Widget HTML #1

Menjadi Dewasa Adalah Pilihan (1)

Seorang penulis senior pernah membanggakan putera sulungnya yang berani menikah pada usia 17 tahun. Ini menarik. Jika kisah ini terjadi puluhan tahun silam, yakni zamannya para Kakek-Nenek atau Ibu-Bapak kita, tentu wajar-wajar saja. Nenek saya sendiri menikah pada usia 12 tahun, dan Kakek—kalau tidak salah, 18 tahun. Sedangkan putera penulis itu, ia lelaki muda yang berprestasi di pendidikannya, terjadi zaman sekarang, dan sama sekali menikah bukan karena MBA (married by accident), tetapi benar-benar melalui proses yang Islami.

Sebaliknya, saya juga memiliki seorang kenalan yang usianya sudah hampir menginjak kepala empat. Ia seorang dosen di sebuah PTN favorit, cerdas—itu pasti, sebentar lagi titelnya Doktor, dan karirnya pun melejit bak meteor. Orang memandang, ia sudah cukup mapan. Namun toh, hingga sekarang, dia tetap betah melajang.

Seperti Apa Yang Disebut Dewasa?

Kita sedang berbicara perihal kedewasaan. Apa komentar anda tentang kedua kisah tersebut di atas? Silahkan saja anda berguman di dalam hati.

Menurut Dra. Endang Sri Indarwati M.Si, seorang psikolog dari Undip, ada tiga jenis kedewasaan yang melekat pada diri seseorang.

1.      Kedewasaan Secara Biologis

Ini adalah kedewasaan yang tidak bisa ditawar-tawar, pasti akan datang pada setiap orang yang normal. Ketika sistem reproduksi sudah mulai berfungsi, mulai matang, ditandai dengan haid pertama (menarche) pada perempuan dan mimpi basah (ikhtilam) pada lelaki, maka secara biologis seseorang itu sudah dewasa. Kita melihat sebuah fenomena, bahwa usia kedewasaan itu secara biologis ternyata mengalami perubahan yang cukup signifikan dari zaman ke zaman. Ibu saya misalnya, menarche ia dapat pada usia 18 tahun. Tetapi sekarang kita sering melihat, anak kelas 4 SD sudah mengalami menarche. Hal tersebut bisa disebabkan oleh faktor gizi, kondisi sosial budaya masyarakat—termasuk pergaulan dan sebagainya.

2.      Kedewasaan Secara Psikologis

Kedewasaan ini ditandai dengan matangnya kita secara psikologis, yakni emosi kita menjadi terkendali alias memiliki self of control yang tinggi, mampu mengoptimalkan potensi yang kita miliki dan memanfaatkan untuk kebaikan manusia. Ketika seseorang telah dewasa secara psikologis, biasanya ia akan mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain, mampu memanfaatkan hubungan tersebut ke arah yang lebih positif. Ia juga sudah bisa membedakan, mana yang benar dan mana yang tidak, mewujudkan dalam tindakan nyata, dan berani memikul tanggungjawab atas segala sesuatu yang ia kerjakan.

Kapan datangnya usia dewasa secara psikologis? Tak tentu. Sering kita dapati, seseorang telah berusia tua, empatpuluh, limapuluh dsb., tetapi psikisnya masih seperti anak kecil. Sebaliknya, saya memiliki seorang teman muda yang sejak kecil tinggal di Panti Asuhan, sekarang ia baru duduk di kelas 2 SMU, namun ia memiliki self of control dan kecerdasan emosi yang luar biasa.

3.      Kedewasaan Secara Sosiologis

Orang sering menyebutnya telah ‘mapan’ alias telah memiliki kelas sosial tersendiri. Mungkin dia telah memiliki kemampuan finansial yang cukup, sarjana, pekerjaan yang layak dan sebagainya.

Menjadi dewasa secara biologis adalah sebuah kewajiban, namun dewasa secara psikologis dan sosiologis... itu adalah pilihan! (Mirip iklan rokok, ya?!). Mengapa disebut kewajiban? Karena ketika usia itu telah datang, maka serangkaian kewajiban akan melekat kepada kita tanpa bisa kita tawar. Dalam Islam, ia disebut sebagai mukallaf—jika ia tak menjalankan kewajiban yang disyariatkan seperti shalat, puasa, zakat dsb., maka ia akan berdosa.

Mengapa pula dewasa secara psikologis-sosiologis itu disebut sebagai pilihan? Karena hal tersebut terkait dengan usaha pencapaian kita, yang tentu saja melibatkan berbagai proses yang tak sederhana. Dan seseorang yang telah mencapai kriteria ini, sesungguhnya dialah yang disebut sebagai ‘orang dewasa’ secara seutuhnya.

Yang menjadi masalah, seringkali terjadi seseorang telah menginjak usia dewasa secara biologis, namun secara psikologis-sosiologis ia ternyata masih sangat childish. Ini tentu akan menimbulkan gap yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, betapa banyak anak-anak muda sekarang yang senang berpasang-pasangan (pacaran), kencan, dating dsb., sebagai perwujudan dari kedewasaan biologis mereka, namun ketika ditanya, apa visi mereka tentang pernikahan, tentang keluarga... mereka blank. Maka, ketika akhirnya mereka harus menikah—karena MBA misalnya, kehidupan rumah tangga mereka pun berantakan.


3 komentar untuk "Menjadi Dewasa Adalah Pilihan (1)"

Comment Author Avatar
mbak, boleh request artikel tentang bagaimana cara mencapai kedewasaan psikologis dan sosiologis? tentang kecerdasan emosional juga? syukron sebelumnya..
Comment Author Avatar
Bagus, request yang menarik... insya Allah nanti dibuatkan :-)
Comment Author Avatar
Menjadi dewasa bukanlah semata persoalan usia. Secara alami, pertambahan usia memang lebih mematangkan pola pikir serta kontrol diri. Akan tetapi, https://www.itsme.id/jangan-sampai-usia-hanya-akan-menjadi-sebuah-angka/

Mohon maaf, karena banyak komentar spam, kami memoderasi komentar Anda. Komentar akan muncul setelah melewati proses moderasi. Salam!