18 Tahun Indiva dan Kisah Ashabul Kahfi
Tulisan ini saya buat di H-1 milad Indiva. Tepatnya tanggal 31 Juli 2025, jam 13.35. Tentu saja tulisan ini saya tujukan untuk menyambut Milad ke-18 Indiva Media Kreasi yang jatuh pada 1 Agustus 2025. Meski akhirnya tulisan ini akan diposting esok hari, karena berhubungan dengan kesejarahan, saya ingin detil menuliskan titimangsa kepenulisan esai ini. Saya rasa, dokumentasi itu penting. Semakin umur saya menua, semakin banyak episode hidup yang dulu terasa terang benderang, sekarang menjadi agak buram.
Mungkin bukan soal penuaan, tapi soal kurangnya saya mengasah mata batin, hehe. Beberapa tahun silam, sebelum pandemi, saya sempat melakukan wawancara untuk penulisan biografi seorang tokoh Muslimah di Wonorejo, Sukoharjo. Usia beliau saat itu sudah 80 tahun lebih. Tetapi, beliau masih jelas menceritakan detail-detail kehidupannya, termasuk saat berhaji menggunakan kapal tahun 1967. Beliau masih ingat siapa saja teman-teman seperjalanannya, bagaimana kondisi Jeddah, kondisi Mekah, Madinah, bahkan juga saat melakukan fase Armuzna di Puncak Musim Haji. Sementara saya yang saat ini Jelita (Jelang Lima Puluh Tahun), 46 tahun usia saya, bahkan sudah sering harus menguras memori saat mengenal perjalanan haji yang belum juga 10 tahun berlalu. Subhanallah.
Kembali ke soal titi mangsa. Karena saya mulai merasakan
penurunan daya ingat, maka saya mencoba lebih berdisiplin dalam pencatatan.
Setiap hari, saya menuliskan apa yang akan saya kerjakan di buku agenda, lalu
meresume kegiatan saya lengkap dengan 5W+ 1 H. Dulu mungkin saya menganggap,
ah, lebay amat! Sekarang, saya butuh hal itu sebagai alat bantu, untuk mengingat
perjalanan hidup saya, untuk mendokumentasikan setiap slide waktu yang saya
jalani.
Tentang 18 Tahun Indiva
Indiva lahir pada 1 Agustus 2007. Sudah 18 tahun yang lalu. Saat itu, anak saya nomor dua, Ramadhan Faidlurrahman baru berusia 9 bulan. Karena kantor Indiva pernah berdekatan dengan rumah saya saat itu, maka bayi Rama sering dolan sampai ke kantor, dan kru Indiva pun sangat mengenali teriakan khas Rama saat mencari Umminya.
Teringat pendirian Indiva, terbayang di benak saya sebuah nama. Sosok ulama kharismatik yang saat ini sudah almarhum, yakni Ustadz Dr. Muinudinillah Bashri, Lc, MA, atau yang sering dipanggil dengan nama Ustadz Muin saja. Beliau wafat saat pandemi Covid19 kemarin.
Pada suatu hari, ketika sedang mengikuti sebuah kajian di Masjid Abu Bakar, Jajar, Surakarta (sekarang sedang dibangun menjadi Solo Islamic Center), saya Ustadz Muin. Saat itu, beliau yang mengisi kajian tersebut. Usai kajian, beliau memanggil saya dan suami. Beliau katakan bahwa ada seorang pengusaha Muslim di Jakarta yang ingin berkolaborasi mendirikan sebuah penerbit dengan segmen remaja.
Tentu saya mengenal Ustadz Muin Setidaknya ada dua kejadian yang membuat saya berinteraksi dengan beliau. Pertama, sekitar tahun 2003, saat beliau baru kembali dari Arab Saudi (beliau sempat lama mukim di sana) dan menetap di Solo. Saya saat itu masih lajang dan aktif di LSM Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja.
Suatu hari, saya dan sahabat saya (almarhumah) Dewi
Zulaikhah, bersilaturahim ke rumah beliau (saat itu dekat Ponpes Al Mu’min
Ngruki), untuk memperkenalkan PPAP Seroja sekaligus meminta dukungan dari
beliau. Alhamdulillah, beliau menyambut kami dengan antusias. Namun ada
kejadian menarik saat hendak pulang. Subhanallah, Vespa Dewi ternyata mogok. “Pakai
motor saya dulu,” kata Ustadz Muinudinillah. “Nanti saya bawa vespanya ke
bengkel.” Dan akhirnya, kami memang pulang dengan berboncengan mengendarai
motor Ustadz Muin.
Interaksi kedua terjadi setelah saya menikah dengan Mas Ahmad Supriyanto. Ternyata, Mas Ahmad adalah pengelola kajian yang diampu oleh beliau. Saat itu, Ustadz Muin memiliki semacam majelis taklim yang anggotanya adalah para dosen—doktor dan professor. Kajiannya malam hari, dan tempatnya berpindah-pindah. Sebagai anak muda, tugas Mas Ahmad adalah mempersiapkan ‘ubo rampe’ kajian, termasuk jika diperlukan, menjemput para peserta. Ketika baru menjadi pengantin baru, saya diajak ke kajian tersebut, dan kembali bertemu dengan Ustadz Muin dan para akademisi yang hadir dalam taklim tersebut. Dari interaksi tersebut, rupanya terbangun kepercayaan yang cukup besar.
