Oh Pekanbaru, Oh Bumi Lancang Kuning Nan Bertuah
Udara panas menyambutku saat pesawat Air Bus berkapasitas 180 penumpang milik Batavia Air mendarat di Bandara Sultan Syarif Kasim II, Pekan Baru. Sebuah kota yang sedang berkembang menjadi salah satu pusat perekonomian Sumatera. Kota jumlah penduduk 799.312 jiwa. Dan kota ini adalah pusat dari sebuah provinsi dimana bahasa persatuan negara kita ini berasal. Pasti menarik, mencari keeping-keping puzzle di negeri melayu ini.
Huruf Arab Melayu
Aku dijemput oleh beberapa muslimah, Sugi, Dian, Gustri dan Ummi. Dengan menaiki mobil kijang yang dikendarai dengan lincah oleh Ummi, kami meluncur di atas jalanan Pekanbaru. Pertama, menuju masjid Arfa’unnaas (sempat ge-er saat salah membacanya, kukira tadi namanya masjid Afra’unnaas hehe) di kompleks kampus Unri. Saat memasuki gerbang kampus negeri terbesar di Pekan Baru itulah, aku tertarik dengan tulisan Arab yang berada tepat di bawah tulisan Universitas Riau.
“Itu tulisan Arab Melayu, Mbak,” jelas Gustri. Meskipun namanya pakai ‘Gus’ dia itu perempuan sejati, lho. Beda dengan para ‘Gus’ di pesantren-pesantren Jawa Timur. “Tulisannya Arab, tetapi bahasanya melayu.”
Saat kuamati, hampir seluruh papan nama, seperti fakultas-fakultas, di universitas tersebut, selain menggunakan tulisan latin, juga menggunakan tulisan Arab Melayu. Ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam di kebudayaan melayu memang sangat kental. Maklum saja, di Riau pernah berdiri satu kerajaan Melayu Islam yang cukup besar, yakni Kerajaan Siak yang mencapai masa jayanya pada abad ke 16 sampai abad ke 20.
Penjelajahan Dimulai!
Meskipun aku datang ke Pekanbaru pada hari Sabtu (1 Mei 2010), backpacking baru dilakukan mulai Senin siang. Hari Sabtu dan Minggu disibukkan dengan acara demi acara, mulai dari kunjungan ke Markas YPPI Cendekia (LSM yang membina remaja di Pekanbaru), mengisi workshop di UIN Sultan Syarif Kasim (diselenggarakan oleh FLP Riau bekerjasama dengan FLP Pekan Baru), sarasehan dengan teman-teman pengurus FLP setempat, siaran di Riau TV, dan mengisi talkshow di Universtitas Islam Riau. Brr … acara yang padat! Tetapi menyenangkan. Namun sebaiknya tak usah saya ceritakan secara detil di rubrik ini, karena jelas akan membuat tulisan ini sangat panjang.
Senin siang, guide-ku yang lincah, Uni Herleni yang asli Minang namun kuliah di Unri telah siap dengan satu motor beat warna hitam dan dua buah helm standard. Menjelajah Pekanbaru yang sering macet, tentu lebih leluasa menggunakan motor daripada mobil. “Sudah siap, Mbak?” Tanya Ni Leny, ceria. Aku mengangguk, semangat!
Atas Minyak, Bawah Minyak, Tengah Alamaaaak!
Aku sedikit mengerutkan kening ketika Ni Leni justru membawaku ke kompleks Kampus Unri. Apa yang menarik dari sebuah kampus? Pikirku. Aku sudah biasa keluar-masuk kampus, mulai dari Undip, UNS, UGM, UI dan sebagainya, paling-paling ya hanya itu-itu saja. Namun aku menurut saja. Mungkin ada sesuatu yang menarik. Ternyata memang betul. Ni Leni membawaku ke lokasi lahan pertanian milik Fakultas Pertanian. Pertama, aku melihat hamparan tanah luas yang ditanami tumbuhan mirip kaktus.
