciri-ciri anak dalam fase ini? Sebagian sudah saya bahas dalam beberapa paragraf di atas, namun lebih jelasnya bisa kita cek di beberapa poin di bawah ini.

Pengembangan Inisiatif

Normalnya, pada usia ini, anak mulai aktif mencoba berbagai aktivitas baru, seperti bermain peran, mengeksplorasi lingkungan dan bertanya banyak hal. Mereka sangat ‘ceriwis’ menanyakan ini dan itu, terlebih jika anak-anak ini tipe ekstrovert. Mungkin Anda akan merasa kelelahan untuk terus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang kadang juga cukup “ajaib.” 

Pada fase ini, anak sudah bisa membuat keputusan sendiri. Tentu keputusannya tidak selalu berkualitas. Seringkali pilihannya juga jauh dari ‘sempurna’, bahkan membuat di mata orang dewasa tampak berantakan. Misal, memutuskan untuk “mengecat” kamarnya dengan crayon, tetapi justru hasilnya kamar yang coreng moreng. Apapapun yang terjadi, kita harus tetap menghargai. Sebab mereka telah menunjukkan suatu hal yang sangat penting, yaitu kemampuan memutuskan, yang berarti mereka mulai menunjukkan rasa percaya diri dalam bertindak tanpa terlalu mengandalkan orang tua.

Imajinasi dan Kreativitas

Ini juga ciri yang membuat orang tua harus memiliki hati ‘seluas samudera’ alias sabar dan Anak-anak di fase ini sangat kreatif. Ketika kreativitas mereka didukung, mereka akan tumbuh menjadi anak yang aktif dan senang mencoba ini dan itu. 

Maka, jangan heran jika mereka akan sangat senang membuat “rumah berantakan.” Mungkin mereka akan mengambil buku-buku kita dan dijadikan sebagai “gedung pencakar langit”. Atau memasukkan sabun di bak mandi untuk menciptakan buih seperti ombak di pantai. Terlebih, kreativitas itu juga diikuti dengan kesukaan untuk berimajinasi. Mereka sangat menyukai permainan peran, memerankan berbagai karakter, seperti berpura-pura menjadi pahlawan, dokter, atau guru. Juga tentara, pelaut, atau atlet. Bermain peran ini sangat baik untuk semakin menguatkan kreativitas dan pemahaman mereka tentang peran-peran sosial.

Sikap Tanggung Jawab

Bukan berarti anak dibiarkan untuk membuat kegaduhan dan rumah yang berantakan seperti kapal pecah, ya Sobat. Seiring dengan inisiatif, anak juga sebenarany ingin mulai bertanggung jawab dan terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan orang dewasa di sekitarnya. Mereka bisa diajari bertanggung jawab membersihkan kamarnya, merapikan mainannya, membantu menyapu atau merapikan mainan. Hal ini membantu mereka belajar tanggung jawab dengan cara yang sederhana. Lakukan semua itu dengan santai dan dalam konteks bermain, namun tetap tertib dan sesuai arahan.

Munculnya Rasa Bersalah

Rasa bersalah ini adalah titik kritis fase ini. Jika inisiatif anak diabaikan atau sering dikritik secara negatif oleh orang dewasa, mereka bisa mulai merasa bersalah atau malu saat mencoba hal baru. Semakin dikritik, rasa bersalah akan semakin tinggi, dan akhirnya bisa menghambat perkembangan rasa percaya diri. Jika sudah tidak percaya diri, ditambah dengan kegagalan fase sebelumnya yang membuat mereka tidak trust dan cenderung selalu malu dan ragu (shame and doub)t, maka mereka akan cenderung pasif.

Pembentukan Moral Dasar

Sangat penting juga untuk ditekankan, bahwa anak-anak—meskipun bentuknya bermain, mereka juga bisa mulai belajar nilai moral dasar, seperti baik dan buruk, serta tanggung jawab atas tindakan mereka. Mereka harus diajari untuk menyadari dampak perilaku terhadap orang lain. “Nah itu lho, kalau kamu membuat berantakan kamar kakak, maka kakakmu bisa marah”.  meskipun belum sepenuhnya mengerti dan memahami konsep moral yang kompleks, sebenarnya anak sudah mulai mengerti beberapa hal sederhana seperti yang disebutkan di atas.

Jika anak berhasil melewati fase ini dengan dukungan yang positif dari orang tua atau pengasuh, mereka akan mengembangkan rasa inisiatif yang sehat. Sebaliknya, jika lingkungan tidak mendukung atau terlalu keras, anak mungkin mengalami rasa bersalah berlebihan dan kehilangan kepercayaan diri dalam mengambil inisiatif.

Posting Komentar untuk "Memahami Kondisi Psikososial Anak Usia 3-5 Tahun: Inisiatif vs Rasa Bersalah"