Nah, usai kajian di Masjid Abu Bakar tersebut, Ustadz Muin, saya dan suami pun berdiskusi tentang rencana pendirian penerbit untuk remaja. Saya diminta menyusun sebuah proposal. Saya menyetujui, suami juga menyatakan siap membantu. Ternyata proposal tersebut disetujui oleh Pak Rianto dan istrinya, Bu Eliana, yakni pengusaha Muslim yang disebut oleh Ustadz Muin tersebut di atas.
Tanggal 1 Agustus 2007, Indiva Media Kreasi resmi berdiri, dengan badan hukum berbentuk PT. Selain saya dan Ustadz Muin, kami diperkuat dengan Bapak Rianto, SH, Ibu Eliana Rianto, SE, MM, Bapak Herman Susilo, Bapak dr. Ahmad Supriyanto, MM dan Bapak Nasirun Purwokartun. Dalam perjalanannya, Pak Nasirun Purwokartun kemudian mengundurkan diri, dan Pak Herman Susilo diberikan amanah mendirikan CV Pustaka Al Hanan yang masih “bersaudara” dengan PT Indiva Media Kreasi.
Inilah asal muasal berdirinya PT Indiva Media Kreasi. Nama
Indiva adalah usulan dari Ustadz Muin, yang artinya artinya bergegas, atau
terdepan, bisa juga pionir. Kata Media berarti alat atau sarana berkomunikasi,
sedangkan Kreasi adalah ciptaan buah pikiran atau kecerdasan
akal manusia. Jadi, Indiva bukan berarti Penerbit Indi, karena sering yang
mengartikan begitu, hehe. Kalau digandeng, Indiva Media Kreasi artinya media
berkreasi yang berusaha terus bergegas, progresif, dan menjadi pelecut semangat
dalam kebaikan. Oleh karena itu, tagline Indiva saat itu adalah “Terdepan Dalam
Kebaikan”. Namun, beberapa tahun kemudian, tim Indiva merasa bahwa tagline itu
terlalu berat, sehingga diubah menjadi “Sahabat Keluarga.” Meski tetap berusaha
bergegas menuju kebaikan, tagline “Sahabat Keluarga” terasa lebih selow dan nyaman untuk kami sandang.
Namun, bermula dari nama Indiva yang artinya bergegas atau bersegera, saya mengusulkan akronim untuk Indiva, yaitu INisiatif, DInamis, dan InoVAtif. Ketiga kata ini sangat klop jika disandingkan dengan kata Indiva dalam bahasa Arab.
Kisah Ashabul Kahfi
Kata Gua, atau Al-Kahfi sebenarnya saya ambil dari angka 18.
Al-Kahfi adalah surat ke-18 dalam Al-Quran. Sedangkan tahun ini, Indiva
berulang tahun yang ke-18. Saya kira bukan sekadar permainan puzzle belaka,
atau kata orang Jawa: atak-atik-gatuk.
Ada hal menarik dari kisah Ashabul Kahfi. Beberapa pemuda yang putus asa dengan
kekejaman penguasa, melarikan diri ke dalam gua, lalu ditidurkan oleh Allah SWT
selama 309 tahun. Begitu terbangun, mereka keluar dari gua, dan melihat zaman
telah berubah. Penguasa baru adalah raja yang baik dan adil.
Apakah ini berarti Indiva sedang menghadapi penguasa buruk
dan terpaksa harus masuk gua? Sebenarnya, problematika Indiva yang sangat berat
terjadi di menjelang pandemi. Semakin memburuk saat pandemi, dan meski pandemi telah
berakhir, sempat sulit untuk bangkit kembali. Kondisi perbukuan yang lesu bukan
hal yang hanya dialami oleh Indiva. Mayoritas penerbit mengalami hal tersebut.
Dan, sebenarnya satu dekade terakhir ini para panerbit memang mengalami
paceklik yang tak berkesudahan. Dalam Muswil Ikapi Jawa Tengah tahun 2016,
Ketua Ikapi Jateng saat itu melaporkan bahwa dari sekitar 500 anggota Ikapi
Jateng, yang bertahan hanya sekitar 150. Itu tahun 2016. Sekarang, barangkali
jumlahnya sudah semakin menyusut.
Dampak disrupsi yang semakin menggila, tergerusnya minat
membaca seiring dengan makin maraknya pemakaian gawai, perubahan gaya hidup
generasi terkini, ditambah dengan pandemi yang mengguncang, telah membuat
penerbit, termasuk Indiva, masuk ke dalam gua.
Namun … setelah bertahun-tahun berjuang untuk survive, tahun
2025 ini Indiva seperti merasakan secercah cahaya. Penjualan buku Inidva
merangkak naik. Instansi-instansi kembali mengalokasikan anggaran untuk
menambah koleksi buku di perpustakaan mereka. Meski toku buku banyak yang
tutup, ternyata divisi penjualan online makin hari makin sibuk melayani
permintaan pembeli.
Saya menghela napas lega. Ternyata pembaca buku tidak
hilang. Bahkan mungkin bertambah. Kemudian berbelanja buku melalui marketplace
mungkin menjadi berkah bagi para penggemar buku yang tinggal di
pelosok-pelosok. Jika dahulu mereka harus membeli buku di toko-toko yang
lokasinya di kota besar, kita mereka bisa langsung mengorder ke penerbit dengan
ongkos kirim yang tak terlalu mahal.
Meski baru secercah sinar, ini adalah harapan. Ada jalan
keluar dari gua yang gelap gulita. Dan ini terjadi di tahun ke-18. Persis
dengan urutan surat dalam Al-Quran, Al-Kahfi. Subhanallah wa bihamdihi
Subhanallahil adzim.
Posting Komentar untuk "18 Tahun Indiva dan Kisah Ashabul Kahfi"
Posting Komentar
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!