“Ini buah naga, Mbak!” terang Ni Leni. Aku mengangguk-angguk, oh … ternyata begini tanaman yang menghasilkan buah yang sedang ngetren, karena memiliki khasiat yang bermanfaat bagi kesehatan manusia diantaranya sebagai penyeimbang kadar gula darah, pelindung kesehatan mulut, pencegah kanker usus, mengurangi kolesterol, pencegah pendarahan dan mengobati keluhan keputihan itu. Aku sering melihat buah itu dipajang di supermarket-supermarket, dan baru kali ini berkesempatan melihat tanamannya.
“Yaaah … sayang sudah dipanen, Mbak!” kata Ni Leni agak kecewa. “Kemarin pas Leni kesini, buahnya masih banyak merah-merah!”
Mataku dengan jeli mengamati tanaman itu. Lantas mataku melotot ke sebuah tanaman. “Lihat, itu ada yang sudah berbuah, tapi masih hijau!” Aku pun berlari menuju tanaman yang tengah berbuah itu. Ceklek! Ceklek! Berkali-kali aku memotret buah itu, sekaligus bergaya di depannya, hehe.
Puas mengamati perkebunan buah naga, aku melirik ke lahan di sampingnya. Mataku menyipit lagi tanda tertarik pada sesuatu. Di lahan itu, aku melihat tanaman-tanama setinggi kira-kira 2 meter, dengan diameter batang tak lebih dari 2 cm. Tapi, pohon kecil itu menyembulkan buah, dan aku tahu, itu buah kelengkeng. “Wah, kalau di daerah Ungaran, Semarang, yang banyak menghasilkan kelengkeng, pohonnya besar-besar, ukuran raksasa. Ini, masih kecil sudah berbuah?”
“Ya, namanya juga teknologi, Mbak!” Kata Ni Leni.
Sebenarnya masih banyak tanaman-tanaman yang lain. Namun aku lebih tertarik pada pohon-pohon kelapa sawit yang banyak berjajar. Sebagai orang yang besar dan tinggal di Jawa, yang sangat jarang terdapat pohon kelapa sawit, bentuk tanaman itu cukup menarik perhatianku. Kelapa sawit adalah bahan pembuat minyak goreng yang utama. Riau termasuk provinsi penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia.
“Riau ini, kata orang, ‘atas minyak bawah minyak, tengah-tengah alamaaaak…!’” canda Ni Leni. Aku tertawa. Maksud dari kata-kata Ni Leni adalah, bahwa di bawah tanah Riau terkandung minyak bumi yang melimpah, di atas buminya tumbuh kelapa sawit yang meruah, namun masyarakatnya banyak yang hidupnya tidak sejahtera.
Arboretum Rasa Hutan Tropis
Di kanan-kiri jalan sepanjang Unri, aku melihat banyak spanduk bertebaran. Isinya, kampanye calon ketua BEM. Salah satu kandidat yang mendapat urutan nomor 3 mengadopsi salah satu iklan operator seluler, membuatku senyum-senyum geli.
Kini, Ni Leni memacu motornya menuju rektorat. Di depan rektorat Unri, deretan pohon Eucalyptus membuat nuansa serasa di Australia. Namun yang lebih menarik, di depan gedung itu, ada satu jembatan berwarna putih yang bentuknya seperti kupu-kupu. Namanya Buterfly Bridge. Nah, di depan jembatan itu, terdapat Arboretum (tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan) Universitas Riau yang sangat khas. Arboretum itu terbentang seluas 10 ha, dan benar-benar menyajikan miniatur hutan tropis yang sesungguhnya. Pohon-pohon khas tropis, seperti tempunik (Artocarpus rigidus) tumbuh berdesak-desakan dengan semak-semak yang meninggi.
Karena tanah di arboretum tersebut basah, maka dibuatlah sebuah jembatan kayu selebar kira-kira 1 meter yang membelah arboretum. “Hutan di Riau rata-rata berlahan basah, Mbak,” terang Ni Leni yang juga mahasiswa biologi itu, sama denganku. “Lahannya gambut. Itulah yang bikin saat hutan terbakar, asapnya lebih tebal dibanding kebakaran hutan biasa.”
Aku mengangguk, paham. Beberapa waktu yang lalu, kabar tentang kebakaran hutan di Riau memang cukup ramai dikabarkan, dan membuat jadwal penerbangan ke Pekanbaru terganggu. Kata Ni Leni, asap itu selama berminggu-minggu tak juga hilang, sehingga membuat warga Riau harus memakai masker.
Suasana dalam arboretum benar-benar hening dan sejuk. Suara burung-burung tropis bersahut-sahutan, membuat aku merasa benar-benar tengah terdampar di pedalaman Riau. Sayang, hujan deras membuat kami harus berlarian mencari tempat berlindung. Beruntung ada dua buah saung yang juga berfungsi sebagai mushala. Sekitar satu jam kami menikmati hujan. Panas menyengat yang kurasakan di pusat Negeri Lancang Kuning ini tak lagi tersisa.
Selaso Jatuh Kembar dan Batik Melayu
Nusantara ini ternyata memiliki berbagai jenis batik, salah satunya adalah batik Melayu. Pasca menikmati kesejukan arboretum, mumpung masih sore, kami meluncur ke Ramayana, salah satu komplek perbelanjaan di kota Pekanbaru. Tapi bukan Ramayana-nya yang kami tuju, melainkan pertokoan yang satu komplek dengannya.
Sebelum menuju kawasan perbelanjaan, kami melewati kawasan Jalan Sudirman yang indah. Karakteristik Melayu terlihat jelas di jalan yang tertata rapi dengan pohon-pohon yang rindang dan sangat bersih itu. Hampir semua bangunan, meskipun bentuknya modern, namun dimodifikasi adat Riau. Rumah Adat Riau disebut Selaso Jatuh Kembar. Atap rumah adat ini berbentuk lancip, lalu di ujungnya ada sepasang ukiran menyerupai sayap yang dipasang di kanan dan kiri, yang juga disebut selembayung. Selaso Jatuh Kembar ini biasanya dihiasi ukiran-ukiran dan dicat warna keemasan yang ngejreng. Warna identik Melayu memang ngejreng-ngejreng. Orang-orang Melayu Asli, biasa memakai baju dengan warna-warna yang kuat dan menyolok.
Di Jalan Sudirman ini, terdapat beberapa icon Pekanbaru, seperti Gedung Pustaka yang megah, dan konon terbesar se Indonesia, kantor gubernur, dan Bandar Serai (Bandar Seri Raja Ali Haji). Sayang, karena waktu terbatas, kami pun harus segera sampai di Ramayana. Hm … beraneka jenis batik Melayu, serta kain songket yang indah dijual dengan harga terjangkau. Satu meter hanya sekitar Rp 17.000. Aku pun membeli 6 meter batik Melayu berwarna ungu. Rencananya mau buat kembaran, aku, suami dan kedua anakku. Keren, kan?
Bandar Serai
Bandar Serai Raja Ali Haji |
Hari selanjutnya, Selasa, pagi-pagi Ni Leni kembali membawaku berkelana. “Belum ke Pekanbaru kalau nggak ke Bandar Serai, Mbak!” promo guide-ku yang periang itu.
Di Pekanbaru, Bandar Serai atau kepanjangan dari Bandar Seri Raja Ali Haji itu sering disebut sebagai Purna MTQ. Soalnya, tempat itu dibangun saat Pekanbaru menjadi tuan Rumah MTQ 2002. Sekarang, tempat tersebut dikelola oleh Yayasan Bandar Serai, dan menjadi pusat kegiatan-kegiatan budaya di Riau, seperti pelaksanaan FFI (Festival Film Indonesia) 2007.
Saat memasuki kawasan itu, aku berdecak kagum. Sebuah bangunan megah khas Riau, tampak di depan mataku seperti Istana Aladin. Decak kagumku semakin rapat, ketika mengelilingi kawasan. Rumah-rumah adat (Anjungan) kabupaten-kabupaten se Riau berjajar. Ada Anjungan Siak, Anjungan Kampar, Anjungan Pelalawan, Inderagiri, bahkan Batam. Sebelum Kepulauan Riau lepas sebagai provinsi sendiri, memang Batam termasuk dalam provinsi Riau.
Semua Anjungan terlihat sangat indah, dengan ukiran-ukiran dan warna khas Melayu yang kuat. Satu yang membuatku terpesona adalah Anjungan Kampar. Menurutku, rumah adat Kampar mirip dengan Minang. Mungkin karena letaknya paling berdekatan dengan Sumatera Barat. Aku sempat berfoto gaya ratu di tangga anjungan. Ups, sayang sekali, ada satu bagian tangga yang rusak. Setelah kuamati lebih seksama, ternyata memang banyak kerusakan-kerusakan kecil di anjungan-anjungan yang lain, seperti kayu yang terlepas, huruf yang hilang, sampai lampu-lampu taman yang pecah. Bahkan, ada satu bangunan di kawasan Bandar Serai yang terlihat rusak parah. Coba jika kawasan yang penuh bangunan-bangunan megah ini dirawat dengan baik, pasti akan jadi semacam TMII di Jakarta.
Pasar Bawah dan Sungai Siak
Usai dari Bandar Serai, sempat mampir ke Masjid Agung An Nuur yang mirip dengan Taj Mahal di India. Kami mencoba memotret siluet yang tergambar di kolam halaman masjid. Keren!
Lantas, penjelajahan kami beranjak menuju pinggiran Sungai Siak, sungai yang konon paling dalam se Indonesia, namun saat ini terancam pendangkalan dan pencemaran. Di samping sungai terdapat Pusat Belanja Wisata Pasar Bawah. Aneka jenis oleh-oleh khas Melayu terdapat di sana, mulai dari kain songket, batik, keramik, lampit, dompet, gantungan kunci sampai berbagai jenis makanan. Namun yang menarik, aneka produk Malaysia terlihat mendominasi kios-kios yang ada. Mulai dari makanan, kain-kain, sampai replika Menara Petronas. Juga ada gantungan kunci bertuliskan Malaysia.
Pasar Bawah ternyata sangat luas. Tak hanya barang-barang yang kusebut di atas, ada juga spare part mobil, kursi, mesin-mesin dan sebagainya. Maklum, pasar ini terletak di Sungai Siak, yang menjadi salah satu urat nadi transportasi air sejak zaman dahulu, ketika Pekanbaru masih bernama Senapelan. Beberapa perahu dan kapal kecil kulihat berseliweran di atas sungai.
Masih banyak yang ingin kudatangi, namun jarum jam terus berdetak. Tak terasa sudah jam 10 siang, padahal jam 12.00, aku harus sudah chek-in di Bandara SSK II. Ternyata, empat hari tak cukup untuk mencerap aura Melayu di Bumi Lancang Kuning ini, di Pekabaru, Kota Bertuah. Insya Allah, kapan-kapan aku akan datang lagi. Selamat tinggal, Pekanbaru!
(dimuat di majalah Gizone edisi 15, Juni 2010)
6 komentar untuk "Oh Pekanbaru, Oh Bumi Lancang Kuning Nan Bertuah"
Membaca tulisan ini, saya merasa penggambaran kampus Universitas Riau dan Kota Pekanbaru begitu indahnya. Padahal selama ini saya yang sering keluar masuk kawasan arboretum tidak merasakan seperti yang mbak Afra kisahkan..
Ternyata benar, rumput sendiri terasa tidak lebih hijau dibanding rumput tetangga..
(mungkin selama ini itulah yg saya rasakan, kurang bersyukur... :) hehehe..)
salam kunjungan :)
Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!